Sistem Pemilu Proporsional Terbuka, Caleg Berkualitas Kalah dengan yang Bermodal

Sistem proporsional terbuka dalam pemilihan calon legislatif (Pileg) dinilai lebih menghadirkan semangat individualis, akibat praktek ‘pasar bebas’ ketimbang menghadirkan iklim musyawarah dalam menghadirkan wakil rakyat yang mumpuni.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 05 Jan 2023, 11:19 WIB
Ilustrasi - Petugas menunjukkan contoh surat suara Pemilu 2019 di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Kamis (13/12). Proses validasi ini berlangsung hingga 17 Desember 2018. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Sisitem pemilihan umum (Pemilu) proporsional terbuka tengah diuji materil di Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut pemohon, sistem pemilu tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi kekinian dan harus dipertimbangkan untuk kembali seperti sebelumnya, yakni proporsional tertutup.

Menanggapi hal itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Putu Gede Arya Sumertha Yasa, menyampaikan bahwa sistem proporsional terbuka dalam pemilihan calon legislatif (caleg) lebih menghadirkan semangat individualis, akibat praktek ‘pasar bebas’ ketimbang menghadirkan iklim musyawarah dalam menghadirkan wakil rakyat yang mumpuni.

“Fenomena caleg-caleg terpilih karena popularitas dan banyak uang, merupakan realita yang tidak dapat dibantah. Sehingga kerap kali, dalam rekrutmen caleg, kemampuan untuk memperjuangkan hak rakyat tidak menjadi ukuran prioritas,” kata Arya Sumertha dalam keterangan diterima, Kamis (5/1/2023).

Arya menganalogikan, colon legislatif (caleg) yang memiliki kualifikasi  mumpuni dari aspek intelektual, selalu kalah dengan caleg yang mengandalkan modal besar. Ironisnya, dari Pemilu ke Pemilu, biaya yang dikeluarkan caleg semakin mahal.

Realita tersebut, lanjut Arya, menunjukkan kader partai mumpuni dan ikut menjalankan roda organisasi kepartaian, baik dalam pendidikan politik, membangun etika dan budaya  berbangsa, sering dikalahkan dengan calon yang banyak uang. Hal itu dapat terjadi akibat sistem pemilu yang melegitimasi dengan proporsional terbuka.

“Hal itu jauh dengan semangat nilai musyawarah yang dikehendaki oleh pendiri bangsa Indonesia. Bahkan karena sistem proporsional terbuka menghendaki persaingan sebebas-bebasnya, berdampak pada ruang-ruang perselisihan antar calon legislatif, termasuk di internal Partai semakin mengeras,” kritik Arya.

 


Tujuan Parpol Sesuai Amanat UU Bisa Terhambat

Pendukung peserta partai politik PDIP, Demokrat, Gerindra dan Berkarya menunjukkan nomor parpol sambil yel-yel usai pengambilan nomor urut peserta pemilu 2019 di KPU, Jakarta, Minggu (18/2). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Arya meyakini, jika sistem terbuka terus dilanggengkan maka kerapuhan partai-partai politik dapat terjadi. Hal itu disebabkan kuatnya pengaruh individual bermodal di tubuh partai. 

“Pada akhirnya tujuan dari Partai Politik sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan untuk turut andil dalam pembangunan negara bisa terhambat,” dia menutup.

Sebagai informasi, saat ini Mahkamah Konstitusi (MK) sedang menguji materi (judicial review) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka. Apabila judicial review itu dikabulkan oleh MK, maka sistem pemilu pada 2024 mendatang akan berubah menjadi sistem proporsional tertutup.

Uji materi ini diajukan oleh enam orang, yakni Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI).

Diketahui, Sistem proporsional tertutup memungkinkan para pemilih hanya disajikan logo partai politik (parpol) pada surat suara, bukan nama kader partai yang mengikuti pileg.

Infografis Sistem Proporsional Tertutup Vs Proporsional Terbuka dalam Pemilu. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya