Liputan6.com, Jakarta - Akademisi Hukum Universitas Nasional Basuki Rekso Wibowo menilai, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentu sudah punya pertimbangan matang dalam menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja).
“Presiden berhak menilai suatu keadaan faktual maupun potensial sebagai keadaan kegentingan memaksa. Presiden tentu tidak sembrono dalam menetapkan Perppu,” tegas Basuki dalam keterangan tertulis, Kamis (05/02/2023)
Advertisement
Basuki memandang, masalah kegentingan ini tidak terbatas adanya ancaman stagflasi ekonomi sebagai ancaman ekonomi global, yang dapat menimbulkan dampak luas terhadap negara dan rakyat Indonesia.
"Keadaan yang demikian itu tidak harus ditunggu dulu sampai dengan terjadinya, dan telah menimbulkan akibat fatal dan korban baru kemudian disikapi dengan membuat Perppu. Sikap dan cara demikian absurd, terlambat dan tidak ada gunanya," ungkapnya.
"Lagi pula perihal kegentingan memaksa sebagai alasan pembuatan Perppu telah ditetapkan parameternya dalam Putusan MK 138/PUU-VII/2009,” ia menambahkan.
Terkait kehadiran Perppu Nomor 2/2022 yang telah mendapatkan reaksi pro dan kontra, Basuki menilai hal tersebut boleh-boleh saja. Namun yang jelas, dia menyatakan, Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 mengatur Presiden berhak menetapkan Perppu berdasarkan alasan terjadinya kegentingan memaksa.
"Presiden berwenang untuk menilai secara subyektif terhadap keadaan obyektif sebagai kegentingan memaksa, untuk digunakan sebagai dasar membentuk Perppu," tandas Basuki.
Buruh Tentang Keras Perppu Cipta Kerja: Bentuk Nyata Perbudakan Modern
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menentang keras poin soal tenaga alih daya (outsourcing) yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, atau Perppu Cipta Kerja.
Iqbal menyatakan, kaum buruh di seluruh dunia sepakat outsourcing merupakan bentuk dari modern slavery, atau perbudakan modern.
"Sebagai bagian ILO Governing Body, isu outsourcing atau dalam bahasa lainnya kami menyebut precarious work atau sebagian di internasional menyebut casual work, itu memang ditentang, karena itu modern slavery," tegasnya, Rabu (4/1/2023).
Menurut pandangannya, tenaga outsourcing bekerja bukan pada pemilik perusahaan selaku majikannya, tapi tunduk pada perusahaan alih daya yang jadi agennya. Ia menyoroti nasib pekerja tersebut seandainya ia terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Ketika terjadi PHK dengan sistem outsourcing, si agen enggak mau bayar pesangon, karena si agen bilang, kamu kan bukan karyawan saya, saya hanya menyalurkan. Kamu minta dana ke majikan atau perusahaan pengguna," paparnya sembari menceritakan.
"Ketika ke perusahaan pengguna, bilang, kamu enggak punya hubungan kerja dengan saya. Saya mengambilmu dari agen. Itu berbahaya, makanya disebut modern slavery," kata Iqbal.
Dikatakan Iqbal, pertentangan kelompok buruh dan pengusaha juga turut terjadi di seluruh dunia. Perdebatan keras disebutnya sering terjadi di sidang-sidang Organisasi Buruh Internasional (ILO).
Advertisement
Easy Hiring Easy Firing
Ia pun menyinggung istilah easy hiring easy firing yang kerap dilontarkan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Menurutnya, itu jadi dalih pengusaha agar bisa mendapat pekerja murah lewat agen outsourcing
"Oleh karenanya seluruh buruh dunia menentang, against the precarious work. Jadi, alasan yang dibangun pemilik modal bahwa mereka bukan ingin dapat pekerja murah, tapi pekerja yang produktif supaya bisa cepat diganti, itu kan outsourcing," serunya.
"Tapi dia (pengusaha) lupa, pekerja itu manusia, bukan robot. Dia (pekerja) ingin dilindungi.Bagaimana Anda bisa melindungi kalau bekerja di satu perusahaan, tapi enggak punya hubungan kerja dengan perusahaan itu, yang ada hanya agen outsourcing. Nah, agen outsourcing hanya menerima fee. Apa bedanya dengan perbudakan?" pungkasnya.