Liputan6.com, Jakarta - Penulis dan kepala ekonom di Tressis Gestion, Daniel Lacalle memprediksi perekonomian global akan menghadapi perlambatan hingga satu dekade ke depan.
"Saya pikir kita mungkin akan memasuki satu dekade pertumbuhan yang sangat, sangat buruk di mana negara ekonomi maju akan menemukan diri mereka beruntung dengan pertumbuhan 1 persen per tahun, jika mereka mampu mencapainya, dan apa yang lebih disayangkan daripada yang lainnya adalah dengan tingkat inflasi yang tinggi," kata Lacalle, mengutip CNBC International, Rabu (4/1/2023).
Advertisement
"Saya pikir kita sedang menjalani reaksi dari paket stimulus besar-besaran yang diterapkan pada tahun 2020 dan 2021. Hal itu tidak menghasilkan potensi pertumbuhan yang diharapkan banyak ekonom," sambungnya, kepada Squawk Box Europe CNBC.
Selain itu, dibukanya kembali aktivitas ekonomi China secara penuh akan menjadi langkah positif terbesar yang diharapkan pasar untuk tahun 2023 ini.
"Kami telah melihat gambaran yang sangat suram untuk ekonomi China, tidak hanya untuk pertumbuhan seluruh dunia tetapi khususnya untuk Amerika Latin dan juga untuk Afrika," sebut Lacalle.
Dia mengakui, dibukanya kembali aktivitas ekonomi China memang akan memberikan dorongan yang signifikan untuk pertumbuhan ekonomi dunia, tetapi eksportir dari negara Eropa salah satunya Jerman dan Prancis masih merasakan tekanan dari lockdown dan pelemahan bisnis di negara itu.
Menurutnya, dorongan tersebut belum cukup untuk mendekati tingkat pertumbuhan ekonomi sebelum pandemi.
Namun terlepas dari prospek yang suram, Lacalle masih optimis upaya mencegah krisis ekonomi masih bisa dilakukan.
“Saya pikir pasar mulai menghargai lingkungan di mana situasi global bukan lagi berfokus pada tingkat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang tinggi, tetapi situasi yang menghindari krisis keuangan, dan jika itu terjadi, itu pasti positif," pungkasnya.
Seperti diketahui, perekonomian dunia telah bergulat dengan banyak guncangan mulai dari perang di Ukraina hingga kebijakan nol-Covid-19 di China dan lonjakan inflasi.
Dana Moneter Internasional (IMF) kini memproyeksikan bahwa pertumbuhan PDB global akan melambat dari 6 persen pada tahun 2021 menjadi 3,2 persen pada tahun 2022 dan 2,7 persen pada tahun 2023.
IMF menyebut hal itu sebagai pertumbuhan terlemah sejak tahun 2001 kecuali untuk krisis keuangan global dan fase akut dari pandemi Covid-19.
IMF Ramal Sepertiga Ekonomi Dunia Bakal Resesi di 2023
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), Kristalina Georgieva memperingatkan bahwa sepertiga dari ekonomi global akan mengalami resesi tahun ini.
"Kami memperkirakan sepertiga perekonomian dunia akan mengalami resesi," kata Georgieva, dikutip dari BBC, Selasa (3/1/2023).
Bahkan negara yang tidak dalam resesi, akan terasa seperti resesi bagi ratusan juta orang," ujarnya dalam program berita CBS Face the Nation.
Georgieva sebelumnya juga sudah mengatakan bahwa 2023 akan menjadi tahun yang "lebih sulit" daripada tahun lalu karena Amerika Serikat, Eropa, dan China melihat perlambatan ekonomi.
Perlambatan ini didorong sejumlah isu global yang membebani ekonomi global, salah satunya adalah perang Rusia-Ukraina, lonjakan inflasi, suku bunga yang tinggi, dan penyebaran Covid-19 di China.
Georgieva pun memperingatkan bahwa China, yang merupakan negara ekonomi terbesar kedua di dunia, akan menghadapi awal tahun 2023 yang sulit.
"Untuk beberapa bulan ke depan, akan sulit bagi China, dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi akan negatif, dampaknya terhadap kawasan akan negatif, pertumbuhan global juga bisa negatif," sebutnya.
Tak hanya negara Barat, Komentar Georgieva juga tidak terkecuali bagi negara Asia yang mengalami tahun yang sulit di 2022.
IMF pada Oktober 2022 telah memangkas prospek pertumbuhan ekonomi global untuk tahun 2023 ini. Penurunan proyeksi IMF didorong oleh perang di Ukraina yang berkepanjangan serta suku bunga yang tinggi di berbagai bank sentral di seluruh dunia untuk mengendalikan inflasi.
Advertisement
Bagaimana Pandangan Ekonom?
Katrina Ell, seorang ekonom di Moody's Analytics di Sydney, memberikan pandangannya tentang ekonomi dunia.
"Sementara baseline kami menghindari resesi global selama tahun depan, kemungkinan salah satunya sangat tidak nyaman. Eropa, bagaimanapun, tidak akan lolos dari resesi dan AS tertatih-tatih di ambang (resesi)," katanya.
"Pembatasan Covid-19 domestik yang dilonggarkan China bukanlah peluru perak. Transisi akan bergelombang dan menjadi sumber volatilitas setidaknya hingga bulan Maret," sebut Ell.
Adapun Bill Blaine, ahli strategi dan kepala aset alternatif di Shard Capital, menggambarkan peringatan IMF sebagai alarm saat menyambut Tahun Baru 2023.
"Meskipun pasar tenaga kerja di seluruh dunia cukup kuat, jenis pekerjaan yang diciptakan belum tentu bergaji tinggi dan kita akan mengalami resesi, kita tidak akan melihat suku bunga turun secepat yang dipikirkan pasar," katanya kepada program Today di BBC Radio 4.
"Hal itu akan menciptakan serangkaian konsekuensi yang akan membuat pasar gelisah setidaknya selama paruh pertama tahun 2023," pungkasnya.
IMF: 2023 Bakal Jadi Tahun yang Sulit
Tahun 2023 akan menjadi tahun yang sulit bagi ekonomi global karena mesin utama pertumbuhan global yakni Amerika Serikat, Eropa dan China - semuanya mengalami pelemahan.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva.
Dikutip dari Channel News Asia, Senin (2/1/2023) Kristalina Georgieva mengatakan bahwa tahun baru akan menjadi "lebih sulit daripada tahun yang kita lalui sebelumnya".
"Mengapa? Karena tiga ekonomi besar - AS, UE, dan China - semuanya melambat secara bersamaan," ujarnya pada program berita Minggu pagi CBS Face the Nation.
"Untuk pertama kalinya dalam 40 tahun, pertumbuhan China pada 2022 berada di bawah atau di bawah pertumbuhan global," lanjutnya.
Selain itu, kasus Covid-19 di negara itu dalam beberapa bulan ke depan juga diprediksi masih akan menekan ekonominya tahun ini dan menyeret pertumbuhan regional dan global, kata Georgieva, yang melakukan perjalanan ke China dengan IMF akhir bulan lalu.
Seperti diketahui, China telah melonggarkan kebijakan nol-Covid-19 dan memulai pembukaan kembali pada ekonominya, meskipun konsumen tetap waspada ketika kasus virus corona melonjak.
Dalam pernyataan publik pertamanya sejak perubahan kebijakan Covid-19, Presiden Xi Jinping pada 31 Desember 2022 menyatakan China akan memasuki "fase baru".
"Saya berada di China pekan lalu, dalam gelembung di kota di mana tidak ada Covid-19. Tapi itu tidak akan bertahan begitu orang-orang mulai bepergian," sebut Georgieva.
"Untuk beberapa bulan ke depan, akan sulit bagi China, dan dampaknya terhadap pertumbuhan China akan negatif, dampaknya terhadap kawasan akan negatif, dampak terhadap pertumbuhan global akan negatif," pungkasnya.
Advertisement