Prabowo Subianto Tegas Tolak Sistem Proporsional Tertutup

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengatakan, partainya menghendaki pemilu dilakukan dengan sistem terbuka.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 07 Jan 2023, 15:33 WIB
Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto menyampaikan orasi politiknya dalam kampanye akbar Prabowo-Sandi di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta, Minggu (7/4). Kampanye akbar Prabowo-Sandi diawali dengan salat tahajud dan salat subuh berjamaah. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengatakan, partainya menghendaki pemilu dilakukan dengan sistem terbuka.

Judicial review tentang Sistem Pemilu Proporsional Terbuka tengah dilakukan di Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon menilai, sebaiknya, Pemilu 2024 kembali menggunakan sistem proporsional tertutup.

Menurut dia, sistem tersebut dapat membuat rakyat bisa memilih sendiri siapa sosok wakil rakyat yang diinginkan untuk duduk di Senayan. Hal itu diungkapkannya usai meresmikan Kantor Badan Pemenangan Pemilu dan Kantor Badan Pemenangan Presiden Partai Gerindra di Jakarta.

"Kita semua seluruh anggota menghendaki terbuka, karena lebih banyak kemungkinan keterwakilan jadi umpama di satu dapil ada 6 calon di satu partai, bisa mewakili ada yang perempuan ada yang pemuda, ada yang ulama, ada yang buruh, ada yang petani, jadi yang terbuka lebih membuka keterwakilan lebih demokratis," kata Prabowo, Sabtu (7/1/2023).

Dia menambahkan, sistem pemilu proporsional tertutup tidak mengambil suara rakyat. Artinya, mereka yang duduk di Parlemen bukanlah kelompok yang diinginkan akar rumput, tetapi menjadi pilihan partai.

"Nanti kalau tertutup ya DPP yang menentukan, bukan rakyat dari bawah," jelas Prabowo.

Sebagai informasi, hampir seluruh partai politik yang berada di parlemen kompak menyatakan menolak sistem pemilu proporsional tertutup atau coblos partai.

Yang mana, sistem tersebut tengah digugat oleh ke Mahkamah Konstitusi. Dari sembilan fraksi di DPR RI hanya PDI Perjuangan yang tidak ikut menyatakan sikap. 


Awal Mula

Wacana sistem pemilu proporsional tertutup atau sistem coblos partai kembali bergema. Hal ini berangkat dari pernyataan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari yang menyebut bahwa terbuka peluang menggunakan sistem proporsional tertutup di Pemilu 2024, pasca ada gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Hasyim mengatakan, MK bisa saja memutuskan Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup. Sebab pada Pemilu 2009, sistem proporsional terbuka diberlakukan karena putusan lembaga tersebut.

Pernyataan itu lantas menuai berbagai kritik dan penolakan dari berbagai pihak, termasuk partai politik sendiri.

Juru Bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga menegaskan penolakan terhadap wacana penerapan sistem proporsional tertutup pada Pemilihan Umum 2024. Dia menyebut, tindakan tersebut adalah bentuk pengkhianatan bagi demokrasi.

“PSI berpendapat bahwa sistem proporsional terbuka adalah kemajuan esensial dalam demokrasi kita. Kerugian konstitusional yang dikeluhkan justru lebih besar apabila diterapkan sistem proporsional tertutup,” kata Ariyo, dalam keterangan pers diterima, Jumat (30/12/2022).

 


Kemunduran

Ketua DPP NasDem Willy Aditya menilai wacana penggunaan sistem proporsional tertutup atau hanya mencoblos partai dalam Pemilu 2024 merupakan sebuah kemunduran.

Menurutnya, apabila diterapkan sistem pemilu proporsional tertutup, maka pemilih dipaksa membeli kucing dalam karung. Tidak tahu siapa anggota legislatif yang akan mewakilinya di parlemen.

"Demokratisasi sepatutnya bukan memundurkan yang telah maju, tetapi memperbaiki dan menata ulang hal yang kurang saja. Yang terjadi pada sistem pemilu jika benar kembali ke sistem proporsional tertutup maka terjadi kemunduran luar biasa. Selain menutup peluang rakyat untuk mengenal caleg, rakyat juga dipaksa memilih kucing dalam karung," ujar Willy kepada wartawan, Jumat (30/12/2022).

Sistem proporsional terbuka yang diterapkan saat ini justru menjadi antitesis dari sistem proporsional tertutup yang pernah digunakan. Memilih calon legislatif secara langsung menjadi jawaban masalah kesenjangan representasi.

"Sistem proporsional terbuka dahulu dipilih untuk menjawab persoalan kesenjangan representasi. Ada kelemahan pengenalan dan saluran aspiratif rakyat dengan wakil rakyatnya. Dengan kembali ke proporsional tertutup artinya demokrasi kita mengalami kemunduran," kata Willy.

Sistem proporsional terbuka membuka pintu bagi siapapun dengan berbagai latar belakang elektoral untuk ikut Pemilu. Sadangkan sistem tertutup justru akan melanggengkan oligarki partai politik. Sebab, asal anggota legislatif itu dekat dengan penguasa partai, maka kinerjanya tidak jadi persoalan.

"Proporsional terbuka memungkinkan beragam latar belakang sosial seseorang untuk bisa terlibat dalam politik elektoral. Dengan sistem semacam ini pula, warga bisa turut mewarnai proses politik dalam tubuh partai," kata Willy.


Sikap Berbeda PDIP

Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan (PDIP) menanggapi soal pernyataan sikap delapan fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menolak sistem proporsional tertutup diterapkan di Pemilu 2024.

Hasto mengatakan PDIP taat asas dan konstitusi. Sehingga dengan prinsip itu, PDIP mendorong adanya mekanisme kaderisasi di internal partai. Oleh sebab itu, Hasto mengatakan PDIP mendorong adanya sistem proporsional tertutup di Pemilu 2024.

"Kita bukan hanya partai yang didesain untuk menang pemilu, tapi sebagai partai yang menjalankan fungsi kaderisasi pendidikan politik, memperjuangkan aspirasi rakyat menjadi kebijakan publik dan disitulah proporsional tertutup kami dorong," kata Hasto di Kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat, Selasa (3/1/2023).

Menurut Hasto sistem proporsional tertutup juga sangat tepat dalam konteks saat ini. Di mana, ujar dia, ketidakpastian terjadi secara global.

Hasto menyampaikan bahwa PDIP bahkan telah mencoba menghitung biaya kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) serentak pada 2024 mendatang. Usai dihitung, kata dia biayanya mencapai Rp 31 triliun.

"Tapi nanti KPU yang lebih punya kewenangan untuk menghitung bersama pemerintah biaya pemilu," ungkapnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya