Liputan6.com, Beijing - Duta Besar Republik Indonesia untuk China Djauhari Oratmangun mengingatkan seluruh warga negara Indonesia (WNI) di Tiongkok bahwa aturan terkait COVID-19 tetap berlaku meski pemerintah setempat telah mengumumkan pelonggaran. Dia meminta WNI tetap waspada dan menjaga kesehatan.
"Imbauan KBRI kepada masyarakat dan pelajar masih berlaku saat dikeluarkan pada akhir November, untuk tetap waspada dan jaga kesehatan," ujar Djauhari Oratmangun saat dihubungi Liputan6.com pada Selasa (3/1/2023).
Advertisement
Diplomat senior RI ini juga menyampaikan perkembangan kasus COVID-19 di China yang ia sebut telah menurun.
"Meski kasus sudah jauh menurun tapi sebaiknya tetap diperhatikan," ujar Djauhari Oratmangun.
"Alhamdulillah sampai saat ini belum ada kasus berarti dari masyarakat Indonesia, sebagian besar sudah beraktivitas seperti biasa lagi."
Usai pelonggaran aturan COVID-19, pemerintah China kembali membuka perbatasannya bagi pelancong, terutama menjelang libur Tahun Baru Imlek.
Amerika Serikat, Jepang, dan sejumlah negara lainnya memutuskan mewajibkan tes COVID-19 bagi pelancong yang datang dari China. Langkah tersebut mencerminkan kekhawatiran global bahwa varian baru dapat muncul dalam wabah eksplosif.
Menanggapi hal ini, epidemiolog Dicky Budiman menilai bahwa langkah pelonggaran yang diambil China sangat berbahaya.
"China membuat aturan ini agar orang-orang bisa keluar dari situasi krisis dan bisa pergi ke luar negeri," ujar Dicky Budiman saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (30/12/2022).
"Inilah yang harus dimitigasi oleh kita (Indonesia) dengan meningkatkan screening, mengetahui jenis kriteria, keamanan lewat PCR negatif, sudah booster dan termasuk 3 hari masa karantina," tambahnya.
Soal Aturan Karantina
Dicky Budiman juga menyebut bahwa masa karantina bisa saja tak terpusat, bisa di hotel dan tak boleh keluar.
"Harus punya PeduliLindungi dan bisa diberi keterangan merah atau hitam, namun tak bisa kemana-mana."
"Setelah 3 hari, kalau memungkinkan melakukan PCR dan bisa keluar dan melakukan aktifitas."
"Yang saya khawatirkan bukan BF7 tapi varian sub varian baru yang lahir dari infeksi masif dari China. Ini akan merugikan kita."
Dicky Budiman mengatakan, banyak negara melakukan pembatasan terhadap pelancong China dan bagaimana pun pembatasan ini diperlukan, meskipun tidak seperti zaman dahulu dengan melakukan masa karantina 2 minggu.
"Di Australia modal imunitas mereka sudah kuat. Booster sudah di atas 70 persen. Booster kita belum banyak jadi rawan dan kita butuh mitigasi itu," tambahnya.
Advertisement
Pandangan Sama dari Epidemiolog Lain
Sementara itu, sependapat dengan Dicky Budiman, Epidemiolog dr. Bayu Satria juga pandangan yang sama.
"Terkait aturan pemerintah China ini kurang begitu baik memang. Langkah yg bisa dilakukan negara lain adalah mewajibkan pendatang dari China tes negatif sebelum berangkat dan wajib sudha booster serta tidak bergejala," ujar dr. Bayu Satria saat dihubungi Liputan6.com.
"Jika ada kasus kasus yg timbul dengan bersumber dari orang yang datang dari China maka mungkin perlu diperketat lagi dengan karantina 3-5 hari."
Ia juga menyebut, lantaran kasus di China peningkatannya sedang tinggi artinya risiko juga tinggi dan itu sangat berbeda dengan negara negara lain yang sudah masuk risiko rendah seperti Indonesia.
AS Ikut Jejak 4 Negara Wajibkan Tes COVID-19 Bagi Pelaku Perjalanan dari China
Lonjakan kasus COVID-19 di China membuat pejabat kesehatan federal Amerika Serikat mengambil langkah pencegahan penularan lebih lanjut, dengan mengumumkan bahwa hampir semua penumpang pesawat udara dari negara tersebut harus menunjukkan bukti hasil negatif tes COVID-19 jika hendak memasuki wilayah AS.
Aturan itu mulai berlaku 5 Januari 2023. Pengecualian hanya diberlakukan pada penumpang berusia di bawah dua tahun.
Langkah yang diambil AS itu menyusul kebijakan serupa yang telah diberlakukan oleh India, Italia, Jepang dan Taiwan.
"AS mengambil langkah proaktif guna melindungi kesehatan masyarakat Amerika dan waspada terhadap potensi munculnya varian COVID-19," kata pejabat kesehatan federal seperti dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (29/12/2022).
Pada kesempatan tersebut, pejabat kesehatan federal juga menyebutkan bahwa pemerintah China tidak memiliki dan transparan dalam menyajikan data terkait Virus Corona COVID-19.
"Ada gambaran terbatas tentang data urutan genomic, tentang varian yang terdapat di China dalam basis data global. Selain itu pengujian dan pelaporan kasus baru juga berkurang. Berdasarkan absennya data ini, semakin sulit bagi kami untuk mengidentifikasi varian baru yang menyebar ke AS," demikian kilah pejabat itu ketika berbicara pada wartawan pada Rabu 28 Desember.
Pejabat tersebut berbicara dengan syarat anonim.
Pembatasan tersebut akan berlaku untuk individu yang melakukan perjalanan dari wilayah China daratan, Hong Kong, dan Makau, termasuk mereka yang akan transit sebelum menuju ke tempat lain.
Advertisement