Gol A Gong: Indonesia Sedang Darurat Buku, Tapi Bukan karena Minat Baca Rendah

Untuk menjalankan tugas sebagai Duta Baca Indonesia, Gol A Gong saat ini tengah berkeliling Tanah Air untuk mengobarkan semangat literasi.

oleh Rinaldo diperbarui 12 Jan 2023, 18:50 WIB
Duta Baca Indonesia Heri Hendrayana Harris alias Gol A Gong alias Gola Gong. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Liputan6.com, Jakarta Gol A Gong atau Gola Gong adalah nama pena dari Heri Hendrayana Harris yang lahir pada 15 Agustus 1963. Anak kedua dari lima bersaudara ini lahir dari seorang ayah bernama Harris dan ibu bernama Atisah. Pada 1965 ia bersama orangtuanya meninggalkan kampung halaman di Purwakarta, Jawa Barat menuju Kota Serang, Banten.

Ayahnya adalah guru olahraga, sedangkan ibunya seorang guru di sekolah keterampilan putri. Mereka tinggal di sebuah rumah di dekat Alun-Alun Kota Serang. Di kota ini pula, pada umur 11 tahun, Gol A Gong kehilangan tangan kirinya. Itu terjadi setelah dia terjatuh dari pohon saat bermain bersama teman-temannya di dekat Alun-Alun Kota Serang.

Namun, kecelakaan yang menyebabkan tangan kirinya harus diamputasi itu tidak membuat Gol A Gong sedih. "Kamu harus banyak membaca dan kamu akan menjadi seseorang dan lupa bahwa diri kamu itu cacat," kata sang ayah memberi semangat.

Benar saja, dia kemudian menjelma sebagai seorang penulis yang produktif dan lelaki bersemangat tinggi karena berhasil bangkit dari keterpurukan. Kegemarannya membaca membuat Heri menjadi seorang Gola Gong atau Gol A Gong yang telah menuliskan lebih dari 25 novel dan ratusan skenario film.

Nama pena Gol A Gong sendiri diberikan sang ayah, di mana Gol sebagai ungkapan syukur atas karyanya yang diterima penerbit serta Gong merupakan harapan dari ibunya agar tulisannya dapat menggema seperti bunyi alat musik gong. Sedangkan A diartikan sebagai "semua berasal dari Tuhan". Maka, nama Gol A Gong dimaknai sebagai kesuksesan itu semua berasal dari Tuhan.

Atas semua capaian di bidang kepenulisan, sejumlah penghargaan diraih Gol A Gong. Pada 2007, dia mendapatkan penghargaan Tokoh Perbukuan Islamic Book Fair dan Nugra Jasadarma Pustaloka dari Perpustakaan Nasional. Tahun 2008, dia mendapatkan Anugerah Literasi World Book Day 2008 dan Indonesia Berprestasi Award untuk kategori pendidikan.

Gol A Gong juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Indonesia periode 2015-2020. Saat ini dia menjabat sebagai Duta Baca Indonesia periode 2021-2025. Untuk menjalankan tugas sebagai Duta Baca Indonesia, Gol A Gong saat ini tengah berkeliling Tanah Air untuk mengobarkan semangat literasi.

Pada usia 33 tahun, dia menikahi Tias Tatanka, gadis asal Solo. Dari pernikahan ini mereka memiliki empat anak, Nabila Nurkhalisah (Bela), Gabriel Firmansyah (Abi), Jordi Alghifari (Odi), dan Natasha Azka Nursyamsa (Kaka).

Impiannya sejak lama untuk memiliki gelanggang remaja terwujud dengan didirikannya komunitas kesenian Rumah Dunia pada 1998. Sejak 2000, komunitas ini berada di atas tanah 1000 m2 di belakang rumahnya di Komplek Hegar Alam, Ciloang Serang, Banten.

Pada 2008, Gol A Gong mengajak orang-orang di seluruh dunia yang peduli literasi untuk membebaskan lahan seluas 3000 m2. Pada 2012, lahan itu berhasil dibebaskan dan di atasnya Gelanggang Remaja Rumah Dunia megah berdiri.

Lantas, bagaimana cerita Gol A Gong selama berkeliling Indonesia mengobarkan semangat literasi? Simak petikan wawancara Gol A Gong dengan Sheila Octarina dalam program Bincang Liputan6:


Pertama Membaca dan Membeli Buku

Duta Baca Indonesia Heri Hendrayana Harris alias Gol A Gong alias Gola Gong. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Sejak kapan Mas Gong mulai suka membaca?

Wah itu mundur panjang banget ke tahun 1974, saat kelas empat SD ketika tangan saya diamputasi. Nah, orangtua saya ingin saya tumbuh jadi anak yang tidak minder. Maka saya diminta untuk berolah raga, membaca buku dan mendengarkan dongeng sebelum tidur.

Masih ingat buku apa yang pertama dibaca?

Tom Sawyer buku pertama saya, karya Mark Twain. Ingat itu beli di Lapangan Banteng tahun 74 itu. Lapangan Banteng itu sekarang apa ya? Dekat Kwitang. Sama buku Si Doel Anak Jakarta.

Jadi dua buku itu tentang anak kecil, anak Amerika dan anak Betawi yang nakalnya luar biasa. Tapi nakal kreatif, anak-anak kecil ya, nakal anak kecil, nakal penuh petualangan. Itu yang kemudian membuat saya bersemangat, enggak peduli tangan diamputasi.

Buku-buku itu dibelikan orangtua atau beli sendiri?

Ini menarik nih. Tahun 1974 saya kan dioperasi, dirawat di CBZ, RS Cipto Mangunkusumo. Nah, kalau kita sakit kan suka ada yang nengok dan ngasih amplop, inget nggak? Amplop itu dikumpulin sama Bapak. Jadi setiap ada waktu luang dibawa saya ke pasar loak di Lapangan Banteng, Jakarta, dikasih duitnya ke saya untuk dibeliin buku.

Jadi saya pulang ke rumah, ke Serang sini, bawa berdus-dus buku. Dan saya bikin perpustakaan di rumah, itu tahun 1975. Jadi orang pulang dari rumah sakit itu sedih, kalau saya enggak. Cerita storytelling, tanpa sadar ya cerita tentang saya diajak jalan sama Bapak ke Sarinah, mal pertama di Indonesia.

Sarinah itu juga punya lift pertama, eskalator pertama di Indonesia. Jadi saya dikenalin teknologi hidrolik gitu. Pulang ke Serang ya saya ceritain. Saya berdiri di tangga jalan sendiri. Masuk ke sebuah kotak, pencet nomor 7 kita pindah tempat.

Jadi saya sudah melakukan apa yang sekarang saya lakukan sejak tahun 1975. Buku-buku yang dibawa dari Jakarta dibongkar dari dus dan kita pajang sampai buku itu habis dipinjam. Saya inget waktu saya nangis ke Ibu saya, 'Mak ini buku kok pada hilang'.

Kata Emak dalam bahasa Sunda, didoakan Emak maneh bisa nyieun buku, bisa nulis di sini maksudnya nanti Ibu doain suatu saat kamu nanti bisa membuat buku. Jadi nanti kamu bisa punya perpustakaan sendiri.

Setelah buku-buku itu habis ya saya mulai beli satu dua dari nabung dan nyuri di perpustakaan. Jadi perpustakaan di Kota Serang ini jarang yang baca, jadi kayanya pustakawannya juga cuek, ya sudah curi saja, gitu. Itulah masa kecil saya sudah bergelut dengan buku.

Berarti peran orangtua sangat besar membentuk Mas Gong menjadi penulis ya?

Ya. Mereka kan kepala sekolah ya. Jadi waktu itu masih guru, belum kepala sekolah. Jadi mereka paham cara mendidik anaknya. Mereka memahami Ki Hajar Dewantoro, memahami Tagore dan teori-teori psikologi anak. Jadi yang saya ingat, Ibu saya cerita dengan satu foto.

Waktu itu saya mau menikah tahun 1996. Dia liatin foto saya sedang tersenyum mempertontonkan tangan, waktu itu dibebat. Jadi saya tanya ini foto apa? Dijawab 'foto kamu baru bangun usai dioperasi'. Ketika itu kata Emak, saya sempat bertanya apakah tangan saya yang diamputasi bisa panjang lagi, seperti gigi yang copot tumbuh lagi atau rambut yang dipoptong panjang lagi.

Kalau saja ketika itu Ibu bilang saya bodoh karena tak mungkin tangan yang diamputasi bisa tumbuh lagi, barangkali saya akan jadi anak yang rendah diri. Tapi Ibu saya bilang begini, 'panjang lagi tangan kamu'. Karena mendengar jawaban itulah saya minta kepada Ibu untuk memotret saya dengan tangan dibebat untuk dilihat-lihat di masa depan bahwa tangan saya pernah diamputasi.

Apa yang terjadi ketika harapan itu tak pernah terwujud?

Jadi tiap hari saya tanya kapan panjang lagi, dijawab nanti akan panjang. Selama saya menunggu tangan panjang, Bapak melatih saya badminton, mengajak berolah raga, membaca buku, sehingga lupa saya.

Tapi setelah dewasa, setelah sukses gitu ya, Ibu sering bilang, panjang lagi kan tanganmu? Tanganmu ada di teman-temanmu, ada di semua orang. Kalau sekarang sih ada di istri sama anak-anak saya.

Begitu dalam maknanya ya?

Ya, bahwa hidup itu tidak bisa sendirian, kita ini hidup butuh pertolongan. Kadang kala orang pintar itu malu meminta tolong. Kalau orang bodoh minta tolong dibodoh-bodohin.

Jadi, setelah dewasa saya baru memahami kenapa saya diberi ujian seperti ini. Supaya saya tidak terlalu independen, tidak terlalu mandiri. Saya merasa kalau saya berlengan dua, mungkin saya akan terlalu mandiri mungkin. Tidak butuh pertolongan orang.

Karena rata-rata orang yang baca buku, misalnya, terlalu individual, kemudian terlalu merasa dirinya lebih pintar dari yang lain. Saya rasa itu hikmah buat saya. Diberi saya tangan satu supaya saya berkolaborasi dengan orang lain. Supaya saya banyak meminta tolong pada orang lain.


Tulisan Pertama dan Sosok Roy

Duta Baca Indonesia Heri Hendrayana Harris alias Gol A Gong alias Gola Gong. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Mas Gong masih ingat karya atau tulisan pertama yang dibuat?

Ingat. Jadi kelas empat SD saya diamputasi, kelas lima pulang sekolah saya membuat sandiwara radio. Itu ingat. Jadi di rumah itu saya kunci kamar, saya tulis 'jangan ribut, jangan brisik'. Saya sudah bawa panci dan semua buat sound effect-nya.

Jadi saya bikin naskah pertama kali tentang trend-nya waktu itu Faradilla Sandy dengan film Ratapan Anak Tiri. Premisnya itu ibu tiri lebih kejam daripada ibu kota. Jadi saya juga membuat itu. Saya isi sendiri saya jadi dubber, jadi sound effect.

Dan itu kaset saya ingat Bapak saya bilang, kamu nanti akan hidup di mana kamu bicara enggak ada orangnya tapi bisa didengar. Dibelikanlah saya tape recorder transistor, dua band. Kaset rekaman saya itu disebar di komplek dan enggak pernah balik.

SMP bikin komik, naskah sama gambarnya, itu juga hilang. SMA bikin majalah cerita, kumpulan cerita pendek, masih saya simpan dan udah rapuh, tahun 1981. Kalau kepegang tuh hancur. Kertasnya sudah kering, harus dilaminating.

Cerita-cerita yang ditulis itu berdasarkan inspirasi atau pengalaman pribadi?

Hampir sama dengan kondisi sekarang ya. Misalnya trend outfit atau fashion, misalnya. Nah, waktu itu memang sedang trend film di mana ibu tiri jahat kepada anak tirinya. Pelopornya ya Faradilla Sandy.

Pada masa itu pendidikan akhlak memang awalnya dari dongeng, Malin Kundang pernah denger ya Malin Kundang. Nah Malin Kundang durhaka sama ibunya. Sekarang dibalik itu oleh insan film ibunya yang durhaka ke anaknya.

Nah jadi waktu itu saya berimajinasi saja bahwa ada anak tiri. Ya saya rasa saya terpengaruh juga oleh trend cerita waktu itu, karena saya memang menonton filmnya.

Kalau Balada Si Roy terinspirasi dari mana?

Balada Si Roy itu novel pertama saya. Itu sejak SMA kelas satu, saya mulai riset memperhatikan perilaku teman-teman. Waktu itu saya sudah mulai menulis puisi, jadi saya sudah jadi penulis. Karya saya dimuat di media di Jakarta.

Nah, saya punya buku harian. Jadi semua perilaku teman-teman saya tulis. Pokoknya detail-detailnya saya tulis. Mereka tanpa sadar, misalnya saya ajak ngobrol, saya traktir dia bakso ya satu mangkok, lalu saya ajak berbincang-bincang, pulang saya tuliskan.

Saya senang nongkrong zaman waktu itu, zaman Ali Topan, Teguh Esha yang nulis. Di Jakarta itu ada Aldiron Plaza, ada Blok M, Kebayoran Baru, Jalan Sabang, Pegangsaan, Gank Pegangsaan, Guruh, Chrisye dan lain lain, itu bertransformasi ke Serang.

Di Bandung, Jakarta itu betul-betul cara berpikirnya sangat progresif, sementara Serang yang jaraknya 1-2 jam tertinggal. Nah saya riset di kedua kota itu. Pulang ke Serang, sosok Roy sudah ada dalam gagasan.

Jadi cara berpikir di Serang ditransformasi menjadi modern gitu. Tidak lagi berpikir soal santet, tidak lagi berpikir soal pelet. Jadi zaman saya SMA di Banten memang santet, pelet, satu lagi jawara. Jadi rata-rata yang punya ilmu bela diri atau ayah ibunya jawara, ya dia berkuasa. Itu saya alami. Itu yang kemudian menjadi ruh dari cerita Balada Si Roy.

Jadi imajinasi tentang karakter Roy adalah sosok Mas Gong sendiri?

Saya rasa tidak begitu. Jadi itu hasil riset, saya di sini sebagai observer ya, saya melakukan observasi, mencatat. Kalau kerennya etnografer terlalu tinggi ya. Tapi saya memang melakukan itu.

Mencatat hal-hal kecil yang terjadi di remaja tahun 80-an. Mulai musiknya, ada waktu itu istilah 3 Revolusi F. Apa itu? Fun Food Fashion. Jadi fun itu ada film, ada hal-hal yang sifatnya fun lah ya, ada musik dan sebagainya. Itu sedang terjadi saat itu. Nah, itu yang kemudian saya representasikan ke tokoh Roy.


Mendirikan Rumah Dunia

Duta Baca Indonesia Heri Hendrayana Harris alias Gol A Gong alias Gola Gong. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Banyak yang ragu seorang penulis bisa hidup dari karyanya. Menurut Mas Gong, apakah seseorang bisa hidup layak dari menulis?

Bisa. Coba lihat Rumah Dunia, kalau diduitin berapa tuh? Saya dari sejak tahun 1990 melakukan ini, mengeluarkan uang dari hasil menulis. Jadi kalau pertengahan tahun itu dari Jakarta, dompet saya tebal. Hasil royalti saya bisa bikin panggung kesenian, bisa datangin band dan sebagainya, itu kalau zaman dulu.

Ada satu profesi yang enggak akan hilang ditelan zaman, yaitu profesi kreator. Kreator itu bisa dia seorang filmmaker, bisa seorang penulis, konten kreator sekarang istilahnya ya, enggak akan terhapus zaman.

Ada satu istilah, semua dimulai ketika kata-kata disusun. Jatuh cinta, pasti menyusun kata-kata sebelum dipindahkan ke gambar. Mau bikin skenario film? Mau bikin film? Semuanya dimulai dari kata-kata.

Jadi, kalau di luar negeri kaya banget jadi penulis, karena budaya bacanya sudah lebih tinggi. Nanti Indonesia akan sampai ke fase itu. Sekarang laku 100 ribu buku saja, kalikan royaltinya 10 ribu misalnya satu buku, berapa tuh? Satu miliar lebih itu.

Jadi semuanya dimulai dari menyusun kata-kata?

Iya. Saya waktu SMP jadi tukang nulis puisi. Ada cowok datang ke saya tulisin puisi, honornya ya minta honor saya. Honornya waktu itu semangkok bakso 250 perak. Jadi asyik bener, happy.

Kadang ini keberuntungan saya sering dijadikan apa ya, motivator dalam tanda kutip. Saya suka bilang gini, masa saya tangan satu semangat hidupnya tinggi kamu kok enggak? Kaya gitu. Nah itu kadang kala juga ada gunanya.

Siapa penulis yang menjadi acuan Mas Gong dalam menulis?

Kalau di luar negeri, saya menyukai Mark Twain, Karl May, sama Hemingway ya, tiga itu. Kalau di Indonesia saya suka Iwan Simatupang, Pramoedya Ananta Toer, Ahmad Tohari.

Mas Gong sering mengatakan bahwa mnendirikan Rumah Dunia yang kini ada di Serang merupakan impian sejak lama. Boleh diceritakan?

Jadi gini, dalam Islam itu di setiap tubuh kita itu ada 2,5 persen, Allah minta 2,5 persen untuk orang lain. Nah jadi tahun 1981 saya waktu itu berkomitmen sama Allah. Saya belajar nulis ke Jakarta, ke Bandung, susah banget.

Saya bilang sama Allah, Ya Allah, sukseskan aku jadi penulis. Kalau aku sukses jadi penulis, akan aku mudahkan anak muda Banten terutama ya, atau Indonesia pada umumnya, akan aku mudahkan jika mereka tertarik belajar sastra, jurnalistik dan film.

Nah ketika saya dikasih sukses maka saya cari istri, kemudian Tias tertarik, lalu saya presentasi bahwa saya nanti akan melakukan yang saya sekarang lakukan. Istri saya, calon istri saya waktu itu dia orang Solo juga setuju, sama punya visi sama, kami menikah, lalu kami tinggal di Serang, langsung kami membangun Rumah Dunia.

Rumah Dunia mulai dibangun 1998 di teras rumah dan terus sampai 2011. Kini luasnya sudah mencapai 3.000 meter per segi. Jadi Rumah Dunia itu memindahkan dunia ke rumah lewat sastra, jurnalistik, dan film.

Apa yang didapatkan pengunjung yang datang ke Rumah Dunia?

Misalnya anak-anak, dia bisa bahasa Inggris. Lalu dia jenuh di Jakarta, kontak saja ke sini, bisa nggak ya jadi relawan? Oke, kita fasilitasi. Mengajar apa? Saya mengajar bahasa Inggris deh, ya udah.

Yang namanya relawan memang bayarannya dari Tuhan. Kita sediakan orang-orang yang tertarik, nanti kita umumkan. Tapi memang kompetensinya harus jelas, tentu kita harus bertanya juga kan? Misalnya, kalau mau bahasa Inggris ada sertifikatnya enggak? Dan sebagainya gitu. Jangan sampai nanti muridnya lebih pintar dari gurunya.

Dari mana saja pengunjung yang datang dan apa saja aktivitas mereka?

Saya kasih satu contoh aja ya. Suatu hari ada satu keluarga datang dengan mobil, pelatnya pelat Sumatera. Saya tanya, hari Minggu kalau nggak salah. Karena hari Minggu itu saya ngajar kelas menulis. Itu sekitar tahun 2004.

Lalu kita saling sapa dan dia mengatakan dari Palembang. Anaknya ingin belajar nulis. Dan dia cuti satu semester dari Universitas Sriwijaya. Lalu saya sarankan kost di lingkungan ini. Lalu dia kost, belajar langsung ke saya bersama teman-teman, bersama murid yang lain.

Jadi setiap 6 bulan, satu semester ya, itu selalu ada satu kelas angkatan baru, kelas menulis yang saya dan beberapa mentor lain mengajari jurnalistik, sastra dan film. Belum lagi dari Bandung, belum lagi dari Kalimantan.

Jadi terbukalah ini, ada yang cuma datang hari Sabtu sore, menginap, Minggu pelatihan nanti balik sore. Ada yang kaya gitu. Dari Bandung misalnya, ada yang ngekos, ada yang kemudian saya rekrut jadi relawan, tidur di sini.

Kami sekarang kekurangan relawan, cuma tinggal 3 orang dari 10. Idealnya 10 orang. Karena apa? Lulus, bekerja, ada Covid. Kami enggak sempat rekrut relawan baru.


Menjadi Penulis di Era Digital

Duta Baca Indonesia Heri Hendrayana Harris alias Gol A Gong alias Gola Gong. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Bagaimana Mas Gong melihat perkembangan dunia digital saat ini yang membuat media cetak seperti koran dan majalah terpinggirkan. Bagaimana seorang penulis menyikapinya?

Menulis itu yang membedakan medianya. Dulu saya nulis pakai tangan di apa? Di kertas, di buku, buku harian, lalu saya pindahkan ke mesin tik, lalu saya pindahkan ke komputer.

Nah, begitu juga medianya, media mainstream sekarang mulai punya online kan? Lalu ada platform digital, mulai muncul beberapa platform, lalu orang mengirimkan soft file-nya. Nah, profesi menulisnya tidak berubah, yang berubah medianya.

Jadi bagi saya ini namanya siklus ya, era bertransformasi, jadi era dari dinding gua, daun lontar, kertas, mesin tik, komputer, smartphone. Diharapkan kita masuk ke society 5.0 atau peradaban manusia 5 titik nol, di mana teknologi digital tidak menjajah kita, tapi kita menjajah teknologi itu untuk kebermanfaatan.

Makanya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia sekarang punya tagline Transformasi Ekosistem Literasi Digital untuk masyarakat secara luas didukung oleh Perpusnas.

Jadi sekarang ini ada medsos, kita bisa jadi wartawan sendiri yang kemudian dikategorikan atau diklasifikasikan sebagai citizen journalism, jurnalisme warga. Nah itu sudah beredar sebetulnya, hanya karena politik kemudian orang-orang menjadi tertarik menjadi penyebar hoaks.

Jadi tulisan pun bisa disalahgunakan melalui beragam platform itu?

Iya. Nah saya punya anak, saya bisa kondisikan anak-anak saya, namanya literasi keluarga. Saya kasih tahu, ini lho yang bener, boleh kamu main Tiktok, boleh kamu main Facebook, tapi kontennya yang bener deh.

Oke nakalnya salurin dulu, main gimnya silakan, tapi bikin film pendek. Anak saya nomor tiga main gimnya luar biasa. Ketika saya ajarin film pendek, sekarang dia di Akademi Film Jogja.

Jadi semua akan bernilai ekonomi tinggi jika dipakai oleh kita menjadi sesuatu yang baik. Kalau handphone dijadikan salah, itu menjadi belati, bisa membunuh kita. Tapi kalau dijadikan alat produksi, dia bernilai ekonomi yang sangat tinggi.

 


Peran Duta Baca Indonesia

Duta Baca Indonesia Heri Hendrayana Harris alias Gol A Gong alias Gola Gong. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Sekarang Mas Gong menjadi Duta Baca Indonesia, apa saja tugasnya?

Ini menarik nih. Jadi selama ini kan yang jadi duta baca Tantowi Yahya yang pertama, Andy Noya, ketiga Najwa Shihab. Orang menduga pasti jatuh ke artis lagi. Negara ternyata meminta fase yang lain.

Tiga pendahulu saya sudah berhasil melabelkan brand Duta Baca Indonesia itu bagus banget. Pokoknya Duta Baca Indonesia itu contoh paling nyata kisah sukses orang Indonesia ya.

Nah, tiba-tiba pemerintah ini mencari orang yang mau blusukan ke desa-desa. Bener-bener datang ke desa. Karena saya kompetensinya di nulis, maka saya ngajarinnya nulis. Jadi jangan minta lebih lah ke saya.

Saya ngajarin manfaat membaca ini lho. Ada nggak buktinya? Ya gua inilah buktinya, dari yang tidak sempurna alhamdulillah sekarang bisa tidak membebankan, tidak jadi beban masyarakat. Dari tiga pendahulu itu contoh sukses, sekarang saya bisa nggak bikin sukses orang-orang? Nah, contoh paling nyatanya ajarin nulis, bikin buku.

Bicara soal buku, apakah distribusinya sudah merata jika berkaca pada pengalaman Mas Gong berkeliling Indonesia?

Indonesia sekarang darurat buku. Kenapa kita sering disebut bangsa yang rendah membacanya? Bukan itu persoalannya, persoalannya enggak ada bukunya. Bukunya sedikit. Kalau kita ke daerah Timur, bukunya sedikit, kenapa? Karena nggak ada penulisnya.

Profesi menulis itu memang membutuhkan keterampilan. Yang bisa ngajarin penulis ya penulis, bukan dosen bahasa, bukan dosen bahasa Indonesia, bukan guru bahasa Indonesia. Yang ngajarin orang menulis harus praktisi, harus penulisnya karena dia bisa ngasih contoh dan beragam cara untuk bisa jadi penulis.

Saya dengan si A dengan si B berbeda cara menulisnya. Jadi tugas utama saya adalah saya tidak menciptakan, apa ya istilahnya ya? Melahirkan juga tidak ya, apa? Mengajari orang menulis, mudah-mudahan orang itu jadi penulis. Saya arahkan menulis yang bisa menghasilkan uang.

Apa saja catatan menarik dari blusukan sebagai Duta Baca Indonesia?

Nah ini menarik, serius nih. Pertama saya temukan Kepala Dinas Perpustakaan itu merasa dibuang. Misal, tadinya kepala dinas itu menempati posisi yang basah di tempat lain.

Karena mau pensiun dia dipindahkan ke Dinas Perpustakaan, ngurusin buku. Dianggapnya itu dinas yang ecek-ecek, sehingga kepala dinas yang merasa dibuang tadi tidak memberi motivasi kepada stafnya.

Padahal, Dinas Perpustakaan itu adalah satu kantor yang mengejawantahkan surat pertama di Alquran, di agama Islam, surat pertama Al Alaq, iqro tadi. Bacalah, bacalah.

Jadi saya mendorong kepala-kepala dinas di seluruh Indonesia bahwa Dinas Perpustakaan itu adalah satu kantor yang luar biasa ya, karena dia mencerdaskan masyarakat.

Nah yang kedua, akses ke perpustakaannya sedikit. Jadi di Jawa foya-foya kita, di Jawa perpustakaan di mana-mana, toko buku di mana-mana. Mulai NTB ke sana susah, perpustakaan sedikit. Makanya Perpustakaan Nasional yang mengamanahi saya sebagai Duta Baca mulai membangun perpustakaan-perpustakaan di daerah-daerah.

Menyumbang, mendistribusikan perpustakaan-perpustakaan keliling, mobil-mobil. Lalu mendirikan pojok baca digital. Pojok baca digital ini satu booth ya, di situ ada 3 komputer, ada Wifi, ada 700 buku, ada 2 rak buku.

Di daerah-daerah jika ada yang mengusulkan itu disumbang juga, namanya perpustakaan berbasis inklusi sosial. Jadi buku-bukunya yang lifeskill. Kalau misalnya di daerah sini memang karakternya bercocok tanam, maka buku-bukunya tentang pertanian. Nah itu namanya perpustakaan berbasis inklusi sosial.

Kalau soal minat baca bagaimana?

Tentu di Jawa budaya bacanya tinggi karena sarananya mencukupi. Di luar Jawa sampai ke Papua itu minat bacanya tinggi, tapi bukunya sedikit. Itu yang sering disebut distribusi buku tidak merata. Kita beli satu buku Rp 50 ribu, mau nyumbang ke anak Papua, uang pengiriman Rp 150 ribu.

Sebagai Duta Baca Indonesia saya punya program Hibah Buku untuk Nusantara. Jadi saya menerima sumbangan buku dari siapa saja yang nanti pengirimannya kita support. Silakan kirim buku ke saya, nanti saya distribusikan.

Orang Papua, orang Maluku itu butuh buku, benar-benar butuh buku. Saya kemarin ke Merauke bawa 100 kilogram buku, saya kirim juga ke sana, saya bawa juga 20 kilogram, itu lagi ada acara. Siapa yang mau baca puisi, saya kasih hadiah buku, dia kaget. Dikiranya dikasih satu, padahal banyak.

Apakah itu berarti peran pemerintah belum maksimal dalam meningkatkan budaya literasi?

Berat bagi pemerintah kalau sendirian, itu berat, harus dibantuin. Jadi enggak adil jugalah kita membebankan, kita ini kan kalau pedagang dia sudah dapat untung, ya kan? Kalau dia pengusaha, dapat proyek dari pemerintah, lalu kasihlah 2,5 persen, gitu. Jadi, pengusaha, pedagang, orang dapat beasiswa gitu, ya sisihkanlah 2,5 persen. Jangan pintar sendirian lah.


Tentang Film Balada Si Roy

Duta Baca Indonesia Heri Hendrayana Harris alias Gol A Gong alias Gola Gong bersama host Liputan6.com Sheila Octarina. (Liputan6.com/Rinaldo)

Sudah berapa banyak karya Mas Gong yang diangkat ke layar lebar?

Sinetron sih yang paling banyak. Kalau film ini saya baru nyoba sekarang, baru nyoba Balada Si Roy ini. Saya punya mimpi sosok Roy bisa melelakikan lelaki Indonesia. Anak-anak Indonesia harus tangguh.

Sekarang kan banyak yang galau ya? Bentar-bentar baper. Diputus cewek satu jangan kemudian nyebar aib si ceweknya. Jadi, bubar satu, cari yang lain, itu untuk menempa dirimu.

Jadi si Roy ini memberikan semacam value. Pertama, harus menghormati perempuan. Kedua, sebagai anak yatim jangan selalu jadi beban masyarakat. Si Roy itu anak yatim, justru dia pengen membantu orang yang kesusahan. Itu saya bikin antitesanya.

Ketiga, harus mencintai Indonesia. Si Roy itu kan traveling tuh. Jarak Sabang sampai Merauke itu 8.000 kilometer, ada 17.000 pulau, dengan beragam suku bangsa.

Bagaimana awalnya sampai Balada Si Roy diangkat ke layar lebar?

Awalnya dari sutradara Fajar Nugros. Fajar Nugros cerita ke saya, waktu dia masih SMA, saya sedang ngasih pelatihan di Jogja. Dia datang dan diusir sama panitia. Fajar Nugros bilang ke panitianya ingin salaman dengan Gol A Gong, pengen foto, tapi enggak boleh karena belum bayar.

Nah di situ dia punya tekad suatu hari akan datang ke Gol A Gong bersalaman. Tapi dalam rangka memfilmkan novel Balada Si Roy. Dan dia datang ke sini ke Rumah Dunia, saya nggak mampu nolak kalau kaya gitu.

Dia datang dan kami salaman. Oke, akhirnya ya cepat luluhlah kalau ada orang datang bertamu, kita sebagai tuan rumah harus menyambut dengan baik. Niatnya baik, kata dia ingin menyebarkan nilai-nilai yang ada di si Roy.

Apa keinginan Mas Gong yang belum tercapai?

Pertama, saya ingin bikin sekolah untuk generasi muda. Sudah ada namanya, SMA generasi baru. Saya ingin memilih setiap tahunnya 25 anak muda terbaik di Indonesia. Mereka diberi beasiswa, lalu tidur di rumah-rumah masyarakat, sekolahnya di sini.

Mereka boleh gondrong, mereka boleh pakai sendal, mereka boleh belum mandi. Pokoknya anak-anak unik kayak X-Men ya? Jadi kalau misalnya di Jakarta sedang ada seminar apa gitu ya, saya suruh pergi sana bikin huru-hara di seminar itu.

Berarti saya pertama harus nyari guru-gurunya, eh harus nyari investor yang mampu menggaji si guru-guru tadi dan membiayai 25 orang setiap tahunnya. Nah, tugas mereka sederhana, akhir tahun kalau dia senang di film, bikin film terbaik. Kalau dia ngambil jurusan novel, harus bikin novel terbaik. Dia harus bikin karya jurnalistik terbaik.

Yang terakhir saya pengen keliling dunia sama istri menghabiskan umur di jalanan. Bisa saja saya mati di Nepal, misalnya. Inginnya sih panjang umur ya, tapi kan ada batasnya juga umur.

Tapi saya ingin meninggal di satu tempat yang tidak terduga, nanti tahu-tahu orang dapat kabar, Gol A Gong meninggal, di mana? Di negara Bhutan, misalnya. Di mana tuh Bhutan? Nanti orang berziarah ke sana, gitu.

Ada pesan untuk calon-calon penulis?

Jika ingin umurmu abadi, jangan jadi penjiplak. Lahirkan karya-karya orisinal dari kamu, sesuatu yang baru, idenya harus gila dan out of the box. Tiga hal itu yang akan membuatmu abadi, begitu.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya