Rusaknya Hutan Sumbar dari Tahun ke Tahun, Ulah Siapa?

Luas tutupan hutan di Sumatera Barat terus berkurang dari tahun ke tahun.

oleh Novia Harlina diperbarui 04 Jan 2023, 09:00 WIB
Direktur KKI Warsi, Rudi Syaf menunjukkan peta rusaknya tutupan hutan di Sumbar. (Liputan6.com/ Novia Harlina)

Liputan6.com, Padang - Hutan menjadi salah satu tonggak penting dalam kelangsungan hidup manusia. Rusaknya hutan juga akan mempengaruhi kelangsungan hidup manusia hingga flora dan fauna.

Sementara di Sumatera Barat (Sumbar), dari tahun ke tahun luas tutupan hutan terus berkurang. Hal ini berpotensi mengganggu keberlangsungan hidup manusia, flora hingga fauna.

Berdasarkan analisis Citra Sentinel II yang dilakukan oleh tim Geographic Information System Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Sumbar kehilangan 27.447 hektare atau 1,5 persen hutan sepanjang tahun 2022.

Sedangkan jika merujuk ke total luasan hutan Sumbar, lebih dari separuh wilayah ini merupakan kawasan hutan, yakni seluas 2.286.883 hektare atau 52 persen.

Pada 2021 jumlah tersebut menyusut menjadi 41 persen atau 1.744.549 hektare dan pada 2022 kembali berkurang sebanyak 27.447 hektare.

"Sejumlah aktivitas manusia menjadi penyebab berkurangnya tutupan hutan di Sumbar, seperti pertambangan emas ilegal dan pembalakan liar," kata Direktur KKI Warsi, Rudi Syaf beberapa waktu lalu di Padang.

Data yang dikeluarkan Warsi dalam catatan akhir tahun 2022, pertambangan emas tanpa izin atau ilegal di Sumbar terdapat di empat daerah yakni Kabupaten Dharmasraya seluas 2.179 hektare, Solok 1.330 hektare.

Kemudian Solok Selatan 2.939 hektare, dan Sijunjung 1.174 hektare. Tambang emas ilegal biasanya terjadi di sungai utama atau pun sungai kecil dalam kawasan Area Penggunaan Lain (APL), hutan produksi, dan hutan lindung.

Penambangan emas ilegal tersebut, lanjutnya mengakibatkan kerusakan hutan dan lingkungan serta timbulnya bencana longsor di sekitar kawasan tambang.

"Perlu adanya komitmen yang kuat untuk menanggulangi tindakan ilegal yang mengakibatkan kehilangan tutupan hutan," ujar Rudi.

Oleh sebab itu, lanjutnya tugas bersama semua pihak ke depannya yakni menahan laju deforestasi, peningkatan kegiatan pemulihan hutan, peningkatan kapasitas dan keterampilan masyarakat penjaga hutan dan penggunaan alat pengendali kegiatan illegal dalam hutan.

 

 

 

 


Potensi Sumber Daya Alam

Sementara Wakil Direktur KKI Warsi Rainal Daus menyebut hutan sejatinya bukan hanya tegakan kayu. Pengembangan ekonomi bisa berjalan tanpa merusak hutan.

"Hutan merupakan potensi yang sumber daya alam yang bisa bernilai ekonomi tinggi," ujarnya.

Ia mencontohkan soal adanya imbal jasa karbon di hutan alam, kemudian penggalangan dana melalui program adopsi pohon, ekowisata, imbal jasa air, pengembangan commodity agroforest, produk kompos, dan madu.

Pengembangan potensi ini, lanjutnya akan mendukung kehidupan masyarakat nagari (desa adat) di Sumbar.

Berdasarkan data BPS pada 2020 terdapat 950 nagari yang berada dalam kawasan hutan, dengan rincian 365 nagari berada di hutan konservasi, 305 nagari di hutan lindung dan 280 nagari di hutan produksi.

"Artinya, masyarakat Sumbar tidak lepas dari hutan dan menggantungkan hidup pada hutan," jelasnya.

Namun, perlu adanya perubahan pandangan di masyarakat. Jika selama ini masyarakat melihat hutan untuk dijadikan kebun, bisa dengan pengelolaan hutan secara modern melalui pengembangan imbal jasa lingkungan atau Payment for ecosystem services (PES).


Pemulihan Ekonomi Melalui Hutan

Selanjutnya Rainal menyampaikan menjaga tutupan hutan adalah upaya meraih manfaat ekologi bagi masyarakat, seperti ketersedian air bersih, lingkungan yang sejuk, dan terhindar dari bencana alam.

"Menjaga tutupan hutan juga bernilai ekonomi. Seperti misalnya yang dirasakan oleh masyarakat di lanskap Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba) di Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi," ucapnya.

Bujang Raba terdaftar ke dalam pasar karbon sukarela melalui skema Plan Vivo. Dari perhitungan KKI Warsi pada zona lindung hutan desa yang merupakan hutan primer, penyerapan emisi atau cadangan karbon rata-ratanya sebesar 287 ton C/hektare atau 1,052 ton CO2 e/hektare.

"Melalui skema ini masyarakat mendapatkan dana yang difungsikan membiayai kegiatan sosial seperti khitanan, menjadi bantuan langsung tunai (BLT) ketika pandemi, dan membiayai kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan," sebut Rudi.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya