Liputan6.com, Jakarta Hari Braille Sedunia jatuh setiap 4 Januari. Tanggal ini dipilih lantaran bertepatan dengan tanggal lahir penemu huruf Braille yakni Louis Braille.
Nama Braille pun diambil dari nama pria kelahiran Prancis 1809 itu. Braille dikenal sebagai tulisan dalam bentuk titik-titik timbul yang khusus dibuat untuk penyandang disabilitas netra.
Advertisement
Dengan braille, penyandang disabilitas netra bisa membaca tulisan dengan cara meraba susunan titik-titik menggunakan permukaan jari.
Sistemnya titik timbul ini merupakan kode yang diterima secara global untuk mereka yang memiliki gangguan penglihatan.
Louis Braille adalah penyandang tunanetra sejak usia 3 karena kecelakaan yang sempat dialaminya. Dia melukai salah satu matanya dengan penusuk atau alat tajam yang digunakan untuk membuat lubang pada bahan kulit hewan. Kedua matanya akhirnya terinfeksi dan pada usia 5 dia menjadi penyandang disabilitas netra total.
Keadaan Louis yang tunanetra tidak serta merta membuat orangtuanya menyerah. Mereka ingin agar putra mereka tetap mengenyam pendidikan. Dia bersekolah di desa dan belajar dengan cara mendengarkan.
Sejak kecil, Louis Braille dikenal sebagai siswa yang pandai belajar. Bahkan saat usia 10, dia menerima beasiswa untuk belajar di National Institute for Blind Youth di Paris dan mengenyam pendidikan di institute tersebut seperti melansir laman Biography.
Mengenyam Pendidikan Khusus
National Institute for Blind Youth Paris adalah sekolah khusus tunanetra pertama di Prancis. Sekolah ini didirikan oleh Valentin Haüy untuk mendidik siswa tunanetra.
Dari ilmu yang didapat di sekolah tersebut, Louis mengembangkan kode titik timbul yang memungkinkan para tunanetra untuk membaca dan menulis. Meskipun sistemnya digunakan terbatas selama masa hidupnya, sistem tersebut telah diterima secara global.
Di sekolah tersebut, Louis mempelajari keterampilan akademik dan kejuruan. Dia juga bertemu Charles Barbier, yang saat bertugas di tentara Prancis, menemukan kode yang menggunakan kombinasi berbeda dari 12 titik timbul untuk mewakili suara yang berbeda. Barbier menyebutnya sonografi sistem.
Mereka yang tidak bisa melihat akan memecahkan kode titik-titik dengan menyentuhnya. Tujuannya adalah agar tentara dapat berkomunikasi secara diam-diam di malam hari, tetapi karena tidak berhasil sebagai alat militer, Barbier berpikir sistem tersebut mungkin berguna untuk tunanetra.
Advertisement
Menyederhanakan Sistem Barbier
Louis adalah salah satu dari banyak orang di sekolah yang menganggap sistem Barbier menjanjikan, tapi dia juga menemukan kekurangannya.
Itu cukup kompleks, tentara mengalami kesulitan mempelajarinya dan itu didasarkan pada suara daripada huruf.
Louis menghabiskan waktu tiga tahun dari usia 12 hingga 15 untuk mengembangkan sistem yang jauh lebih sederhana.
Sistemnya hanya memiliki enam titik. Tiga titik berbaris di masing-masing dua kolom. Dia menetapkan kombinasi titik yang berbeda ke huruf dan tanda baca yang berbeda, dengan total 64 simbol.
Pada 1829, Louis menerbitkan metode penulisan kata, musik, dan lagu biasa dengan sarana titik untuk digunakan oleh tunanetra. Ia menjadi guru magang di National Institute for Blind Youth saat berusia 19 tahun, dan kemudian menjadi guru saat berusia 24 tahun.
Sempat Ada Pro Kontra
Pada 1837, sekolah tersebut menerbitkan buku pertama dalam huruf braille. Namun, sistem Louis terbukti kontroversial di institut tersebut.
Direktur sekolah, Alexandre François-René Pignier, telah mendukung penggunaan huruf braille, tetapi Pierre-Armand Dufau melarangnya ketika dia menjadi direktur sekolah pada 1840.
“Meskipun demikian, pada 1850, ketika tuberkulosis memaksa Louis Braille untuk pensiun dari mengajar, keenam metode titik yang ditemukannya sedang dalam perjalanan untuk diterima secara luas,” mengutip Biography.
Louis Braille meninggal karena penyakitnya pada 6 Januari 1852, di Paris, Prancis, pada usia 43 tahun. Meninggalkan sistem braille yang kini telah digunakan secara luas termasuk di Indonesia.
Advertisement