Kemlu Tiongkok: Kami Siap Balas Negara yang Batasi Pendatang dari China Akibat COVID-19

Beijing mengatakan telah menyiapkan tindakan balasan terhadap beberapa negara yang melakukan pembatasan terhadap pelaku perjalanan dari China.

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Jan 2023, 10:00 WIB
Para pelancong yang memakai masker dengan barang bawaan bersiap untuk mengejar kereta mereka di Stasiun Kereta Api Barat di Beijing, Jumat (6/1/2023). China berupaya meminimalkan kemungkinan wabah COVID-19 yang lebih besar selama kesibukan perjalanan Tahun Baru Imlek bulan ini menyusul berakhirnya sebagian besar langkah-langkah pencegahan pandemi. (AP Photo/Wayne Zhang)

Liputan6.com, Jakarta - Beijing mengatakan telah menyiapkan tindakan balasan terhadap beberapa negara yang melakukan pembatasan terhadap pelaku perjalanan dari China.

"Menanggapi tindakan yang tidak masuk akal oleh negara lain, China akan mengambil tindakan yang sepadan berdasarkan prinsip timbal balik," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China (MFA) Mao Ning di Beijing, Jumat, dikutip dari Antara, Sabtu (7/1/2023).

Ia mendaku bahwa respons COVID-19 yang diambil oleh negaranya dengan mencabut berbagai pembatasan telah didasarkan pada hasil studi secara ilmiah.

Mulai 8 Januari seluruh pelaku perjalanan internasional yang tiba di China sudah dibebaskan dari kewajiban karantina. China hanya mewajibkan hasil negatif tes PCR yang dilakukan maksimal 48 jam sebelum keberangkatan. Mulai Minggu (8/1) warga China juga akan diizinkan untuk bepergian ke luar negeri.

Beberapa negara Eropa, Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang, dan Malaysia telah mengenakan pembatasan terhadap pelaku perjalanan dari China dengan menunjukkan hasil negatif tes PCR yang dilakukan maksimal 48 jam sebelum keberangkatan.

Menurut Mao, beberapa negara anggota Uni Eropa (EU) telah bertemu dan membicarakan situasi COVID-19 di China.

"Baru-baru ini negara-negara anggota EU menyatakan bahwa mereka menyambut para turis dari China dan mereka tidak akan mengenakan tindakan pembatasan apa pun," katanya dalam pengarahan pers rutin itu.

Lembaga-lembaga profesional termasuk Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (ECDC) menyatakan bahwa tindakan pembatasan yang menargetkan wisatawan China tidak dapat dibenarkan, kata Mao.

Ia menambahkan bahwa seharusnya EU mendengarkan lebih banyak pendapat yang rasional dan melihat respons COVID-19 China secara adil dan objektif.

"China tidak segan-segan membagikan informasi dan data yang relevan terkait pengurutan virus pada kasus terkini COVID," katanya.

Dia mengatakan pihaknya juga memberikan referensi penting pada Global Initiative on Sharing Avian Influenza Data (GISAID) dan lembaga riset kesehatan internasional lainnya.

 


Pengakuan Diplomat China di AS

Para pelancong yang mengenakan masker dengan barang bawaan mereka tiba di Stasiun Kereta Api Barat di Beijing, Jumat (6/1/2023). China berupaya meminimalkan kemungkinan wabah COVID-19 yang lebih besar selama kesibukan perjalanan Tahun Baru Imlek bulan ini menyusul berakhirnya sebagian besar langkah-langkah pencegahan pandemi. (AP Photo/Wayne Zhang)

Diplomat China di Amerika Serikat mengakui kesulitan dalam memastikan jumlah pasti kasus dan jumlah kematian terkait COVID-19, di tengah wabah yang terjadi setelah pelonggaran pembatasan selama bertahun-tahun di Tiongkok.

"Setelah melakukan penyesuaian atas respons COVID-19, China berhenti melakukan tes bagi semua penduduk, sehingga sulit untuk mengetahui secara akurat berapa jumlah kasusnya," kata Liu Pengyu, juru bicara Kedutaan Besar China di Washington, D.C.

Ia mencatat bahwa China tidak sendirian dalam praktik ini, mengingat tren pandemi terjadi secara global, dikutip dari Newsweek.com, Jumat (6/1/2023).

"Ini adalah kasus yang sama di banyak negara di dunia," kata Liu.

"Pemerintah AS pun juga telah berhenti merilis jumlah kasus COVID-19 pada Oktober 2022."

Komisi Kesehatan Nasional China pertama kali mengumumkan pada November 2022 bahwa negara itu akan mulai melonggarkan anti-epidemiologis jangka panjang yang mulai berlaku di seluruh negeri tak lama setelah COVID-19 pertama kali terdeteksi di sana tiga tahun lalu.

Sejak itu, pelonggaran lebih lanjut dilakukan dan dikenal sebagai kebijakan "nol-COVID" ala Presiden Xi Jinping.

Namun, Liu mengkritik "kesalahpahaman dan misrepresentasi tentang situasi COVID-19 di China" yang muncul dari narasi media asing dan komentar pejabat asing, termasuk Amerika Serikat.

Liu kemudian membela China yang telah berbagi data kesehatan pada saat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan juga sudah menyerukan transparansi yang lebih besar dari Republik Rakyat Tiongkok.

 


Klaim China Transparan

Seorang pekerja yang mengenakan pakaian pelindung berjalan melewati orang-orang yang mengantri untuk tes COVID-19 di tempat pengujian virus corona di Beijing, Rabu (9/11/2022). Lonjakan kasus COVID-19 telah mendorong penguncian di pusat manufaktur China selatan Guangzhou, menambah keuangan tekanan yang telah mengganggu rantai pasokan global dan secara tajam memperlambat pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di dunia itu. (Foto AP/Mark Schiefelbein)

Dia berargumen bahwa "China selalu membagikan informasi dan datanya secara bertanggung jawab kepada komunitas internasional" dan mengatakan Beijing telah melakukan kontak rutin dengan WHO dalam beberapa hari terakhir.

"Karena COVID-19 diperlakukan sebagai penyakit menular Kelas-B, bukan Kelas-A di China, ada penyesuaian dalam pembaruan data COVID dan frekuensi publikasi mereka," kata Liu.

"Informasi tentang rawat inap, kasus parah, kasus kritis, dan kematian kumulatif secara teratur dirilis oleh CDC [Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit] China."

Liu juga berusaha menghilangkan anggapan bahwa China tidak siap menghadapi peningkatan tajam dalam kasus COVID-19 yang terjadi setelah pelonggaran pembatasan yang sudah berlangsung lama.

Dia mengatakan, pemerintah China "telah memantau dengan cermat pandemi baik di dalam maupun luar negeri".

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya