Muncul COVID-19 XBB.1.5, Ketahui Fakta tentang Subvarian yang Bikin Kasus di AS Menggila Ini

Kata epidemiolog soal COVID-19 subvarian XBB.1.5.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 05 Jan 2023, 14:00 WIB
Ilustrasi COVID-19 XBB.1.5. Foto: (Liputan6.com/Ade Nasihudin).

Liputan6.com, Jakarta Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa ada subvarian baru dari COVID-19 yang disebut XBB.1.5.

XBB.1.5 merupakan subavrian Omicron yang paling menular ketimbang berbagai varian sebelumnya. Terkait temuan ini, epidemiolog sekaligus peneliti kesehatan global dari Griffith University Australia Dicky Budiman menyampaikan hal apa saja yang perlu diwaspadai dari subvarian ini.

Dicky mengungkapkan XBB.1.5 memiliki potensi meningkatkan kapasitas infeksi.

“Adanya potensi XBB.1.5 untuk meningkatkan kapasitas menginfeksi pada jenis sel yang memiliki tingkat ACE2 yang bahkan lebih rendah,” ujar Dicky dalam keterangan tertulis yang diterima Health Liputan6.com, Kamis (5/1/2023).

“Ini akan meningkatkan kemampuan virus menginfeksi sel sekaligus potensi keberadaan yang lebih lama dalam sel tubuh,” tambahnya.

Terkait kecenderungan COVID-19 saat ini, Dicky memperkirakan pandemi sedang menuju status hiperendemik.

“Sepertinya kita pada akhirnya menuju status hiperendemik dan pada kondisi penyakit yang menurunkan kualitas kesehatan masyarakat dalam jangka panjang.”

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), hiperendemik diartikan sebagai kemunculan suatu penyakit secara terus menerus di suatu wilayah geografis tertentu dan terjadi dalam intensitas tinggi.

Padahal, selama ini banyak pihak yang menyatakan ingin segera memasuki endemi. Meski endemi bukan berarti aman dan bagus, kata Dicky.


Pasca Pencabutan PPKM

Epidemiolog Dicky Budiman Soal Cacar Monyet atau Monkeypox. Foto: Dokumentasi Pribadi.

Hadirnya XBB.1.5 menunjukkan bahwa masyarakat tetap harus waspada. Terutama pasca pencabutan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Setelah PPKM dicabut, sebagian orang tidak lagi memakai masker dan tindakan pencegahan penularan COVID-19 lainnya. Padahal, pandemi belum berakhir.

Hal ini tak mengejutkan bagi Dicky Budiman. Ia melihat pengabaian dilakukan bahkan oleh orang yang pernah terinfeksi COVID-19 dan tahu betapa beratnya kondisi tersebut. Sebagian dari orang yang terinfeksi juga mengalami kerusakan permanen pada tubuh.

“Tapi pengabaian pencegahan tetap dilakukan hanya karena mereka tidak dapat melihat akibat mikroskopis dalam tubuhnya saat ini dan akibat jangka panjang nanti,” kata Dicky.

“Apa yang tidak terlihat, bukan berarti tidak ada,” tambahnya.


Fakta Ilmiah

Dicky menyampaikan, hanya karena sesuatu diperbolehkan, bukan berarti sesuatu itu baik dan aman. “Hanya karena pemerintah mengatakan Anda bisa lepas masker, bukan berarti Anda harus melakukannya.”

Menurut fakta ilmiah, COVID-19 dapat menginfeksi berulang kali dan dapat menyebabkan masalah kesehatan serius jangka panjang. Tantangan COVID-19 saat ini bukan lagi tentang dampak akut, keparahan, dan kematian. COVID-19 adalah penyakit sistemik dan dapat bersifat kronik.

Dengan kata lain, COVID-19 tidaklah ringan. Ini adalah pelajaran yang didapat dari tiga tahun pengalaman melawan pandemi.


Tetap Waspada

Dicky juga sempat mengingatkan bahwa kondisi COVID-19 di China sedang tidak baik. Kasus COVID-19 di suatu negara bisa memengaruhi negara lainnya. Maka, kewaspadaan tetap harus dijaga.

Seperti diketahui kasus COVID-19 yang kembali mengamuk di China membuat banyak rumah duka mengatakan bahwa mereka kewalahan.

Pakar kesehatan internasional memperkirakan setidaknya satu juta kematian di China terjadi tahun ini. Ironisnya, China hanya melaporkan sekitar lima kematian per hari sejak pelonggaran kebijakan COVID-19 bulan lalu.

"Itu benar-benar konyol," kata warga Beijing berusia 66, Zhang menanggapi tentang jumlah resmi korban tewas mengutip Channel News Asia, Rabu 4 Januari 2023.

"Empat kerabat dekat saya meninggal. Itu hanya dari satu keluarga. Saya berharap pemerintah akan jujur ​​kepada masyarakat dan seluruh dunia tentang apa yang sebenarnya terjadi di sini," tambahnya.

China telah menolak skeptisisme internasional terhadap data statistik COVID-19 yang dikeluarkan. Ini dinilai sebagai upaya politik agar pencapaian negara tersebut dalam memerangi virus dinilai baik.

"Tiongkok dan rakyat Tiongkok pasti akan memenangkan kemenangan akhir melawan epidemi," kata People's Daily, surat kabar resmi Partai Komunis, dalam sebuah tajuk rencana.

Pernyataan ini merupakan bantahan terhadap kritik soal kebijakan tiga tahun isolasi, penguncian, dan pengujian di Tiongkok yang memicu protes bersejarah akhir-akhir ini.

Setelah mencabut pembatasan, otoritas Beijing menanggapi keputusan beberapa negara yang bersikeras bahwa pengunjung dari China harus menunjukkan tes COVID-19 pra-keberangkatan. Otoritas Beijing mengatakan bahwa aturan itu tidak masuk akal dan tidak memiliki dasar ilmiah.

Infografis yang menyebut bahwa delirium merupakan gejala baru dari COVID-19, penyakit yang disebabkan Virus Corona SARS-CoV-2, tersebar di media sosial dan grup WhatsApp. (Sumber: Istimewa)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya