Liputan6.com, Kyiv - Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan agar prajuritnya menerapkan gencatan senjata selama 36 jam di garis depan Ukraina. Gencatan senjata itu dimulai pada Jumat (6/1/2022).
Berdasarkan laporan BBC, Presiden Putin berharap pemerintah Ukraina mengikuti gencatan senjata itu, namun ditolak mentah-mentah oleh Presiden Volodymyr Zelensky.
Advertisement
Pihak Volodymyr Zelensky menyatakan bahwa gencatan senjata itu hanya akal-akalan supaya Ukraina berhenti bergerak maju.
Hari Natal di Rusia memang dirayakan pada 7 Januari. Itu berdasarkan ajaran Gereja Ortodoks Rusia yang menggunakan kalender Julius, meski mayoritas negara dunia memakai kalender Gregorius.
Patriarch Kirill selaku pemimpin Gereja Ortodoks Rusia meminta agar ada gencatan senjata Natal agar umat bisa menghadiri Natal Ortodoks.
Saran itu lantas diikuti oleh Kremlin.
Menurut situs pemerintah Ukraina, Ukrinform, permintaan gencatan senjata itu adalah dari 6 Januari pukul 12.00 hingga 7 Januari pukul 24.00.
Namun, Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba membalas bahwa Rusia berkali-kali menolak proposal Presiden Zelensky untuk berdamai, serta menyorot serangan Rusia pada tanggal 24 Desember menjelang Natal 2022, serta serangan pada malam tahun baru.
Penasihat presiden Ukraina, Mykhailo Podolyak menegaskan tak ada "gencatan senjata temporer" sampai pasukan Rusia mundur dari semua area yang mereka duduki. Ia juga berkata Rusia sedang pencitraan sebagai sosok humanis.
"Simpan kemunafikanmu untuk dirimu sendiri," ujar Podolyak.
Sementara, Presiden AS Joe Biden percaya bahwa pihak Rusia hanya butuh rehat sehingga meminta gencatan senjata.
Rusia Kerahkan Kapal Perang Bersenjata Rudal Hipersonik ke Atlantik Hingga Mediterania
Presiden Rusia Vladimir Putin mengerahkan fregat yang dipersenjatai rudal jelajah hipersonik menuju Samudra Atlantik dan Hindia. Unjuk kekuatan militer ini dilakukan di tengah perang yang terus berlanjut di Ukraina.
Melalui video conference, Putin ambil bagian dalam pelepasan kapal perang yang dinamakan Laksamana Gorshkov itu pada Rabu (4/1/2023). Bertindak sebagai komandan fregat adalah Igor Krokhmal.
"Kapal ini dilengkapi dengan sistem rudal hipersonik terbaru, Zircon, yang tidak memiliki analog. Saya mendoakan para kru sukses dalam pengabdian mereka kepada Tanah Air," kata Putin seperti dikutip dari Al Jazeera, Kamis, (5/1/2023).
Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu menuturkan bahwa fregat Laksamana Gorshkov akan berlayar ke Samudra Atlantik dan Samudra Hindia serta Laut Mediterania. Menurut Shoigu, kapal perang ini mampu meluncurkan serangan yang tepat dan menghancurkan musuh baik di laut maupun darat.
Tidak hanya itu, Shoigu juga mengklaim bahwa Laksamana Gorshkov dapat menembus sistem pertahanan rudal manapun dan memiliki jangkauan lebih dari 1.000 kilometer.
Advertisement
Senjata Hipersonik
Senjata hipersonik dapat melakukan perjalanan lebih dari lima kali kecepatan suara.
Rusia sendiri telah menguji peluncuran Zirkon dari kapal perang dan kapal selam tahun lalu di tengah memanasnya perlombaan pengembangan senjata hipersonik dengan Amerika Serikat dan China.
"Fokus utama dari misi ini adalah melawan ancaman terhadap Rusia dan mendukung perdamaian serta stabilitas regional bersama dengan negara-negara sahabat," ungkap Shoigu. "Dalam misi ini, akan ada pelatihan bagi awak kapal untuk mengerahkan senjata hipersonik dan rudal jelajah jarak jauh."
Terlepas dari namanya, para analis menilai bahwa fitur utama pada senjata hipersonik bukanlah kecepatannya – yang kadang-kadang dapat ditandingi atau dilampaui oleh hulu ledak rudal balistik tradisional – tetapi kemampuan manuvernya.
Laporan Layanan Riset Kongres AS tentang senjata hipersonik mengatakan bahwa rudal hipersonik Rusia dan China dirancang untuk digunakan dengan hulu ledak nuklir. Target senjata hipersonik jauh lebih sulit dikalkulasi dibanding rudal balistik antarbenua karena kemampuan manuvernya.
Di luar Rusia, Amerika Serikat, dan China, sejumlah negara lain juga sedang mengembangkan senjata hipersonik. Mereka di antaranya adalah Australia, Prancis, Jerman, Korea Selatan, Korea Utara, dan Jepang.
Pakar: Dialog Perdamaian Rusia-Ukraina Dinilai Masih Jauh, Tergantung Situasi Peperangan
Meskipun ada saran dari pejabat Ukraina dan Rusia tentang kesediaan untuk menegosiasikan diakhirinya perang selama 10 bulan di Ukraina, kemungkinan penyelesaian damai tampaknya masih jauh, menurut para ahli yang berbicara dengan Newsweek.
"Saya pikir taruhan teraman adalah mengatakan bahwa itu akan berlanjut sampai satu pihak dipaksa keluar dari konflik dengan satu atau lain cara," Michael Kimmage, seorang profesor sejarah di Universitas Katolik Amerika, mengatakan kepada Newsweek tentang prediksinya tentang kapan perdamaian dapat terjadi.
Pikiran Kimmage telah digaungkan oleh orang lain, bahkan ketika kedua negara baru-baru ini mengklaim bahwa mereka bersedia untuk berbicara, demikian seperti dikutiip dari Fresno Bee, Sabtu (31/12).
Pada hari Minggu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan dalam sebuah wawancara dengan outlet TV negara Rusia bahwa dia "siap untuk menegosiasikan beberapa hasil yang dapat diterima dengan semua peserta dari proses ini."
Namun, beberapa hari kemudian, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan tidak mungkin ada pembicaraan damai yang berhasil kecuali Ukraina menerima aneksasi yang diklaim Rusia atas wilayah Ukraina yang sebagian diduduki di Donetsk, Luhansk, Kherson dan Zaporizhzhia.
Di sisi lain, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky telah menyatakan bahwa dia tidak mau melepaskan wilayah yang dianeksasi Rusia. Dan sementara Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba berbicara minggu ini tentang mengadakan "KTT perdamaian" potensial pada bulan Februari, dia juga mengatakan Rusia akan diundang hanya jika menghadapi penuntutan kejahatan perang di pengadilan internasional.
Dengan demikian, hambatan terbesar untuk pembicaraan damai adalah bahwa tidak ada pihak yang tampaknya mau mengalah di wilayah tersebut.
"Dalam pandangan saya, baik Putin maupun Zelensky tidak benar-benar tertarik pada pembicaraan damai karena mereka masing-masing berpikir bahwa mereka dapat mengalahkan yang lain," kata Mark N. Katz, seorang profesor di Sekolah Kebijakan dan Pemerintahan Schar Universitas George Mason, kepada Newsweek.
Katz melanjutkan, "Hanya menyatakan kesediaan mereka untuk mencapai perdamaian, bagaimanapun, dimaksudkan untuk menunjukkan kepada dunia luar — terutama Barat — bahwa mereka 'masuk akal' sementara kondisi yang diminta oleh yang lain 'tidak masuk akal.'"
Advertisement