Pengusaha Bingung soal Perppu Cipta Kerja

Jokowi telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja)

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 02 Jan 2023, 20:30 WIB
Massa dari PA 212 menuju Patung Kuda, Jakarta, untuk mengikuti aksi menolak UU Cipta Kerja, Selasa (13/10/2020). Selain PA 212, massa gabungan mahasiswa dan pelajar turut aksi mendesak Presiden Joko Widodo membatalkan UU Cipta Kerja Omnibus Law yang dinilai merugikan. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Kebijakan ini dinilai dapat memberikan kepastian bagi investor dalam menanamkan modalnya.

Namun, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J Supit menilai, Perppu Cipta Kerja justru jadi bentuk inkonsistensi kebijakan pemerintah yang membuat investor bingung.

"Artinya (UU Cipta Kerja) baru berjalan satu tahun lebih, masih dalam proses penyempurnaan, substansinya sudah dirubah. Tentunya ya dipertanyakan investor ya itu, kok kebijakan terlalu cepat berubah. Sehingga mereka akan sulit memprediksi ke depan," ujarnya kepada Liputan6.com, Senin (2/1/2023).

Anton menyatakan, dirinya belum mau berbicara substansi Perppu Cipta Kerja secara detil. Akan tetapi, ia menambahkan, bila penerbitan cepat aturan pengganti UU Cipta Kerja itu dimaksudkan untuk memberikan kepastian bagi investor, ia justru merasa tidak ada kepastian.

"Karena ketidakpastiannya itu kebijakan yang terlalu cepat berubah-ubah, sehingga calon investor sudah mempertanyakan. Kalau tiap kali berubah begini, susah mereka memprediksi ke depan," imbuhnya.

 


Banyak Kepentingan

Massa buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan Serikat Pekerja Nasional (SPN) demo di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (12/5/2022). Aksi tersebut untuk memperingati May Day serta menolak Omnibuslaw UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 dan meminta klaster ketenagakerjaan kembali ke substansi UU Nomor 13 Tahun 2003. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Anton berpikir, pastinya ada banyak kelompok kepentingan yang perlu diperhatikan dalam penerbitan Perppu Cipta Kerja. Pertama, tentunya pekerja yang butuh peningkatan kesejahteraan.

"Tapi jangan lupa, ada kepentingan lain yaitu kepentingan pencari kerja, dan pengusaha itu sendiri sang pemberi kerja. Tentunya pemerintah salah satu kelompok kepentingan karena menyangkut penerimaan pajak, ekspor, dan lain-lain," ungkapnya.

"Apakah kepentingan semua ini dipikirkan? Saya hanya mau bicara filosifis saja, yang umum. Setiap kali berubah gini, ini bagaimana proyeksi ke depan?" tegas Anton.

Padahal, ia menilai maksud dari UU Cipta Kerja adalah menciptakan lapangan kerja sebanyak mungkin. Khususnya dalam merubah para pekerja informal jadi formal agar mendapat perlindungan lebih.

"Pertanyaannya, apakah dengan merubah ini kira-kira akan menambah lapangan kerja tidak? Pertanyaan justru di situ, karena para investor mempertanyakan ini. Kok ada kebijakan yang belum maksimal (berjalan) sudah berubah," tuturnya.


Perppu Cipta Kerja Disebut Paksakan Kepentingan Pemodal

Presiden KSPI Said Iqbal saat berorasi di depan para buruh di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Senin (2/11/2020). Massa buruh dari berbagai serikat pekerja tersebut menggelar demo terkait penolakan pengesahan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja dan upah minimum 2021. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) merasa dikibuli oleh keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Terlebih, aturan itu dinilai hanya menaungi kepentingan pemodal dibanding tuntutan buruh.

Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat menilai, Perppu Cipta Kerja jadi akal-akalan untuk memaksakan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkostitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.

Pasalnya, isi Perppu Cipta Kerja justru semakin tidak jelas dan tidak ada perbaikan sebagaimana yang dituntut oleh kelompok buruh.

"Sehingga pemerintah bisa seenak-enaknya sendiri menerbitkan Peraturan Pemerintah yang tentunya hanya akan menguntungkan kelompok pemodal atau investor," keluh Mirah, Senin (2/1/2023).

"Modus seperti ini sudah menjadi rahasia umum, karena sejak awal Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja memang didesain oleh dan untuk kepentingan pemodal, bukan oleh dan untuk kepentingan rakyat," tegasnya.

Mirah lantas menjabarkan 7 tuntutan serikat pekerja yang tidak diakomodir oleh Perppu Cipta Kerja, antara lain:

- Sistem kerja outsourcing tetap dimungkinkan diperluas tanpa pembatasan jenis pekerjaan yang jelas.

- Sistem kerja kontrak tetap dimungkinkan dapat dilakukan seumur hidup, tanpa kepastian status menjadi pekerja tetap.

- Sistem upah yang tetap murah, karena tidak secara tegas menetapkan upah minimum harus berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kebutuhan hidup layak.

- Masih hilangnya ketentuan upah minimum sektoral provinsi dan kota/kabupaten.

- Tetap dimudahkannya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak oleh perusahaan. Termasuk hilangnya ketentuan PHK harus melalui Penetapan Pengadilan.

- Berkurangnya kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK) pesangon dan penghargaan masa kerja.- Kemudahan masuknya tenaga kerja asing (TKA), bahkan untuk semua jenis pekerjaan yang sesungguhnya bisa dikerjakan oleh pekerja Indonesia.

"Terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 hanya semakin menegaskan bahwa rakyat Indonesia selama ini hanya dijadikan obyek untuk keuntungan pemilik modal, yang memanfaatkan DPR selaku legislatif dan pemerintah selaku eksekutif," pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya