Warga China Bersiap Bepergian Saat Imlek, Pemerintah Tiongkok Beri Arahan

China berusaha meminimalkan kemungkinan wabah besar baru COVID-19 dalam kesibukan perjalanan Imlek bulan ini, setelah berakhirnya sebagian besar aturan untuk membendung pandemi.

oleh Liputan6.com diperbarui 08 Jan 2023, 08:04 WIB
Seorang pekerja yang mengenakan pakaian pelindung berjalan melewati orang-orang yang mengantri untuk tes COVID-19 di tempat pengujian virus corona di Beijing, Rabu (9/11/2022). Lonjakan kasus COVID-19 telah mendorong penguncian di pusat manufaktur China selatan Guangzhou, menambah keuangan tekanan yang telah mengganggu rantai pasokan global dan secara tajam memperlambat pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di dunia itu. (Foto AP/Mark Schiefelbein)

Liputan6.com, Jakarta China berusaha meminimalkan kemungkinan wabah besar baru COVID-19 dalam kesibukan perjalanan Imlek bulan ini, setelah berakhirnya sebagian besar aturan untuk membendung pandemi.

Kementerian Transportasi pada hari Jumat memperkirakan lebih dari 2 miliar perjalanan akan terjadi selama Festival Musim Semi, hampir dua kali lipat jumlah tahun lalu dan 70% dari volume perjalanan pada 2019 sebelum pandemi dimulai.

Kesibukan perjalanan selama 40 hari akan dimulai pada 7 Januari dan berakhir pada 15 Februari, dikutip dari VOA Indonesia, Minggu (8/1/2023).

Wakil Menteri Transportasi Xu Chengguang meminta orang-orang untuk membuat rencana perjalanan berdasarkan situasi mereka dan anggota keluarga mereka.

Ia meminta mereka mengurangi perjalanan dan pertemuan, terutama jika itu melibatkan orang-orang lansia, perempuan hamil, anak-anak kecil dan mereka yang memiliki penyakit komorbid.

Seruan itu tidak meminta warga untuk tinggal di rumah sepenuhnya, seperti yang ditetapkan pemerintah sejak pandemi dimulai, meskipun beberapa pemerintah daerah lokal telah mendesak para pekerja migran agar tidak mudik.

China mendadak mengakhiri aturan ketat berupa lockdown, karantina dan tes massal pada Desember lalu di tengah-tengah meningkatnya kekhawatiran mengenai dampak ekonomi dan protes publik yang jarang terjadi di negara yang tidak membiarkan perbedaan pendapat politik secara terbuka.


WHO Sebut Data COVID-19 China Sembunyikan Dampak Sebenarnya

Seorang pria menjalani tes asam nukleat untuk virus corona Covid-19 di Wuhan di provinsi Hubei China tengah, Selasa (22/2/2022). Wuhan, wabah besar pertama dari pandemi virus corona melaporkan lebih dari selusin kasus virus corona baru minggu ini. (AFP/STR)

Kasus COVID-19 yang melonjak belakangan ini membuat khawatir global. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan mengkritik definisi China yang "sangat sempit" tentang kematian akibat COVID-19, seraya memperingatkan bahwa data statistik resmi tidak menunjukkan dampak sebenarnya dari wabah tersebut.

Ada kekhawatiran yang berkembang atas peningkatan tajam infeksi COVID-19 di China sejak pencabutan kebijakan nol COVID yang telah diberlakukan selama bertahun-tahun. "Kami masih belum memiliki data lengkap," kata Direktur Kedaruratan WHO Michael Ryan kepada wartawan seperti dikutip dari DW Indonesia, Jumat (6/1/2022).

"Kami percaya bahwa angka saat ini yang diterbitkan China kurang mewakili dampak sebenarnya dari penyakit tersebut dalam hal penerimaan rumah sakit, ICU, dan khususnya dalam hal kematian," tambahnya.

China hanya mengklaim 22 kasus kematian akibat COVID-19 sejak Desember 2022 dan secara dramatis mempersempit kriteria untuk mengklasifikasikan kematian semacam itu, yang artinya data statistik terkait gelombang wabah Virus Corona yang belum pernah terjadi sebelumnya sekarang secara luas dilihat tidak mencerminkan kenyataan di lapangan.

Ryan menunjukkan bahwa definisi yang digunakan Beijing hanya "gangguan pernapasan" yang terkait dengan infeksi COVID-19, yang masuk dalam kriteria kematian akibat COVID-19.

"Itu definisi yang sangat sempit," katanya.


Mandat Uji COVID-19 yang Datang dari China

Orang-orang yang memakai masker berbaris untuk tes COVID-19 di fasilitas pengujian virus corona di Beijing, China, Jumat (12/8/2022). Tujuannya adalah untuk menghindari mengubah upaya untuk menghentikan wabah menjadi mimpi buruk yang berkepanjangan yang terlihat di Shanghai dan Wuhan. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Negara-negara Uni Eropa menyuarakan keprihatinan terhadap WHO atas data China tentang infeksi COVID-19 yang tidak transparan. Pertemuan para pakar Uni Eropa mengatakan pada hari Rabu (04/01) bahwa negara-negara UE "sangat didorong" untuk menuntut tes COVID-19 dari penumpang yang datang dari China.

Pertemuan itu diadakan untuk mengoordinasikan tanggapan bersama UE terhadap arus masuk pengunjung yang tiba-tiba, saat Beijing mencabut kebijakan nol COVID yang sebagian besar telah menutup negara itu dari perjalanan internasional.

Para ahli juga merekomendasikan agar penumpang dari dan menuju China mengenakan masker, menjalani tes acak pada saat kedatangan, dan menguji air limbah dari penerbangan China. Rekomendasi tersebut dikeluarkan oleh kepresidenan Swedia di Uni Eropa.


Hasil Pertemuan WHO dengan China

Pekerja yang mengenakan pakaian pelindung menangani kantong sampah di tempat pengujian virus corona di Beijing, Kamis (19/5/2022). Sebagian wilayah Beijing menghentikan pengujian massal harian yang telah dilakukan beberapa minggu terakhir, tetapi banyak tempat pengujian tetap sibuk karena syarat tes negatif COVID-19 dalam 48 jam terakhir untuk memasuki beberapa bangunan di ibu kota China. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Sebelumnya, Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan kepada wartawan bahwa pihaknya telah mengadakan pembicaraan tingkat tinggi dalam beberapa pekan terakhir dengan mitranya di China.

"Kami terus meminta China untuk data rawat inap dan kematian yang lebih cepat, teratur, dan dapat diandalkan, serta pengurutan virus real time yang lebih komprehensif," kata Tedros.

Dia menegaskan kembali bahwa WHO memahami alasan beberapa negara memberlakukan pembatasan baru COVID-19 pada pengunjung dari China.

"Dengan merebaknya (virus) di China yang begitu tinggi dan tidak tersedianya data yang komprehensif ... dapat dipahami bahwa beberapa negara mengambil langkah yang mereka yakini akan melindungi warganya sendiri," katanya.

Amerika Serikat, yang akan mewajibkan tes COVID-19 bagi sebagian besar pelancong dari China mulai Kamis (05/01), mengapresiasi peran WHO dan mengatakan tindakan pencegahan yang diambil Washington disebabkan oleh kurangnya transparansi dari Beijing.

WHO "dalam posisi terbaik untuk membuat penilaian" karena kontaknya dengan pejabat China, kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price.

Infografis Kejahatan Meningkat saat Pandemi Corona. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya