Tahun Baru Imlek Khawatir Tambah Kasus COVID-19, China Imbau Warga Kurangi Mudik

22 Januari 2023 mendatang warga China akan merayakan Tahun Baru Imlek. Kasus COVID-19 yang tengah melonjak membuat pemerintah setempat khawatir dan mengambil langkah pencegahan.

Oleh DW.com diperbarui 07 Jan 2023, 07:01 WIB
Para pelancong yang memakai masker dengan barang bawaan bersiap untuk mengejar kereta mereka di Stasiun Kereta Api Barat di Beijing, Jumat (6/1/2023). China berupaya meminimalkan kemungkinan wabah COVID-19 yang lebih besar selama kesibukan perjalanan Tahun Baru Imlek bulan ini menyusul berakhirnya sebagian besar langkah-langkah pencegahan pandemi. (AP Photo/Wayne Zhang)

, Beijing - 22 Januari 2023 mendatang warga China akan merayakan Tahun Baru Imlek. Kasus COVID-19 yang tengah melonjak membuat pemerintah setempat khawatir dan mengambil langkah pencegahan.

Mengutip DW Indonesia, Kementerian Perhubungan China pada Jumat 6 Januari 2023 mengimbau para pemudik yang menyambut Tahun Baru Imlek untuk mengurangi perjalanan dan pertemuan. Terutama jika melibatkan orang lanjut usia, ibu hamil, anak kecil, dan mereka yang memiliki gangguan kesehatan bawaan.

"Orang yang menggunakan transportasi umum diwajibkan memakai masker dan memberikan perhatian khusus pada kesehatan dan kebersihan pribadi mereka", kata Wakil Menteri Perhubungan Xu Chengguang kepada wartawan dalam sebuah pengarahan.

Seruan itu memang tidak meminta warga untuk tinggal di rumah sepenuhnya, seperti kebijakan ketat yang diterapkan pemerintah di Beijing sejak pandemi dimulai. Meskipun demikian, sejumlah pemerintah daerah telah mendesak pekerja migran untuk tidak pulang kampung atau mudik saat Imlek tahun ini.

Wabah COVID-19 saat ini diyakini telah menyebar lebih cepat di kota-kota padat penduduk, sehingga membebani sistem perawatan kesehatan. Pihak berwenang khawatir akan kemungkinan penyebaran virus ke kota-kota kecil dan daerah pedesaan yang minim sumber daya seperti tempat perawatan di ICU.

Persyaratan Terbaru untuk Pelancong dari China

Kekhawatiran tersebut juga merebak di luar China. Semakin banyak negara yang mewajibkan tes PCR pra-terbang, dengan mengajukan argumen, syarat itu diperlukan karena pemerintah China tidak memberikan informasi yang cukup tentang wabah tersebut, terutama tentang potensi munculnya varian baru Virus Corona.

Uni Eropa pada hari Rabu 4 Januari "sangat mendorong" negara-negara anggotanya untuk memberlakukan pengujian COVID-19 sebelum keberangkatan, meskipun tidak semua melakukannya. Amerika Serikat juga mewajibkan hasil tes negatif untuk pelancong dari China dalam waktu 48 jam setelah keberangkatan.

Sekitar 18 negara dilaporkan telah menerapkan pembatasan COVID-19 terhadap para penumpang dari China.

China mengkritik persyaratan tersebut dan memperingatkan tindakan balasan. Juru bicara pemetimtah di Beijing mengatakan, situasinya terkendali dan menolak tuduhan kurangnya persiapan untuk pembukaan perbatasan kembali.

 


Perbatasan dengan Hong Kong Kembali Dibuka

Ilustrasi (iStock)

Terlepas dari kekhawatiran itu, Hong Kong mengumumkan akan membuka kembali beberapa penyeberangan perbatasannya dengan China daratan pada hari Minggu 8 Januari dan mengizinkan puluhan ribu orang untuk menyeberang setiap hari tanpa harus menjalani karantina.

Pos pemeriksaan perbatasan darat dan laut di Hong Kong dengan China daratan sebagian besar telah ditutup selama hampir tiga tahun, dan pembukaan kembali diharapkan memberikan dorongan yang sangat dibutuhkan untuk sektor pariwisata dan ritel Hong Kong.

China juga secara bertahap membuka diri untuk kunjungan pejabat asing, dengan menjamu Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. pada pekan ini.

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken juga dijadwalkan akan melakukan kunjungan pertamanya ke Beijing pada bulan ini atau berikutnya, di mana dia akan bertemu dengan Menteri Luar Negeri Qin Gang yang baru dilantik, yang sebelumnya merupakan mantan Duta Besar China untuk AS.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya