Liputan6.com, Manila - Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr terbang ke Beijing pada Selasa (3/1) untuk kunjungan tiga hari.
Di sana, ia diperkirakan akan membahas aktivitas Beijing di Laut China Selatan yang disengketakan yang oleh Manila dan dianggap ilegal.
Advertisement
Berbicara sebelum penerbangannya, Marcos mengatakan dia berharap bertemu dengan Presiden Xi Jinping dan bahwa "masalah antara kedua negara adalah masalah yang bukan milik dua sahabat seperti Filipina dan China".
Ini akan menjadi pertemuan tatap muka kedua antara Marcos dan Xi setelah pertemuan November mereka di Thailand.
Pekan lalu, seorang pejabat kementerian luar negeri Filipina mengatakan bahwa pembicaraan dengan Xi akan mencakup tindakan Tiongkok di Laut China Selatan, dikutip dari NST.com.my, Selasa (3/1/2022).
Namun, juru bicara kementerian luar negeri China, Wang Wenbin, tidak menyebutkan Laut China Selatan. Ia mengatakan kunjungan itu "akan fokus pada pertukaran pandangan mendalam tentang hubungan bilateral dan isu-isu regional dan internasional yang menjadi perhatian bersama".
Ini akan mempromosikan kerja sama di bidang pertanian, infrastruktur, energi, dan budaya untuk menciptakan "era emas", terang Wang.
Analis memperkirakan Marcos menggunakan perjalanan itu untuk membantu menyeimbangkan kembali kebijakan luar negeri negaranya, yang di bawah pemimpin sebelumnya, yakni Rodrigo Duterte, bergerak lebih dekat ke China dan menjauh dari Amerika Serikat.
Sementara Filipina adalah sekutu pertahanan Amerika Serikat, di bawah Duterte, Filipina menyisihkan pertikaian teritorial di Laut China Selatan sebagai imbalan atas investasi China.
Dalam pidato Mei lalu, Marcos bersumpah dia tidak akan kehilangan satu inci pun wilayah Filipina.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan Wakil Presiden Kamala Harris telah mengunjungi negara Asia Tenggara itu tahun lalu dan meyakinkan Manila bahwa Washington akan membela Filipina jika diserang di Laut China Selatan.
Peneliti: Kebangkitan Militer China, Ketegangan Meningkat di Kawasan Indo-Pasifik
Di sisi lain, ketegangan antara China-Taiwan terpantau kembali meningkat.
Selasa 12 Desember 2022, belasan jet bomber China dikirim ke zona identifikasi pertahanan udara Taiwan. Tindakan ini menyusul pembatasan China atas impor produk-produk Taiwan.
Ketegangan di Selat Taiwan itu telah terjadi sejak 2016 lalu dan semakin menghangat atas seruan Presiden China Xi Jinping yang menghendaki penyatuan kembali (reunifikasi) Tiongkok – termasuk Taiwan yang diakuinya masih bagian dari wilayah China.
Selat Taiwan sendiri menghubungkan Laut China Selatan dan Samudra Pasifik, serta memisahkan daratan China dengan pulau Taiwan. Wilayah ini merupakan bagian dari kawasan strategis Indo-Pasifik.
"Mengingat ASEAN Chairmanship atau Keketuaan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara oleh Indonesia pada 2023, tensi tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk menjaga stabilitas dan perdamaian regional," ujar seorang peneliti dalam acara diskusi yang diselenggarakan oleh Indonesian Council on World Affairs (ICWA) kerja sama dengan Taipei Economic and Trade Office (TETO), di Menara Batavia, Jakarta, Selasa 13 Desember 2022.
Peneliti dari Research and Operations on Technology and Societies, Adriana Elisabeth mengatakan, “Taiwan tengah mengalami ketidakamanan atas invasi China dan tengah mencari pengakuan politik secara internasional."
Sementara itu, menurut anggota senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Rizal Sukma, Amerika Serikat melihat China sebagai pesaing strategis. "Keberadaan AS di Asia itu seperti pekerja paruh waktu, terkadang Anda melihatnya, terkadang tidak. Yang jelas dia mengintervensi China," ujar Rizal.
Elizabeth menambahkan, "Ini adalah masalah yang komplek dan saling ketergantungan dari berbagai pihak".
Sepaham dengan panelis lainnya, Wakil Duta Besar Jepang untuk Indonesia Tamura Masami mengatakan dalam beberapa hal keterlibatan AS di Asia Tenggara memang menurun.
"Situasinya bagus untuk anggota ASEAN. Namun, meski AS ‘paruh waktu’, tetapi sekutu AS tahu bahwa AS ada. Keadaan seperti ini di kawasan Asia Tenggara membawa AS untuk menggeser posisinya ke Indo-Pasifik," ujar Tamura.
Ia menambahkan, penting bagi kawasan ASEAN menanggapi keadaan tersebut, khususnya mengembangkan pertahanan yang tepat.
Advertisement
Peran ASEAN Menanggapi Tensi Indo Pasifik: Tidak Berpihak dan Optimalkan Komunikasi
Di sisi lain, Elizabeth mengatakan bangkitnya militer China adalah proyeksi yang panjang dan tantangan yang besar bagi kawasan sekitarnya. “Terlebih, ketegangan China-Taiwan akan tetap di status quo – keadaan saat ini,” tambahnya.
Kendati demikian, ia mengatakan, ASEAN dapat menjadi motor penggerak dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan Indo-Pasifik, dengan mengoptimalkan diplomasi, negosiasi, dan komunikasi untuk mencegah konflik semakin buruk.
"Dan tentunya dibarengi dengan mempersempit kesenjangan ekonomi dan meningkatkan pendapatan yang merata di kawasan ASEAN," tambah Elisabeth.
Terkait dengan peran Keketuaan Indonesia, Rizal mengatakan Indonesia harus tetap tidak berpihak dan bisa bekerja sama dengan siapa saja, termasuk pada AS, China, dan Taiwan. “Untuk menghalangi -- bukan mencegah -- dan memitigasi, itu adalah strategi ASEAN. Itu sebabnya strategi Indo-Pasifik sangat terbuka,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa kesepakatan terbaik untuk berurusan dengan Indo-Pasifik adalah negara-negara ASEAN 'duduk bersama'.
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen: Demokrasi Tengah Menghadapi Tantangan Terbesarnya
Apa saja yang sebenarnya dihadapi Taiwan atas tensinya dengan China?
Demokrasi dan tatanan berbasis aturan menghadapi “tantangan terbesarnya sejak Perang Dingin,” kata Presiden Taiwan Tsai Ing-wen memperingatkan pada Senin (24/10).
Pada acara Majelis Global Gerakan Dunia untuk Demokrasi ke-11 di Taipei, Tsai mengatakan bahwa dunia harus "memerangi upaya rezim otoriter untuk merusak institusi demokrasi dan menodai hak asasi manusia dan ruang sipil." Ia menambahkan, "invasi Rusia yang tidak beralasan ke Ukraina adalah contoh utama" upaya tersebut.
"Taiwan telah dihadapkan pada ancaman yang semakin agresif dari China, dari intimidasi militer, serangan siber dan paksaan ekonomi, hingga ke kegiatan garnisun dan operasi penyebaran pengaruh," kata Tsai di hadapan majelis.
Tsai menekankan kembali komitmen Taiwan untuk mendukung Ukraina dalam apa yang digambarkannya sebagai "perjuangan mereka untuk mempertahankan negara dan kemerdekaan mereka."
"Tantangan yang disebabkan oleh rezim otoriter adalah peringatan penting bagi entitas-entitas demokratis di seluruh dunia. Sementara tantangan luar biasa tetap ada, kita harus bekerja sama untuk memperkuat ketahanan kita dan menjaga nilai-nilai kita," tambahnya.
Majelis Global Gerakan Dunia untuk Demokrasi ke-11 yang digelar selama tiga hari itu merupakan acara yang digagas pada tahun 1999.
Acara itu mempertemukan sekitar 300 pegiat pro-demokrasi dan pengambil kebijakan dari 70 negara, yang diselenggarakan bersama dengan Yayasan Taiwan untuk Demokrasi dan National Endowment for Democracy yang bermarkas di AS.
Advertisement