Lonjakan COVID-19 di China Bikin Rumah Duka Kewalahan

Kasus COVID-19 yang kembali mengamuk di China membuat banyak rumah duka mengatakan mereka kewalahan.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 05 Jan 2023, 07:00 WIB
Personel polisi memeriksa seorang pria yang tampak tidak sehat dan sedang beristirahat di atas barang bawaannya di jalan Beijing, Jumat, 30 Desember 2022. China berada di jalan terjal untuk kembali ke kehidupan normal ketika warganya kembali ke sekolah, pusat perbelanjaan, dan restoran setelah berakhirnya kebijakan pembatasan paling parah di dunia diakhiri secara tiba-tiba, bahkan ketika rumah sakit dibanjiri pasien Covid-19 yang demam dan meriang parah. (AP Photo/Ng Han Guan)

Liputan6.com, Jakarta Kasus COVID-19 yang kembali mengamuk di China membuat banyak rumah duka mengatakan mereka kewalahan.

Pakar kesehatan internasional memperkirakan setidaknya satu juta kematian di China terjadi tahun ini. Ironisnya, China hanya melaporkan sekitar lima kematian per hari sejak pelonggaran kebijakan COVID-19 bulan lalu.

"Itu benar-benar konyol," kata warga Beijing berusia 66, Zhang menanggapi tentang jumlah resmi korban tewas mengutip Channel News Asia, Rabu (4/1/2023).

"Empat kerabat dekat saya meninggal. Itu hanya dari satu keluarga. Saya berharap pemerintah akan jujur ​​kepada masyarakat dan seluruh dunia tentang apa yang sebenarnya terjadi di sini," tambahnya.

China telah menolak skeptisisme internasional terhadap data statistik COVID-19 yang dikeluarkan. Ini dinilai sebagai upaya politik agar pencapaian negara tersebut dalam memerangi virus dinilai baik.

"Tiongkok dan rakyat Tiongkok pasti akan memenangkan kemenangan akhir melawan epidemi," kata People's Daily, surat kabar resmi Partai Komunis, dalam sebuah tajuk rencana.

Pernyataan ini merupakan bantahan terhadap kritik soal kebijakan tiga tahun isolasi, penguncian, dan pengujian di Tiongkok yang memicu protes bersejarah akhir-akhir ini.

Setelah mencabut pembatasan, otoritas Beijing menanggapi keputusan beberapa negara yang bersikeras bahwa pengunjung dari China harus menunjukkan tes COVID-19 pra-keberangkatan. Otoritas Beijing mengatakan bahwa aturan itu tidak masuk akal dan tidak memiliki dasar ilmiah.


Aturan Berbagai Negara untuk Pelancong China

Beberapa negara menerapkan tindak kewaspadaan untuk mencegah penularan COVID-19 dari pelancong China. Para pengunjung dari China harus menunjukkan hasil tes COVID-19 negatif sebelum masuk ke negara-negara yang menerapkan aturan itu.

Jepang menjadi negara terbaru yang mewajibkan tes negatif pra-naik, bergabung dengan Amerika Serikat, Australia, dan lainnya. Pejabat kesehatan Uni Eropa akan bertemu untuk membahas tanggapan terkoordinasi terhadap pelaku perjalanan dari China.

China sendiri akan berhenti mewajibkan pelancong untuk karantina mulai 8 Januari. Namun, negara itu masih akan menuntut agar penumpang yang datang diuji sebelum mereka memulai perjalanan mereka.

Pejabat Organisasi Kesehatan Dunia bertemu dengan para ilmuwan China pada Selasa, 3 Januari 2023, di tengah kekhawatiran atas keakuratan data China tentang penyebaran dan evolusi wabahnya.

Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengundang para ilmuwan China untuk mempresentasikan data terperinci tentang pengurutan virus, rawat inap, kematian, dan vaksinasi.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akan merilis informasi tentang pembicaraan tersebut di waktu mendatang.


Data COVID-19 China

Bulan lalu, WHO menyatakan belum menerima data dari China tentang rawat inap baru COVID-19 sejak perubahan kebijakan Beijing. Ini mendorong beberapa ahli kesehatan untuk mempertanyakan kemungkinan bahwa China menutupi informasi tentang tingkat wabahnya.

China melaporkan lima kematian COVID-19 baru pada Selasa (3/1), membuat jumlah kematian resmi menjadi 5.258, sangat rendah menurut standar global.

Laporan tersebut tak dipercayai begitu saja oleh dunia. Bahkan, perusahaan data kesehatan yang berbasis di Inggris, Airfinity, menyampaikan bahwa ada kemungkinan sekitar 9.000 orang di China meninggal setiap hari akibat COVID-19.

Hal ini dilihat dari kondisi rumah sakit yang penuh dan kewalahan. Ada pemandangan kacau di rumah sakit Zhongshan Shanghai di mana pasien yang mayoritasnya lanjut usia berdesak-desakan di aula yang penuh sesak.

Mereka berdesak-desakan di antara tempat tidur darurat di mana orang menggunakan ventilator oksigen dan mendapat infus.


Kata Dokter di Shanghai

Kecurigaan soal data COVID-19 China yang tidak sesuai semakin besar lantaran dokter yang menangani pasien COVID-19 membenarkan adanya tekanan besar pada fasilitas kesehatan.

Seorang dokter senior di salah satu rumah sakit terkenal di Shanghai mengatakan 70 persen populasi di kota besar itu kemungkinan telah terinfeksi COVID-19.

Peningkatan tajam infeksi terjadi setelah bertahun-tahun pembatasan ketat tiba-tiba dilonggarkan bulan lalu dengan sedikit peringatan atau persiapan. Pelonggaran ini dengan cepat membuat rumah sakit dan krematorium kewalahan.

Wakil presiden Rumah Sakit Ruijin dan anggota panel penasehat ahli COVID-19 Shanghai Chen Erzhen memperkirakan bahwa mayoritas dari 25 juta penduduk kota itu mungkin telah terinfeksi.

"Sekarang penyebaran COVID-19 di Shanghai sangat luas, dan mungkin telah mencapai 70 persen dari populasi. Ini 20 sampai 30 kali lebih banyak daripada bulan April dan Mei," katanya Chen.

Chen menambahkan bahwa rumah sakitnya di Shanghai menerima 1.600 rawat inap darurat setiap hari dengan 80 persen di antaranya adalah pasien COVID-19. Ini dua kali lipat jumlah sebelum pembatasan dicabut.

"Lebih dari 100 ambulan tiba di rumah sakit setiap hari," katanya.

Sekitar setengah dari penerimaan darurat rumah sakit adalah orang yang rentan berusia di atas 65 tahun atau lanjut usia (lansia).

Infografis 5 Tips Cegah Klaster Keluarga Covid-19 Saat Perayaan dan Libur Imlek. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya