Liputan6.com, Jakarta - Di akhir 2022 harga minyak dunia mengalami lonjakan setelah memberikan beberapa sinyal bahwa kebijakan pandemi akan lebih longgar. Hal ini juga menjadi tenaga di 2023 ini dan diperkirakan harga minyak dunia bisa tembus lagi ke level USD 100 per barel.
Langkah pelonggaran aktivitas di China ini akan mendorong permintaan minyak mentah akan meningkat tajam. Hal ini dibarengi dengan risiko pasokan terbatas karena adanya agresi Rusia terhadap Ukraina.
Advertisement
Namun, menurut CEO Canary LLC Dan Eberhart, kekhawatiran tentang ekonomi dan potensi resesi global masih akan menjadi penghambat harga minyak mentah.
"Berlanjutnya pengetatan pasokan minyak mengatasi kekhawatiran tersebut," tulis dia dalam sebuah kolom di Forbes, seperti dikutip Selasa (3/1/2023). Untuk diketahui, Canary LLC merupakan perusahaan migas multinasional.
Ia menjelaskan bahwa angka produksi saat ini akan kesulitan untuk mengimbangi konsumsi karena kebijakan pelonggaran pemerintah China yang merupakan negara importir minyak terbesar dunia. China mencabut kebijakan nol covid-19 yang selama dua tahun lebih dipegang teguh.
Pasar minyak masih akan tetap bergejolak, tetapi permintaan yang lemah tampaknya merupakan kekhawatiran yang paling kecil. Sulit untuk melihat harga minyak mentah turun di bawah USD 80 per barel untuk periode yang diperpanjang di tahun 2023.
Ada terlalu banyak faktor yang menunjukkan kenaikan harga minyak yang cukup besar. Dimulai dengan China, di mana Beijing mulai melonggarkan kebijakan "nol-Covid". Setelah protes publik yang meluas, China beralih ke kebijakan "hidup dengan Covid", dengan pengurangan pengujian dan persyaratan karantina yang akan meningkatkan permintaan saat orang mulai bepergian lagi.
Penguncian China adalah alasan utama mengapa harga minyak goyah pada kuartal IV 2022, dan pembukaan kembali negara itu mendorong perdagangan besar-besaran di minyak berjangka.
Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) memperkirakan permintaan global akan melonjak sebesar 2,2 juta barel per hari tahun ini. Itu jauh di depan kenaikan rata-rata tahunan kartel minyak 2010-2019 sebesar 1,5 juta barel per hari.
China kemungkinan akan menyumbang hingga 60 persen dari pertumbuhan permintaan global tahun depan karena konsumsi minyaknya kembali ke kecepatan rekor sebelumnya. Pembukaan kembali China saja yang memberikan benteng terbesar melawan ketakutan resesi.
Keputusan OPEC
Selain itu yang mendorong kenaikan harga minyak di tahun ini adalah keputusan oerganisasi pengekspor minyak. OPEC tetap teguh dalam komitmennya terhadap harga minyak mentah yang lebih tinggi melalui manajemen pasokan yang agresif.
OPEC mengejutkan negara-negara konsumen pada bulan Oktober dengan keputusannya untuk memotong 2 juta barel per hari dari pasokan global, dan organisasi tersebut sekarang tampaknya siap untuk bertindak jika harga terancam jatuh di bawah USD 90 per barel.
Saudi dan anggota OPEC lainnya membutuhkan pendapatan. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan bahwa Arab Saudi membutuhkan harga minyak USD 67 per barel untuk menyeimbangkan anggarannya, tetapi angka itu bisa mencapai USD 80 per barel.
Terlepas dari itu, Riyadh ingin memaksimalkan nilai cadangan minyaknya selagi Barat berusaha untuk beralih ke opsi energi yang lebih bersih.
Advertisement
Situasi Rusia
Rusia, satu-satunya produsen terbesar di luar OPEC membutuhkan pendapatan dari minyak lebih banyak lagi karena mengejar pendapatan untuk perang di Ukraina. Meningkatnya sanksi Barat terhadap Rusia menawarkan kartu liar bullish lain untuk pasar minyak.
Embargo Uni Eropa dan batasan harga G7 terkait pada penjualan minyak Rusia akan membutuhkan waktu untuk memengaruhi harga, tetapi para ahli melihat efeknya akan terjadi pada kuartal pertama tahun 2023 ketika larangan UE diperluas untuk mencakup produk olahan Rusia pada 5 Februari.
Minyak Rusia bisa turun sebanyak 2 juta barel per hari sementara Moskow berjuang untuk menemukan pembeli alternatif di luar UE. Meski begitu, pembeli tersebut harus menggunakan kapal tanker dan layanan maritim non-Barat.
Presiden Vladimir Putin dapat membuat masalah dengan secara sukarela memotong produksi minyak sebagai tanggapan atas sanksi Barat. Rusia mengancam akan mengurangi produksi sebesar 500.000 hingga 700.000 barel per hari.