Pembedaan Tarif KRL buat Si Kaya, KAI Masih Tunggu Perintah Kemenhub

Kemenhub melalui Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) tengah merancang kebijakan subsidi tepat sasaran untuk moda kereta api di 2023. Ini antara lain membedakan tarif KRL untuk orang mampu.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 04 Jan 2023, 16:41 WIB
Rangkaian kereta listrik Commuter Line atau KRL saat melintas di Stasiun Jatinegara, Jakarta, Senin (2/1/2023). Sebagai informasi, tarif asli KRL adalah sekitar Rp 10.000-Rp 15.000 untuk sekali perjalanan. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Direktur Utama PT KAI (Persero) Didiek Hartantyo angkat bicara soal rencana pembedaan tarif KRL antara golongan mampu dan yang tidak mampu.

Dalam hal ini, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) hendak melakukan subsidi silang, dimana orang kaya bakal membayar tarif kereta KRL sesuai harga keekonomian, untuk mensubsidi kelompok miskin.

Didiek mengatakan, KAI selaku induk PT Kereta Commuter Indonesia yang mengoperasikan KRL Commuter Line masih menunggu hasil pembahasan Kemenhub selaku regulator.

"Kita sebagai operator belum, masih pembahasan di Kementerian Perhubungan," ujar Didiek kepada Liputan6.com saat ditemui di Stasiun Jatinegara, Jakarta, Rabu (4/1/2023).

Saat ditanya lebih lanjut, ia belum mau bicara lebih lanjut soal proses pemisahan tarif KRL. "Masih dikaji," ucapnya singkat.

Seperti diberitakan sebelumnya, Kemenhub melalui Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) tengah merancang kebijakan subsidi tepat sasaran untuk moda kereta api di 2023.

Ini sejalan dengan rencana pemerintah yang hendak memisahkan pengenaan tarif KRL antara konsumen kaya dan miskin.

Direktur Jenderal Perkeretaapian Kemenhub Mohamad Risal Wasal mengatakan, pihaknya akan membahas lebih lanjut dengan pihak KAI soal implementasi kebijakan tarif subsidi kereta tepat sasaran.

"Bagaimana nanti adanya subsidi tetap sasaran, ini juga nanti kita bahas ya Pak Dirut detilnya," kata Risal beberapa waktu silam.

Pemisahan tarif ini sejalan dengan langkah Kemenhub yang hendak merombak layanan public service obligation (PSO) pada tarif KRL Commuter Line. Dimana golongan kaya bakal membayar lebih sesuai ketentuan harga seharusnya untuk mensubsidi kelompok miskin yang tidak terkena kenaikan ongkos tiket.

Lebih lanjut, Risal menyatakan, pemberian subsidi tepat sasaran pada angkutan kereta api dilakukan agar alokasi APBN 2023 untuk layanan perkeretaapian tidak menguap begitu saja.

"Supaya bagaimana meningkatkan pelayanan di sisi perkeretaapian. Kami sepakat, bahwa kami sangat mendukung kemajuan perkeretaapian," ujar Risal.

"Enggak ada alasan, apapun yang dilakukan kawan-kawan operator sepanjang untuk meningkatkan pelayanan dan keselamatan, kami dukung. Kami upayakan kalau nantinya ada tambahan-tambahan," tegasnya.


Wacana Beda Tarif KRL Sudah Muncul Sejak 2018

Rangkaian kereta listrik Commuter Line atau KRL saat melintas di Stasiun Jatinegara, Jakarta, Senin (2/1/2023). Pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) berencana untuk menerapkan subsidi silang dalam tarif KRL Jabodetabek. Wacana ini dituturkan oleh Menhub Budi Karya Sumadi yang mengatakan tarif KRL akan disesuaikan supaya subsidi lebih tepat sasaran. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Pemerintah tengah mengkaji pemisahan tarif KRL bagi orang kaya dan orang miskin. Tujuannya disebut-sebut agar subsidi yang digelontorkan menjadi tepat sasaran.

Perlu diketahui, kontrak PSO (public service obligation) untuk KRL Jabodetabek tahun 2022 sebesar Rp 1,8 triliun dan menurun di tahun 2023 menjadi Rp 1,6 triliun. Demikian pula total PSO tahun 2022 sebesar Rp 2,8 triliun, turun di tahun 2023 menjadi Rp 2,5 triliun. Sebanyak 64 persen dari nilai total PSO Perkeretaapian diberikan untuk PSO KRL Jabodetabek.

Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno menyampaikan, usulan perbedaan tarif sebelumnya sudah muncul dalam kajian awal di 2018 lalu. Narasinya, berbicara mengenai subsidi tepat sasaran untuk pengguna KRL.

Dia menyebut, pada kajian tahun 2018 yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Perkeretaapian, pengguna KRL Jabodetabek di akhir pekan yang bekerja hari Sabtu 5 persen dan di hari Minggu 3 persen. Sisanya bepergian tujuan perjalanan sosial, seperti berwisata, kunjungan keluarga, seminar, ke pusat perbelanjaan.

"Pada tahun yang sama juga telah ada usulan mekanisme usulan subsidi tepat sasaran bagi pengguna KRL Jabodetabek. Namun, belum ditanggapi dengan serius oleh pemerintah saat itu. Tidak ada salahnya jika sekarang perlu dipertajam lagi kajiannya, sehingga pada saat yang tepat dapat diterapkan setelah dilakukan beberapa sosialisasi ke masyarakat," terang Djoko dalam keterangannya, Rabu (4/1/2023).

Melihat besaran subsidi yang dikucurkan pemerintah, dikaitkan dengah pola perjalanan di hari libur, Djoko menilai hal itu bisa menghemat anggaran. Caranya, dengan melepas subsidi bagi pengguna KRL yang bepergian untuk tujuan wisata.

"Dalam setahun bisa lebih 100 hari di akhir pekan dan hari libur. Jika dikurangi subsidinya, dapat menghemat sepertiga (dari total subsidi). Anggaran yang dihemat itu dapat dialihkan untuk subsidi angkutan umum feeder dari kawasan perumahan menuju stasiun," bebernya.

 


Biaya Transportasi

Rangkaian kereta listrik Commuter Line atau KRL saat melintas di Stasiun Jatinegara, Jakarta, Senin (2/1/2023). Pemerintah pusat mengalokasikan subsidi pada kebijakan tarif yang sudah berlaku sekitar lima tahun terakhir sehingga pengguna KRL di Jabodetabek hanya perlu membayar Rp3.000 untuk 25 km pertama, dan Rp1.000 untuk setiap 10 km berikutnya. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Djoko menerangkan kalau subsidi bagi KRL Jabodetabek saja jauh lebih tinggi dari subsidi ke angkutan perintis hingga angkutan perkotaan di 10 kota. Artinya, dana tersebut cukup besar hanya untuk KRL Jabodetabek.

Padahal, dalam menghitung komponen biaya transportasi, tak sebatas pada tarif KRL. Sebut saja ada angkutan pengumpan atau feeder dari titik tempat tinggal calon penumpang ke stasiun, atau dari stasiun ke lokasi tujuan. Djoko memandang, pada dua bagian itu biaya transportasi membengkak. Alasannya karena masih belum sepenuhnya terintegrasi.

"Yang perlu diperhitungkan, ada ongkos total perjalan dari rumah hingga ke tempat tujuan tidak lebih dari 10 persen penghasilan bulanan.

Policy Research Working Paper 4440 World Bank, belanja transportasi yang tepat bagi masyarakat adalah maksimal 10 persen dari upah bulanannya. Kajian World Bank itu berdasarkan riset dari negara-negara di Amerika Latin dan negara di Kepulauan Karibia 2007," paparnya.

Sedangkan, Survei Badan Litbang Perhubungan tahun 2013, ketika ditetapkan tarif KRL Jabodetabek satu harga dan murah, total ongkos transportasi yang dikeluarkan pengguna KRL Jabodetabek masih 32 persen dari pendapatan bulanan. Saat itu layanan transportasi last mile belum sebaik sekarang.

"Sekarang setiap stasiun KRL yang berada di Jakarta sudah terintegrasi dengan Bus Trans Jakarta dan Jak Lingko. Namun, layanan transportasi first mile belum banyak perubahan dan cenderung angkutan ke stasiun makin berkurang jumlahnya. Belum ada perbaikan yang berarti, baru ada Bus Trans Pakuan di Bogor dan Bus Tayo di Tangerang. Ciptakanlah transportasi umum seperti di Bogor dan Tangerang untuk di Kota Bekasi, Kab. Bekasi, Kota Depok, Kab. Tangerang, Kab. Bogor dan Kota Tangerang Selatan," bebernya.

"Kita jangan fokus hanya pada tarif KRL Jabodetabek, namun bagaimana kita merancang ongkos transportasi warga bisa kurang dari 10 persen dari pendapatan bulanan. Perancis dan Singapura sudah bisa menekan hingga 3 persen, sedangkan China 7 persen," pungkas Djoko.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya