Liputan6.com, Jakarta - Koordinator Jaringan Aktivis Nusantara (JAN), Romadhon Jasn, berpendapat, pemberian kewenangan tunggal pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memiliki hak melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan berpotensi tumpang-tindih dengan penegak hukum lain.
Sebab, hal itu bertentangan dengan Undang-Undang No. 2 tahun 2022 tentang Polri dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Advertisement
"Mestinya kewenangan penyidikan yang diberikan kepada OJK bersifat terbatas. Karena independensi kelembagaan OJK juga tidak dapat ditafsirkan berdiri sendiri,” kata Romadhon dalam keterangan tetulis diterima, Sabtu (7/1/2023).
Romadhon mengingatkan, pengesahan Rancangan Undang-undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) menjadi Undang-Undang (UU) telah memberikan kewenangan kepada OJK untuk menjadi pihak tunggal yang bisa melakukan penyidikan tindak pidana pada sektor keuangan, dikhawatirkan salah kaprah dan rentan disalahgunakan.
Artinya, pengawas keuangan, dalam hal ini OJK, berpotensi mencampur adukan kewenangan penyidikan dan tugas administrasi.
“Karena pada dasarnya kewenangan penyidikan (harusnya) diserahkan kepada penegak hukum positif yang memiliki kewenangan penyidikan. Lalu metode penyidikan seperti apa yang akan diadopsi atau dilakukan oleh OJK di bidang keuangan? Saya pikir Polri lebih berpengalaman dan kredibel dalam penyidikan," dia memungkasi.
RUU PPSK
Sebagai catatan, pendapat Romadhon disampaikan usai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Rancangan Undang-undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) menjadi Undang-Undang (UU) dalam Rapat Paripurna, Kamis (15/12) yang lalu.
Pengesahan dilakukan langsung oleh Ketua DPR RI Puan Maharani dan disaksikan oleh anggota dewan serta pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Advertisement