Liputan6.com, Jakarta - Anak usia 12 di Binjai, Sumatera Utara yang kini hamil 8 bulan masih memiliki masa depan panjang dan hak pendidikan.
Namun, korban kekerasan seksual sepertinya acap kali ditolak oleh lembaga pendidikan karena sejarah kelam yang menimpanya.
Advertisement
Pada kenyataannya, setelah diketahui hamil, ia malah dikeluarkan dari sekolah.
“Sudah menjadi rahasia umum ketika ada korban kekerasan seksual justru tidak bisa melanjutkan sekolah. Mayoritas sekolah tidak menerima anak-anak yang berhubungan dengan hukum terutama perkosaan karena dianggap membawa aib dan mencoreng nama baik sekolah,” kata Kriminolog Haniva Hasna kepada Health Liputan6.com melalui pesan tertulis belum lama ini.
Kriminolog yang karib disapa Iva itu menambahkan, dalam situasi ini, peran pemerintah sangat diperlukan.
“Di sinilah peran pemerintah daerah, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), KPAI Daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK) diperlukan untuk memberi perhatian pada korban perkosaan.”
Pemerintah dan lembaga-lembaga ini memiliki peran agar anak tersebut dapat diterima di sekolah. Pihak-pihak ini dapat melakukan sosialisasi dan menunjuk sekolah yang siap menerima korban tersebut.
Dapat pula berupaya memindahkan korban ke sekolah lain atau kota lain sebagai alternatif untuk memutus sejarah kelam korban. Namun, tetap dengan pemantauan dan pendampingan dari pemerintah atau lembaga terkait.
Tindakan KemenPPPA
Senada dengan Iva, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mendorong pihak pemerintah daerah untuk memastikan pemenuhan hak atas pendidikan korban.
Pasalnya, tidak hanya dikeluarkan dari sekolah, korban juga diusir oleh warga desa tempat ia tinggal di Kabupaten Langkat setelah diketahui hamil.
"Setelah proses pemulihan, korban akan kembali ke orangtuanya dan melanjutkan pendidikannya. Bagaimanapun, anak merupakan generasi penerus kita. Oleh karena itu, wajib belajar 12 tahun harus mereka jalani," ujar Menteri PPPA dalam keterangan resmi.
Bintang pun secara tegas meminta pihak kepolisian setempat untuk melakukan penyelidikan terkait kasus tersebut dengan cepat dan tuntas.
"Meskipun kasus ini belum dilaporkan secara langsung oleh korban ataupun keluarga, tetapi beritanya sudah menyebar dan harus segera ditindaklanjuti karena kewajiban Negara untuk memastikan anak-anak Indonesia terlindungi dari segala bentuk tindak pidana kekerasan seksual.”
“Kami meminta kepada pihak kepolisian agar pelaku ditindak secara tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan tanpa memandang status kekerabatan pelaku dengan korban," kata Bintang.
Advertisement
Pendampingan bagi Korban
Sebelumnya Iva menjelaskan, ada tiga pendampingan yang bisa diberikan kepada korban, yakni pendampingan fisik, psikis, dan hukum.
“Pendampingan fisik dilakukan untuk membantu memberikan dan menjamin keselamatan korban, menjaga kesehatan korban dan bayinya,” kata Iva.
Pendampingan psikis dengan cara memberikan rasa aman, tenang, menghindarkan dari stres, depresi, dan trauma.
Pendampingan hukum dengan cara membantu korban untuk mendapat keadilan dan perlindungan hukum. Termasuk mendampingi saat Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Serta mengumpulkan bukti dan saksi hingga memberi perlindungan terhadap ancaman pihak lain.
Sedangkan, bantuan utama yang sekarang dibutuhkan korban adalah bantuan fisik/kesehatan dan psikis. Mengingat korban masih berusia 12, masih dalam kondisi yang rentan menjalani kehamilannya. Baik secara psikis maupun kesiapan organnya. Sehingga perlu bantuan medis, tempat tinggal yang layak, serta suasana hati yang tenang, aman jauh dari ancaman.
Pentingnya Bantuan Kesehatan Fisik dan Psikis
Bantuan kesehatan fisik dan psikis amat diperlukan karena kasus ini berdampak pada kedua aspek tersebut.
“Dampak fisik kekerasan seksual jelas terjadi terhadap kemampuan organ tubuhnya yang belum siap menjalani kehamilan. Bisa terjadi kelahiran prematur, pendarahan persalinan, berat badan bayi rendah, dapat menyebabkan kematian bayi dan ibunya serta terkena penyakit menular seksual.”
Persalinan pada ibu di bawah usia 20 memiliki kontribusi dalam tingginya angka kematian neonatal, bayi, dan balita, lanjut Iva.
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa angka kematian neonatal, postneonatal, bayi dan balita pada ibu yang berusia kurang dari 20 tahun lebih tinggi dibandingkan pada ibu usia 20-39 tahun.
Sedangkan, secara psikis, korban bisa mudah gelisah, serangan panik, depresi, gangguan stres pasca trauma (PTSD), gangguan tidur dan mimpi buruk, menyakiti diri sendiri dan yang paling berat adalah melakukan aborsi atau muncul dorongan untuk mengakhiri hidup.
Advertisement