Liputan6.com, Jakarta - Walisongo berdakwah hingga di seluruh pelosok negeri ini sembari mengajak masyarakat untuk masuk dalam agama Islam tanpa adanya sebuah paksaan sama sekali.
Yiap Sunan (julukan walisongo) memiliki wilayahnya masing-masing. Karena itu, di beberapa wilayah, seperti Cirebon, Jawa Barat misalnya, lebih populer Sunan Gunung Jati.
Baca Juga
Advertisement
Sementara, di Demak, Kudus, hingga Tuban dan Jawa Timur, walisongo yang populer juga berbeda. Misalnya, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga dan lainnya.
Selain itu juga terdapat beberapa peninggalan yang menjadi bukti terhadap peranan mereka dalam penyebaran agama Islam di negeri ini salah satunya tempat ibadah seperti masjid.
Berikut ini adalah masjid ikonik para sunan anggota Walisongo di Pulau Jawa.
Saksikan Video Pilihan ini:
Masjid Agung Sang Ciptarasa
Masjid ini nyaris tidak dikenal sebab orang lebih mengenalnya sebagai Masjid Sunan Gunung Jati, lantaran lokasi masjid yang terletak di sekitar kompleks pemakaman Sunan Gunung Jati di Desa Astana Gunung Jati, Kecamatan Cirebon Utara, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat
Kehadiran Masjid Agung Sang Ciptarasa sangat berkaitan erat dengan kehadiran Syarif Hidayatullah, seorang da'i/mubaligh dalam barisan wali songo yang bertugas menyebarkan agama Islam di wilayah Jawa Barat, khususnya di Cirebon. Setelah ia wafat, namanya lebih dikenal dengan gelar Sunan Gunung Jati, karena ia bermakam di sebuah bukit yang oleh penduduk setempat disebut Astana Gunung Jati.
Masjid ini dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati dengan bantuan wali songo dan beberapa tenaga ahli yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan masjid ini, Sunan Kalijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan soko guru (tiang utama) yang dibuat dari kepingan-kepingan kayu, kemudian disusun atau diikat hingga menjadi sebuah tiang yang dinamakan atau terkenal sebagai soko tatal, yakni tiang yang terbuat dari tatal atau serpihan kayu.
Dilihat dari bentuk kubahnya, memang tidak terlalu istimewa karena bentuknya hampir sama dengan rata-rata masjid kuno di seluruh Nusantara, yakni berkubah limas (piramida). Tetapi, jika Anda masuk ke dalamnya maka akan Anda jumpai corak arsitektur yang didominasi warna Tiongkok. Seluruh dinding masjid dihiasi porselen buatan Tiongkok yang berbentuk piring warna merah dan biru. Konon, hiasan piring-piring porselen itu dibuat pada masa Dinasti Ming.
Advertisement
Masjid Agung Demak
Masjid Agung Demak merupakan Masjid tertua di Pulau Jawa. Lokasi masjid berada di pusat Kota Demak, berjarak ± 26 km dari Kota Semarang, ± 25 km dari Kabupaten Kudus, dan ± 35 km dari Kabupaten Jepara. Masjid ini merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Glagahwangi Bintoro Demak.
Struktur bangunan masjid mempunyai nilai historis seni bangun arsitektur tradisional khas Indonesia. Wujudnya megah, anggun, indah, karismatik, mempesona dan berwibawa. Kini Masjid Agung Demak difungsikan sebagai tempat peribadatan dan ziarah.
Penampilan atap limas piramida masjid ini menunjukkan Aqidah Islamiyah yang terdiri dari tiga bagian ; (1) Iman, (2) Islam, dan (3) Ihsan. Di Masjid ini juga terdapat “Pintu Bledeg”, bertuliskan “Condro Sengkolo”, yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, dengan makna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.
Raden Patah bersama wali songo mendirikan masjid yang karismatik ini dengan memberi gambar serupa bulus. Ini merupakan candra sengkala memet, dengan arti Sarira Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna tahun 1401 Saka.
Masjid Demak merupakan saksi sejarah penyebaran agama Islam oleh wali songo. Pasalnya masjid ini dulunya adalah tempat berkumpulnya wali songo untuk membahas masalah agama dan strategi menyebarkan agama islam. Masjid ini juga merupakan tonggak berdirinya kerajaan islam pertama di pulau Jawa.
Masjid Ampel
Masjid Ampel berlokasi di Kelurahan Ampel, Kecamatan Semampir Kota Surabaya, didirikan pada tahun 1421 ini merupakan masjid tertua ke-3 di Indonesia.
Masjid Ampel didirikan oleh Raden Rahmat atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Ampel, dan dibantu oleh kedua sahabatnya yaitu Mbah Sonhaji dan Mbah Sholeh, tentunya atas dukungan dari para wali songo yang lain. Raden Rahmat atau sunan Ampel sendiri merupakan putra dari Syekh Maulana Malik Ibrahim. Ayah beliau juga merupakan salah satu tokoh wali songo yang berdakwa di daerah Gresik.
Masjid Ampel merupakan masjid kedua yang dibangun oleh wali songo pada abad ke 15 setelah masjid Agung Demak. Meskipun dibangun pada abad ke 15, masjid ini telah menggunakan teknologi modern di masa nya. Terbukti dari beberapa bagian-bagian bangunan masjid yang sampai sekarang masih kokoh berdiri. Seperti 16 tiang masjid yang masing-masing memiliki tinggi 17 meter dengan diameter 60 sentimeter. Ke-16 tiang utama tersebut terbuat dari kayu jati asli.
Advertisement
Masjid Menara Kudus
Masjid peninggalan wali songo yang ketiga adalah Masjid Menara Kudus. Masjid yang berlokasi di Desa Kauman, Kota Kudus Jawa Tengah ini dibangun pada tahun 956 H atau 1549 Masehi. Ada keunikan dari masjid yang dibangun oleh Sunan Kudus ini, yaitu menara masjidnya yang berbentuk seperti bangunan candi Hindu.
Sunan Kudus sengaja membuat bentuk menara tersebut seperti Candi Hindu bukanlah tanpa sebab. Hal itu dilakukan karena memang metode dakwah wali songo adalah lewat akulturasi budaya. Menara Kudus sendiri memiliki tinggi 18 meter dengan bagian dasar berukuran 10×10 meter.
Di sekeliling bangunan dihiasi dengan piring-piring bergambar yang ke semuanya berjumlah 32 buah. Dua puluh buah diantaranya berwarna biru dan berlukiskan masjid, manusia, unta dan pohon kurma. Sedangkan 12 yang lainnya berwarna merah putih berlukiskan kembang. Lukisan manusia, masjid, unta, dan pohon kurma melambangkan kebudayaan islam yang lahir dari Negara Arab. Sedangkan lukisan kembang dan piring berwarna merah putih melambangkan kebudayaan Indonesia khususnya Jawa. Kedua kebudayaan tersebut kemudian diakulturasi menjadi Islam Nusantara.
Masjid Pesucinan
Masjid Pesucinan terletak di Dusun Pesucinan, Desa Leren, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Tidak banyak catatan sejarah masjid peninggalan Syekh Maulana Malik Ibrahim tersebut.
Dari data sejarah, kedatangan Maulana Malik Ibrahim itu ke Indonesia tercatat sekitar tahun 1389 Masehi. Saat menginjakkan kakinya di tanah Jawa, Maulana Malik Ibrahim langsung mendirikan masjid dengan nama Pesucinan. Nama masjid tersebut memiliki filosofi untuk menyucikan masyarakat setempat yang belum memeluk Islam. Daerah tempat berdirinya masjid tersebut hingga kini dikenal dengan nama Dusun Pesucinan.
"Dinamakan Pesucinan, karena masjid ini merupakan tempat menyucikan diri bagi warga yang akan masuk Islam, dan salah satu alat mensucikan adalah membasuh wajah dengan air kolam yang berada di samping masjid," kata Sudjito, salah satu jamaah masjid yang sudah menetap tujuh tahun di wilayah Dusun Pesucinan.
Advertisement