Liputan6.com, Jakarta - Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menanggapi soal pertemuan tujuh ketua umum (Ketum) dan pimpinan partai politik (parpol) di Hotel Dharmawangsa, Minggu (8/1/2023). Dalam pertemuan tersebut, baik ketua umum maupun perwakilan Gerindra tidak hadir, namun sepakat soal menolak sistem pemilu proporsional tertutup.
"Ya pertemuan pertemuan itu kan bagus sama kami bertemu dengan rakyat . Itu hal yang biasa di dalam politik untuk saling bertemu," kata Hasto di Jalan Baladewa, Tanah Tinggi, Johar Baru, Jakarta Pusat, Minggu.
Baca Juga
Advertisement
Menurut Hasto, partainya menghormati pertemuan sejumlah ketua umum parpol yang menolak sistem pemilu proporsional tertutup itu. Dia menilai pertemuan itu sebagai bagian dari tradisi demokrasi di Indonesia.
"Tapi pertemuan yang ada di Hotel Dharmawangsa ya itu kita hormati sebagai bagian dalam tradisi demokrasi kita," jelas dia.
Lebih lanjut, Hasto tak menjawab lugas saat ditanyai apakah Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri ikut diajak dalam pertemuan ketua umum dan petinggi parpol itu. Menurut dia, saat ini partainya tengah sibuk mempersiapkan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-50 PDIP.
"Ya kita kan baru mempersiapkan hari ulang tahun PDIP. Semuanya sibuk hari ini aja ada 5 agenda dalam rangka HUT partai," jelas Hasto.
Dia menyampaikan bahwa selama ini Megawati juga sering bertemu ketum-ketum parpol lainnya. Namun, kata dia Megawati lebih kepada melakukan dialog kebangsaan dalam suasana yang kontemplatif.
"Nah bedanya kalau ibu ketua umum juga bertemu para ketua umum itu tidak kemudian dalam pengertian untuk terbuka. Beliau banyak melakukan dialog bangsa dan negara itu justru dalam suasana yang kontemplatif, itu yang membedakan," jelas dia.
Pertemuan 8 Pimpinan Parpol
Diketahui, delapan ketua umum dan pimpinan partai politik parlemen berkumpul hari, Minggu (8/1/2023) untuk menyatakan sikap menolak sistem proporsional tertutup. Wakil Ketua Umum Nasdem Ahmad Ali menyatakan yang sistem pemilu merupakan ranah parpol, bukan MK apalagi KPU.
"Salah satu yang ingin dibicarakan, satu soal masalahnya pernyataan Ketua KPU tentang proporsional terbuka. Itu menjadi point yang akan kita diskusikan supaya ada pemahaman sama. Harusnya seperti itu. Karena itu memang domain parpol yang pembuat UU itu bukan domain MK mestinya, harusnya,” kata Ahmad Ali di Hotel Dharmawangsa, Minggu.
Ali menyatakan pernyataan sikap parpol hari ini tak perlu melaporkannya ke Presiden Jokowi, sebab hal itu adalah sikap internal masing-masing parpol.
"Pak Jokowi pastinya memahami semua pertemuan partai hari ini menyangkut kepentingan parpol itu sendiri. Jadi ya ini menyangkut internal parpol masing-masing, kepentingan partai secara ke depannya,” katanya.
Advertisement
8 Parpol: Sistem Proporsional Tertutup Kemunduran Demokrasi
Diketahui, sebanyak delapan ketua umum dan pimpinan partai politik parlemen berkumpul hari, Minggu (8/1/2023). Mereka menyatakan sikap menolak pemilu dengan sistem Proporsional Tertutup.
Usai pertemuan, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Presiden PKS Ahmad Syaikhu, Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Wakil Ketua Umum Nasdem Ahmad Ali, dan Wakil Ketua Umum PPP Amin Uskara menyampaikan pernyataan sikap 8 Parpol.
Sementara, Gerindra izin tidak dapat hadir namun menyampaikan sepakat dengan ketujuh parpol lain.
"Pertama, kami menolak proporsional tertutup dan memiliki komitmen untuk menjaga kemajuan demokrasi di Indonesia yang telah dijalankan sejak era reformasi. Sistem pemilu proporsional tertutup merupakan kemunduran bagi demokrasi kita," kata Airlangga di Hotel Dharmawangsa, Minggu (8/1/2023).
Airlangga menyebut sistem pemilu proporsional terbuka merupakan perwujudan dari demokrasi yang berasaskan kedaulatan rakyat, di mana rakyat dapat menentukan calon anggota legislatif yang dicalonkan oleh partai politik.
"Kami tidak ingin demokrasi mundur," kata dia.
Kedua, lanjut Airlangga, sistem pemilu dengan proporsional terbuka merupakan pilihan yang tepat dan telah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada tanggal 23 Desember 2008 yang sudah dijalankan dalam tiga kali pemilu dan gugatan terhadap yurisprudensi akan menjadi preseden yang buruk bagi hukum kita dan tidak sejalan dengan asas nebis in idem