Liputan6.com, Jakarta Jelang Pemilu 2024, suasana kian memanas. Hal ini dipicu oleh wacananya akan diterapkan sistem proporsional tertutup atau hanya mencoblos partai politik akibat ada yang menggugatnya di Mahkamah Konstitusi (MK).
Jadi ramai, lantaran wacana ini dilontarkan oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari, yang bahkan meminta para bakal calon legislatif tidak terburu-buru melakukan kampanye.
Advertisement
Bak gayung bersambut, partai yang mendukung sistem proporsional tertutup mendukung itu bisa diterapkan. Namun, tak sedikit yang menolak, dan menginginkan di Pemilu 2024 tetap memilih parpol dan calegnya.
Selasa 3 Januari 2023 delapan fraksi di DPR dengan tegas menolak itu. Mereka yang menolak yakni Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Amanat Nasional, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.
Salah satu poinnya, adalah meminta Mahkamah Konstitusi untuk tetap konsisten dengan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008, dengan mempertahankan pasal 168 ayat (2) UU No.7 tahun 2017 sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia.
Sementara, para penggungat yang telah terdaftar dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022 dan mengunggat pasal yang sama, menyatakan frasa terbuka dalam pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN) Oce Madril menilai, konstitusi sebenarnya tidak mengatur mengenai sistem pemilu apa yang harus diterapkan.
"Jadi pilihan sistem pemilu, apakah proporsional terbuka atau tertutup merupakan kebijakan hukum terbuka. Kedua sistem itu pun pernah diterapkan di Indonesia," kata dia, Rabu (4/1/2023).
Meski demikian, OCe mengingatkan ada implikasi dari setiap pilihan sistem pemilu tersebut. Misalnya, sistem proporsional terbuka dengan mencoblos caleg menitikberatkan pada individu, sehingga setiap caleg berlomba-lomba untuk dapat terpilih dan mengeluarkan biaya banyak.
Hal ini menyebabkan politik berbiaya sangat tinggi. Banyak riset telah dilakukan yang menyimpulkan rata-rata pengeluaran caleg DPR mencapai angka Rp 4 miliar dan bahkan ada yang menghabiskan sampai Rp 20 miliar. Di tingkat DPRD biayanya juga tinggi hanya untuk berebut satu kursi.
Oce Madril menambahkan biaya tinggi yang harus dikeluarkan caleg tersebut untuk membiayai berbagai kebutuhan kampanye agar dapat meraih suara sebanyak-banyaknya.
Para caleg akan bertarung dengan caleg dari partai lain dan bahkan akan gontok-gontokan dengan caleg dalam satu partai. Selain berbiaya tinggi, juga memicu konflik.
“Oleh karena orientasinya adalah meraih suara sebanyak-banyaknya, maka berbagai intrik dilakukan termasuk melakukan praktik politik uang. Maka banyak riset menyatakan bahwa politik uang di Indonesia sangatlah tinggi,” jelas Oce.
Pemilu yang berbiaya mahal berkorelasi dengan tingginya tingkat korupsi di sebuah negara.
Rumusnya sederhana, karena modal yang harus dikeluarkan caleg sangat mahal, maka ketika terpilih rentan melakukan korupsi untuk mengembalikan modal biaya pemilu dan menyiapkan modal baru agar dapat terpilih di pemilu berikutnya.
Persoalan turunan yang ditimbulkan oleh sistem pemilu berbiaya mahal ini telah dirasakan selama ini dan hingga saat ini, persoalannya semakin akut, korupsi politik, dan politik uang semakin merongrong institusi demokrasi.
“Sementara sistem proporsional tertutup menyisakan masalah demokratisasi di tingkat partai, khususnya berkaitan dengan rekrutmen politik," kata Oce.
Senada, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Udayana, Jimmy Z. Usfunan, mengatakan, sistem yang diterapkan sekarang membuat keresahan sosial, di mana banyak suara tidak sah lantaran sudah apatis dengan calon yang ada.
"Dengan fenomena ini, maka akan memunculkan sikap apatisme masyarakat nantinya dalam memilih pada Pemilu tahun 2024 yang akan datang, karena khawatir sudah menggunakan hak pilih, namun suaranya menjadi suara yang terbuang," kata dia, Rabu (4/1/2023).
Selain itu, menurut dia, ini memakan modal besar, bahkan bisa berunjung konflik, seperti pernah terjadi di Pemilu 2019.
"Bayangkan saja, jika konflik itu melibatkan para pendukung, bukankah akan menimbulkan konflik sosial yang besar di masyarakat? Sementara saat ini, Indonesia memiliki 514 kabupaten/Kota dan 38 Provinsi, tentunya ini bisa jadi masalah besar nantinya," jelas Jimmy.
Keresahan sosial lainnya akibat sistem proporsional terbuka ini, yaitu banyak lagi calon legislatif yang gagal mengalami depresi, gangguan jiwa, bahkan bunuh diri seperti yang terjadi pada 2019.
“Apalagi besarnya modal yang digunakan, dengan asumsi yang besar menjadi pemenang, sementara caleg yang lain juga berani melakukan adu modal, akibatnya cost politic menjadi makin besar, menjadikan para calon akhirnya rela berutang atau bahkan menggadaikan rumah dan barang-barang berharga lainnya demi kemenangan," kata Jimmy.
Selain itu, masih ada pemilih tak menggunakan rasional dan asal saja lantaran sudah terlalu banyak nama di surat suara.
"Akhirnya melihat pada foto atau karena popular, serta tidak mungkin jika pemilih nantinya bertindak yang mengakibatkan surat suara itu tidak sah," jelas Jimmy.
Mereka yang Menolak
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan, sistem pemilu itu harus berasaskan kedaulatan dan langsung, sebagaimana sesuai dengan undang-undang.
"Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, kedaulatan di tangan rakyat, maka sistem pemilu apa yang mendekati nilai kedaulatan itu. Maka itulah yang paling konstitusional, apalagi kalau dilihat dari Pasal 22 E bahwa asas pemilu itu langsung, jadi rakyat dapat menentukan siapa representasinya langsung," kata dia kepada Liputan6.com, Rabu (4/1/2023).
Menurut Feri, dari sanalah, bisa lihat, sistem mana yang paling tepat untuk memastikan kedaulatan berjalan dan rakyat bisa memilih langsung representasinya.
"Karena itu yang paling cocok tentu saja adalah sistem proporsional terbuka, di mana rakyat bisa menentukan siapa yang mewakili dirinya, dan partai sebagai peserta pemilu membuka ruang agar kedaulatan itu bisa berjalan," jelas dia.
Wakil Ketua DPP NasDem Willy Aditya memandang, Kembali ke sistem proporsional tertutup adalah kemuduran dalam berdemokrasi.
"Hal tersebut hanya ekspresi kemalasan berpikir untuk membangun kemajuan dalam membangun kehidupan politik. Sebab, proporsional terbuka adalah bentuk kemajuan dalam praktik berdemokrasi," kata dia, Rabu (4/1/2023).
Menurut Willy, demokratisasi sepatutnya bukan memundurkan yang telah maju, tetapi memperbaiki dan menata ulang hal yang kurang.
"Yang terjadi pada sistem pemilu jika benar kembali ke sistem proporsional tertutup maka terjadi kemunduran luar biasa. Selain menutup peluang rakyat untuk mengenal caleg, rakyat juga dipaksa memilih kucing dalam karung," tutur dia.
Willy menegaskan,sistem proporsional terbuka dahulu dipilih untuk menjawab persoalan kesenjangan representasi. Ada kelemahan pengenalan dan saluran aspiratif rakyat dengan wakil rakyatnya.
"Proporsional terbuka memungkinkan beragam latar belakang sosial seseorang untuk bisa terlibat dalam politik elektoral. Dengan sistem semacam ini pula, warga bisa turut mewarnai proses politik dalam tubuh partai," jelas dia.
Senada, Politikus PAN Saleh Daulay memandang jika memang benar bahwa memilih caleg menyebabkan politik uang, maka bukan sistemnya yang salah.
"Tetapi, instrumen pengawasan dan penegakan hukum yang perlu ditingkatkan. Praktik money politics sebetulnya tidak hanya bisa terjadi pada sistem proporsionalitas terbuka. Dalam sistem proporsionalitas tertutup pun hal itu sangat dimungkinkan. Bahkan bisa terjadi di lingkaran partai politik dan di masyarakat," kata dia.
Menurut Saleh, jika tertutup, pasti ada kontestasi di internal partai. Di titik ini, ada peluang politik uang ke oknum elite partai untuk dapat nomor bagus.
"Money politics ini menurut saya lebih bahaya. Tertutup dan tidak kelihatan. Hanya orang tertentu yang punya akses. Tidak hanya itu, nanti pas pemilu, yang dapat nomor urut bagus tadi juga masih bisa money politics di masyarakat. Walau kampanyenya untuk memilih partai, tetapi tetap saja peluang untuk melakukan pelanggaran selalu ada," tutur dia.
Karena itu, Saleh menegaskan, bahwa yang disampaikan ke masyarakat adalah politik uang itu bisa dihindarkan dan menolaknya.
"Sebab, berapa banyak pun uang yang dimiliki oleh caleg, jika masyarakat tidak mau, tetap saja tidak akan mampu membayar suara rakyat. Apalagi kesadaran itu didukung oleh perangkat pengawasan yang baik," kata dia.
Politikus PKB Yanuar Prihatin pun menuturkan, sistem proporsional tertutup digunakan sepanjang pemilu jaman Orde Baru.
"Apa yang terjadi? Rakyat tidak kenal calon yang akan mewakilinya, di TPS para pemilih seperti membeli kucing dalam karung, kedaulatan pemilih dikubur oleh kedaulatan partai dan kegairahan politik hanya milik segelintir pengurus partai. Pada saat itu jangan harap muncul partisipasi politik rakyat dalam skala massif, yang ada adalah mobilisasi untuk arak-arakan di jalan raya," kata dia.
Jangan lupa, sambung dia, sistem proporsional tertutup di masa lalu telah menghasilkan oligarki di dalam partai.
"Tertutupnya kompetisi antara sesama kader. Juga melahirkan para politisi yang lebih mengakar ke atas daripada ke bawah," kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI ini.
Yanuar menegaskan, bagi partai politik yang punya tradisi komando yang kuat dan sedikit otoriter, sistem tertutup ini lebih disukai. Bahkan bagi kader partai politik yang berjiwa oportunis, elitis dan tidak mampu berkomunikasi dengan publik, sistem proporsional tertutup adalah peluang terbesar bagi karir pribadinya.
"Tapi karena kita semua memahami bahwa ada salah arah, maka akhirnya sistem proporsional terbuka dijadikan kesepakatan bersama sejak Pemilu 2009," pungkasnya.
Suara KPK dan KPU
Ketua KPU Hasyim Asy'ari tidak mau terlalu ikut berpolemik meski wacana tersebut digulirkan terlebih dahulu olehnya. Menurut dia, apapun nanti keputusan MK, pihaknya akan menjawabnya.
"Bila saatnya KPU diminta memberi keterangan maka KPU akan menyampaikan keterangan tentang itu, secara proporsional sesuai dengan bidang tugas dan ruang lingkup kerja KPU," kata dia di Jakarta, Rabu (4/1/2023).
Bahkan, Hasyim enggan menjelaskan mana yang paling mudah dijalankan pihaknya soal proporsional terbuka atau tertutup.
"KPU tidak akan berteori tentang proporsional terbuka keuntungan kelebihan kekurangan ini, kemudian yang tertutup keuntungan kelebihan kekurangannya itu, KPU tidak berbicara pada level itu. Karena itu level perbincangan di pembentuk undang-undang dan para pengkaji," kata dia.
"KPU levelnya pelaksana undang-undang, sehingga saat KPU memberikan keterangan maka sesuai dengan apa yang dialami dan menjadi ruang lingkup tugas dari penyelenggara pemilu," sambungnya.
Meski demikian, Hasyim menegaskan, kajian beban kerja sudah dilakukan pihaknya terhadap dua sistem tersebut.
"Soal kajian beban kerja, sudah ada kajian KPU mengenai itu. Tapi nanti disampaikan pada saat sidang (di MK)," kata dia.
Sementara, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengatakan, biaya pemilu tinggi di Indonesia hal yang wajar mengingat luasnya wilayah dan berbagai macam tantangannya.
Meski demikian, dia tak menepis bahwa biaya politik tinggi tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya penyalahgunaan penggunaan dana politik tersebut untuk kepentingan pribadi, kelompok atau korporasi yang menyebabkan terjadinya kerugian keuangan negara.
"Namun bilamana pelaksana penyelenggara pemilu memiliki integritas kepribadian tinggi, maka kecil kemungkinan terjadi korupsi," kata Johanis kepada Liputan6.com, Rabu (4/1/2023).
Begitu juga politik uang dalam penyelenggaraan pemilu, bisa terjadi karena adanya interaksi antara oknum partai peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu atau dengan oknum masyarakat sebagai pemilih.
"Dan dalam konteks ini dapat terjadi suatu perbuatan tindak pidana korupsi manakala ada penyuapan yang dilakukan terhadap penyelenggara pelaksana pemilu untuk melakukan perbuatan yang menyimpang dari yang seharusnya dilakukan," jelas Johanis,
Karena itu, KPU Pusat perlu pencerahan dan pengawasan dari intansi pemerintah dan masyarakat terhadap jalannya Pemilu 2024.
"Dengan demikian diharapkan pemilu dapat terselenggara dengan baik, jujur dan adil. Sehingga dapat diperoleh pimpinan yang jujur, adil dan bermartabat dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan serta bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme," kata Johanis.
Karena itu, menurut dia, permasalahannya bukan sistem pemilunya yang bagus atau tidak. "Tapi bagaimana penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan masyarakat dapat memahami pentingnya penyelenggaraan pemilu yang adil dan jujur," jelas Johanis.
Sementara, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyadari bahwa tahun 2023 ini merupakan gerbang menuju Pemilu 2024, dan berdasarkan catatannya rawan korupsi.
Pasalnya, momen politik sedang membutuhkan banyak dana untuk amunisi politik, sehingga Semua hal penyelenggara pemerintahan menjadi cenderung untuk disalahgunakan, diperjualbelikan secara illegal, prosedur administrasi dipenuhi secara formil padahal substansinya disimpangi.
"Mulai dari anggaran, pengadaan barang dan jasa, seleksi pejabat, perijinan bahkan sampai pada bantuan-bantuan yang disalahgunakan," kata dia.
Karena itu, pihaknya menghibau para penyelenggara negara untuk tidak melakukan praktek korupsi.
"Karena KPK pun telah mempersiapkan kewaspadaan untuk memberantas korupsi secara professional tegas dan akuntable. KPK berharap tahun 2023 ini tidak merupakan tahun korupsi, tapi tahun politik etis berintegritas tanpa korupsi," pungkasnya.
Advertisement
Suara Partai Baru
Wakil Ketua Umum Partai Ummat Buni Yani mengatakan, partainya yang tergolong masih baru, tak masalah dengan sistem terbuka ataupun tertutup.
"Dengan sistem terbuka kami siap, dengan sistem tertutup pun InsyaAllah kami siap," jelas dia kepada Liputan6.com, Rabu (4/1/2023).
Buni menuturkan, masing-masing sistem punya kelebihan dan kelemahan. Mengantisipasi sistem mana saja nanti yang diberlakukan oleh KPU, Partai Ummat sudah mulai mengadakan konsolidasi internal agar bisa mendapatkan suara double digits sehingga bisa melewati ambang batas perlemen (parliamentary threshold).
"Partai Ummat InsyaAllah dalam waktu dekat akan mengadakan Rakernas," kata dia.
Karena itu, pihaknya menghormati dinamika yang terjadi di DPR. "Kami menghormati kawan-kawan di DPR baik yang memilih sistem terbuka ataupun tertutup. Mereka pasti punya argumen masing-masing," tukas Buni.
Sementara, Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah mengkritik keras pernyataan Ketua KPU RI Hasyim Asyari yang mengatakan ada kemungkinan pemungutan suara Pemilu 2024 nanti dilakukan dengan sistem proporsional tertutup.
Dia menilai ada upaya kesengajaan dari partai tertentu untuk mendorong Hasyim membantu untuk berkuasa dan melanggengkan kekuasaannya, serta tidak ingin ada tradisi berpikir demokratis dalam setiap Pemilu.
"Kalau betul Ketua KPU (Hasyim Asyari) didorong partai politik untuk mengakhiri pencoblosan nama calon pejabat, khususnya wakil rakyat yang kita pilih," kata Fahri.
Menurut dia, jika pencoblosan dengan nama partai, maka ada ketergantungan dalam penentuan nama pejabat publik oleh partai. Fahri menegaskan, partai akan menentukan nomor urut dan keterpilihan yang sangat tinggi sekali, sehingga menyebakan wibawa mereka dalam negara akan sangat besar sekali.
"Ini sebenarnya tradisi komunis. Menurut saya, ini krisis besar yang dihadapi setiap negara dan partai politik, karena mereka tidak meneruskan tradisi dan tidak berpikir demokratis," kata Fahri.
Partai-partai seperti ini, kata Fahri, adalah partai yang haus kekuasaan. Di dalam benaknya yang terpikir adalah menang dan bisa berkuasa, serta tidak peduli, apakah hal itu diperoleh secara demokratis atau tidak, yang penting bisa berkuasa.
"Partai-partai ini hanya haus kekuasaan, tetapi tidak mau berpikir. Saya kira ini harus menjadi wake up call (panggilan untuk membangunkan seseorang dari tidurnya) bagi kita, bahwa sistem totaliter ingin di implan secara lebih permanen di dalam negara kita. Ini berbahaya sekali," kata dia.