Liputan6.com, Jakarta - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dikabarkan digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh beberapa pihak.
Terkait hal tersebut, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah enggan berkomentar lebih lanjut.
"Kalau soal itu saya, jangan dulu deh. Cukup ya," kata Ida saat ditemui di Sarinah, Jakarta Pusat, Minggu (8/1/2022).
Ida juga mengatakan bahwa sebelum Perppu tersebut dikeluarkan, pihaknya telah menyerap aspirasi dari berbagai pihak, misalnya Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), serikat buruh, dan akademisi.
Baca Juga
Advertisement
"Sebelum kita mengaluarkan Perppu Cipta Kerja, pemerintah telah mengeluarkan sosialisasi dan serap aspirasi di berbagai kabupaten/kota. Apakah itu teman-teman APINDO, apakah itu teman-teman serikat buruh. Kita juga dateng di perguruan tinggi, kita juga meminta lembaga independen melakukan kajian," jelas Ida.
Lebih lanjut, Ida menyebut bahwa pengusaha harus menerapkan aturan ini. Sebab, ada konstitusi yang mengikat kebijakan ini.
"Ini kan mengikat seluruh warga negara. Jika tidak bersepakat, tentu ada mekanisme konstitusi yang tersedia," ujar Ida.
Perlu Kajian Mendalam
Ketua Fraksi PAN DPR RI, Saleh Daulay menilai DPR perlu melakukan kajian mendalam sebelum menyatakan menerima atau menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker).
Menurut Saleh, Perppu Cipta Kerja berisi banyak pasal sehingga dibutuhkan waktu lebih lama untuk mempelajarinya.
"Setiap produk Perppu, tentu perlu mendapat persetujuan DPR, untuk itu perlu ada kajian. Masing-masing partai akan membahas dan memberikan pandangannya, dan pada akhirnya DPR boleh menyatakan menerima atau menolak," kata Saleh di Jakarta, Senin (3/1/2022).
Dia menjelaskan Perppu tersebut baru diterbitkan pada 30 Desember 2022 sehingga dirinya belum tuntas mempelajarinya secara mendalam.
Menurut dia, ada dua hal penting yang harus didalami terkait Perppu tersebut yaitu apa menjadi ketentuan baru dan apa perbedaannya dengan UU Ciptaker yang sudah disahkan.
"Nanti baru bisa membandingkan apa yang sudah baik, yang perlu disempurnakan, yang perlu dilengkapi dengan aturan turunan, dan seterusnya," ujarnya. Dilansir dari Antara.
Selain itu menurut dia, pemerintah harus menjelaskan kepada publik terkait sifat kegentingan yang memaksa terkait terbitnya Perppu Ciptaker tersebut.
Saleh menilai pemerintah perlu menjelaskan apakah betul bahwa resesi ekonomi global bisa dijadikan sebagai pertimbangan untuk menyebutkan adanya kegentingan yang memaksa.
"Pihak yang menerbitkan perppu adalah pemerintah sehingga harus menjelaskan soal kegentingan. DPR dan masyarakat adalah bagian yang ikut untuk menilai soal kegentingan tersebut," katanya.
Reporter: Lydia Fransisca/Merdeka.com
Advertisement