Liputan6.com, Jakarta China berusaha meminimalkan kemungkinan wabah besar baru COVID-19 dalam kesibukan perjalanan Imlek bulan ini, setelah berakhirnya sebagian besar aturan untuk membendung pandemi.
Kementerian Transportasi pada hari Jumat memperkirakan lebih dari 2 miliar perjalanan akan terjadi selama Festival Musim Semi, hampir dua kali lipat jumlah tahun lalu dan 70% dari volume perjalanan pada 2019 sebelum pandemi dimulai.
Advertisement
Kesibukan perjalanan selama 40 hari akan dimulai pada 7 Januari dan berakhir pada 15 Februari, dikutip dari VOA Indonesia, Minggu (8/1/2023).
Wakil Menteri Transportasi Xu Chengguang meminta orang-orang untuk membuat rencana perjalanan berdasarkan situasi mereka dan anggota keluarga mereka.
Ia meminta mereka mengurangi perjalanan dan pertemuan, terutama jika itu melibatkan orang-orang lansia, perempuan hamil, anak-anak kecil dan mereka yang memiliki penyakit komorbid.
Seruan itu tidak meminta warga untuk tinggal di rumah sepenuhnya, seperti yang ditetapkan pemerintah sejak pandemi dimulai, meskipun beberapa pemerintah daerah lokal telah mendesak para pekerja migran agar tidak mudik.
China mendadak mengakhiri aturan ketat berupa lockdown, karantina dan tes massal pada Desember lalu di tengah-tengah meningkatnya kekhawatiran mengenai dampak ekonomi dan protes publik yang jarang terjadi di negara yang tidak membiarkan perbedaan pendapat politik secara terbuka.
WHO Sebut Data COVID-19 China Sembunyikan Dampak Sebenarnya
Kasus COVID-19 yang melonjak belakangan ini membuat khawatir global. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan mengkritik definisi China yang "sangat sempit" tentang kematian akibat COVID-19, seraya memperingatkan bahwa data statistik resmi tidak menunjukkan dampak sebenarnya dari wabah tersebut.
Ada kekhawatiran yang berkembang atas peningkatan tajam infeksi COVID-19 di China sejak pencabutan kebijakan nol COVID yang telah diberlakukan selama bertahun-tahun. "Kami masih belum memiliki data lengkap," kata Direktur Kedaruratan WHO Michael Ryan kepada wartawan seperti dikutip dari DW Indonesia, Jumat (6/1/2022).
"Kami percaya bahwa angka saat ini yang diterbitkan China kurang mewakili dampak sebenarnya dari penyakit tersebut dalam hal penerimaan rumah sakit, ICU, dan khususnya dalam hal kematian," tambahnya.
China hanya mengklaim 22 kasus kematian akibat COVID-19 sejak Desember 2022 dan secara dramatis mempersempit kriteria untuk mengklasifikasikan kematian semacam itu, yang artinya data statistik terkait gelombang wabah Virus Corona yang belum pernah terjadi sebelumnya sekarang secara luas dilihat tidak mencerminkan kenyataan di lapangan.
Ryan menunjukkan bahwa definisi yang digunakan Beijing hanya "gangguan pernapasan" yang terkait dengan infeksi COVID-19, yang masuk dalam kriteria kematian akibat COVID-19.
"Itu definisi yang sangat sempit," katanya.
Advertisement
Mandat Uji COVID-19 yang Datang dari China
Negara-negara Uni Eropa menyuarakan keprihatinan terhadap WHO atas data China tentang infeksi COVID-19 yang tidak transparan. Pertemuan para pakar Uni Eropa mengatakan pada hari Rabu (04/01) bahwa negara-negara UE "sangat didorong" untuk menuntut tes COVID-19 dari penumpang yang datang dari China.
Pertemuan itu diadakan untuk mengoordinasikan tanggapan bersama UE terhadap arus masuk pengunjung yang tiba-tiba, saat Beijing mencabut kebijakan nol COVID yang sebagian besar telah menutup negara itu dari perjalanan internasional.
Para ahli juga merekomendasikan agar penumpang dari dan menuju China mengenakan masker, menjalani tes acak pada saat kedatangan, dan menguji air limbah dari penerbangan China. Rekomendasi tersebut dikeluarkan oleh kepresidenan Swedia di Uni Eropa.
Hasil Pertemuan WHO dengan China
Sebelumnya, Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan kepada wartawan bahwa pihaknya telah mengadakan pembicaraan tingkat tinggi dalam beberapa pekan terakhir dengan mitranya di China.
"Kami terus meminta China untuk data rawat inap dan kematian yang lebih cepat, teratur, dan dapat diandalkan, serta pengurutan virus real time yang lebih komprehensif," kata Tedros.
Dia menegaskan kembali bahwa WHO memahami alasan beberapa negara memberlakukan pembatasan baru COVID-19 pada pengunjung dari China.
"Dengan merebaknya (virus) di China yang begitu tinggi dan tidak tersedianya data yang komprehensif ... dapat dipahami bahwa beberapa negara mengambil langkah yang mereka yakini akan melindungi warganya sendiri," katanya.
Amerika Serikat, yang akan mewajibkan tes COVID-19 bagi sebagian besar pelancong dari China mulai Kamis (05/01), mengapresiasi peran WHO dan mengatakan tindakan pencegahan yang diambil Washington disebabkan oleh kurangnya transparansi dari Beijing.
WHO "dalam posisi terbaik untuk membuat penilaian" karena kontaknya dengan pejabat China, kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price.
Advertisement