Pengusaha Cemas, Perppu Cipta Kerja Justru Kurangi Tenaga Kerja

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, mengkhawatirkan berkat adanya perubahan aturan di klaster ketenagakerjaan.

oleh Tira Santia diperbarui 04 Jan 2023, 10:00 WIB
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo Hariyadi Sukamdani, menyatakan tidak akan menggugat penerbitan Perppu Cipta Kerja (dok: Tira)

Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, mengkhawatirkan berkat adanya perubahan aturan di klaster ketenagakerjaan.

Hal itu utamanya terkait upah minimum di Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perppu Cipta Kerja, bisa menyusutkan suplai tenaga kerja. 

Apindo menilai, dalam Perppu, formula penghitungan Upah Minimum (UM) ada 3 pertimbangan yakni pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu. Hal ini memberatkan dunia usaha mengingat UU Cipta Kerja hanya mencakup 1 variabel yaitu pertumbuhan ekonomi atau inflasi. 

Dimana aturan tersebut hampir dengan penetapan UMP berdasarkan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022. Dalam permenaker, penentuan nilai upah minimum berasal dadi penjumlahan antara inflasi dengan perkalian pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu.

"Kalau UM mengikuti Permenaker 18 tahun 2022, ini memang sebetulnya lebih akan menyusutkan tenaga kerja. Jadi, antara penciptaan lapangan kerja dengan jumlah angkatan kerja baru yang masuk dan yang sudah ada itu tidak proporsional lagi," kata Hariyadi saat ditemui di Kantor Apindo, di Jakarta, Rabu (4/1/2023).

Hariyadi menjelaskan, seharusnya dalam satu lapangan kerja bisa tersedia untuk satu pekerja. Nyatanya, saat ini sektor formal hanya mampu menyerap sekitar 35 juta orang dari 144 juta angkatan kerja.

"Kalau ini diteruskan, dampaknya akan makin menyusut (tenaga kerja), tren itu akan berlanjut terus," ujarnya.

 


Bukti Serapan Tenaga Kerja Berkurang

Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 2/2022 tentang Cipta Kerja.

Dalam paparannya, Hariyadi mengutip data Kementerian Investasi/BKPM selama delapan tahun ke belakang periode 2013-2021. Dari data itu disebutkan penyerapan tenaga kerja turun hingga 70 persen, namun disisi lain realisasi investasi justru naik.

Selain itu, Apindo juga menyoroti pada data tersebut, pada tahun 2013 jelas terdapat penciptaan tenaga kerja sebanyak 1,8 juta orang dengan total investasi sebesar Rp398,3 triliun. 

Justru, disisi lain penyerapan tenaga kerja malah turun drastis menjdi 1,2 juta orang pada 2021, dan total realisasi investasi yang semakin meningkat yakni Rp901 triliun.

"Kami sebagai pemberi kerja dan sebagai investor, itu juga tidak bagus untuk kami karena kalau itu terjadi, bonus demografi tidak akan terjadi. Yang ada malah beban, dan sudah terjadi," katanya.

Lebih lanjut Apindo pun menegaskan kembali, bahwa penentuan upah minimum berdasarkan formula yang baru dikhawatirkan tidak mencerminkan upah minimum sebagai jaring pengaman sosial, khususnya bagi pekerja.

"Kalau ini tidak mencerminkan jaring pengaman sosial dan ini cenderung nantinya, kenaikannya seperti dulu di PP 78 tahun 2015, yang kita khawatirkan itu adalah akan terjadi makin jauhnya suplai dan demand," pungkas Hariyadi.


Perppu Cipta Kerja Tuai Kritik, Pengusaha Tak Akan Gugat

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Hariyadi Sukamdani saat konferensi pers perihal Perppu Cipta Kerja. Foto: Tira Santia

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo Hariyadi Sukamdani, menyatakan tidak akan menggugat penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

"Kami tidak ada rencana menggugat Perppu, tapi kami sekarang mencoba meminta Pemerintah duduk bareng," kata Hariyadi dalam konferensi Pers Perppu Nomor 2 tahun 2022, di Kantor APINDO, Jakarta, Selasa (3/1/2023).

Sebelumnya, Apindo melayangkan gugatan uji materil Permenaker 18 Tahun 2022 tentang Upah Minimum 2023 ke Mahkamah Agung. Kementerian Ketenagakerjaan mengaku belum mendapatkan informasi lengkap dari MA. Namun, kali ini pihaknya tidak akan menggugat Perppu karena kasusnya berbeda dengan Permenaker.

"Menurut pandangan kami berbeda case nya dengan kemarin. Kalau Permenaker memang salah, jadi kita harus meluruskan. Kalau sekarang sudah lain, karena Perppu itu bicaranya Undang-undang yang ceritanya sebagai sumber hukum yang relatif tinggi yang harus kita melihatnya coba bicara dengan Pemerintah, dan DPR, ajak sama-sama," ungkapnya.

Terbitnya Perppu Cipta Kerja diluar dugaan, namun dunia usaha dapat memahaminya. APINDO yang sedang menunggu untuk dilibatkan pemerintah dalam pembahasan substantif perubahan UU Cipta Kerja sebagai tindak lanjut putusan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi cukup surprise dengan terbitnya Perppu tersebut.

"Kita gak diundang, kita kaget, dalam perjalanan ini kita lebih matang dan bijak ini suatu proses saya pikir sebaiknya semua pembahasan itu harus melibatkan semua stakeholder. Setahu saya tidak ada (pengusaha) yang diajak bicara," ujarnya.


Sedang Dipelajari

Massa dari PA 212 menuju Patung Kuda, Jakarta, untuk mengikuti aksi menolak UU Cipta Kerja, Selasa (13/10/2020). Selain PA 212, massa gabungan mahasiswa dan pelajar turut aksi mendesak Presiden Joko Widodo membatalkan UU Cipta Kerja Omnibus Law yang dinilai merugikan. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Saat ini APINDO secara khusus mencermati substansi Perppu untuk klaster ketenagakerjaan, tanpa mengabaikan klaster klaster lainnya. Hal tersebut mengingat klaster ketenagakerjaan yang sangat luas mendapat perhatian berbagai pihak, dan juga klaster yang menjadi fokus perhatian utama aktivitas APINDO. Mengenai klaster klaster lainnya akan ditinjau lebih lanjut secara terpisah.

Lebih lanjut, Apindo dan unsur asosiasi usaha lainnya memerlukan waktu untuk memahami PERPPU 2/2022 secara komprehensif. Dokumen PERPPU setebal lebih dari seribu halaman memerlukan waktu untuk dapat dipahami dengan baik mengingat cakupan luas 10 klaster.

"Terpenting kami sudah memberikan catatan, perkara keputusannya berbeda ya biarlah masyarakat yang menilai apakah keputusan tersebut objektif apa tidak, kami hanya ingin menyampaikan perspektif yang objektif saja," pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya