Sekolah Gugat Meta hingga TikTok karena Dianggap Ganggu Kesehatan Mental Siswa

Sekolah di Seattle menggugat Meta, Alphabet, Snap, dan induk TikTok ByteDance karena produknya dianggap memperparah krisis kesehatan mental pada remaja.

oleh Agustin Setyo Wardani diperbarui 10 Jan 2023, 06:30 WIB
Mark Zuckerberg, Founder sekaligus CEO Facebook, banyak disalahkan sebagian pihak karena membiarkan penggunanya membagikan tautan berita hoax di Facebook. (Doc: Wired)

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah sekolah umum di Seattle, Amerika Serikat (AS), dikabarkan menggugat perusahaan media sosial raksasa. Sekolah ini menuding perusahaan pembesut medsos atas krisis kesehatan mental yang memburuk di kalangan siswa.

Dilaporkan, masalah kesehatan mental para siswa ini berdampak secara langsung pada kapasitas sekolah dalam memenuhi misi pendidikan mereka.

Berdasarkan laporan Reuters, sebuah kasus diajukan ke Pengadilan Negeri AS pada Jumat 6 Januari lalu, melawan perusahaan induk Google yakni Alphabet. Gugatan juga dialamatkan ke Meta, Snap, dan pemilik TikTok, ByteDance.

Mengutip Tech Times, Selasa (10/1/2023), gugatan tersebut menuding produk perusahaan-perusahaan teknologi di atas sengaja dibuat untuk menarik anak muda ke platform mereka. Produk media sosial tersebut juga mengakibatkan krisis kesehatan mental.

Melalui email ke Reuters, Snap memberikan tanggapan. Snap menyebut pihaknya bekerja sama dengan beberapa organisasi kesehatan mental untuk menawarkan alat dan dukungan dalam aplikasi, bagi pengguna.

Perusahaan yang dipimpin oleh Evan Spiegel ini juga menekankan bahwa kesejahteraan anggota komunitasnya (para pengguna) adalah prioritas utama mereka.

Sementara itu, Google menyebutkan, perusahaan telah menghabiskan banyak waktu untuk membangun pengalaman aman bagi anak muda di seluruh platformnya. Google juga berkata, pihaknya menambahkan perlindungan kuat dan fungsi khusus untuk melindungi kesejahteraan pengguna.

Adapun permintaan tanggapan dari Meta Facebook dan TikTok tidak mendapatkan jawaban. Namun, laporan sebelumnya menunjukkan perusahaan berniat memberi pengguna pengalaman positif dengan menyaring materi yang tidak pantas, mendanai upaya moderasi, dan menegakkan kebijakan konten.

 


Detail Gugatan

TikTok. Dok: money.com

Menurut keluhan yang diajukan, aktivitas bisnis teknologi telah memainkan peran signifikan dalam memicu krisis kesehatan mental di kalangan anak muda.

Gugatan itu juga mengklaim bahwa tergugat (Google dkk) secara efektif mengeksploitasi pikiran remaja yang rentan. Perusahaan medsos juga dianggap memikat jutaan siswa di seluruh negeri ke dalam lingkaran feedback positif dari penggunaan berlebihan dan penyalahgunaan platform media sosial mereka.

Sekolah-sekolah pun telah mengambil langkah-langkah, termasuk memberikan pelatihan kesehatan mental kepada instruktur dan mempekerjakan staf yang memenuhi syarat. Hal ini merupakan tanggapan atas krisis kesehatan mental pada siswa yang dipicu penggunaan medsos.

Selain itu, gugatan dari pihak sekolah juga memperlihatkan bahwa sekolah memperluas sumber daya untuk mendidik siswa, mengenai risiko penggunaan medsos karena buruknya kinerja siswa yang memiliki gangguan kesehatan mental.

Penggugat, dalam hal ini pihak sekolah, menuntut ganti rugi uang dan hukuman tambahan.


Sejalan dengan Hasil Penelitian

Ilustrasi Snapchat. Kredit: Freepik

Gugatan dari sekolah cukup berasalan. Pasalnya awal bulan ini Tech Times juga melaporkan hasil studi baru yang menyebutkan, ketika anak-anak banyak menghabiskan waktu di media sosial, hal ini terkait dengan hasil negatif untuk pematangan kognitif.

Penelitian di JAMA Pediatric yang dipublikasikan 3 Januari lalu mengungkap, salah satu dampak jangka panjang dari penggunaan medsos yang berlebihan pada remaja adalah meningkatnya kepekaan terhadap harapan akan penghargaan dan hukuman sosial.

Sementara, rekan penulis dan profesor UNC-Chapel Hill Eva Telzer mengatakan, temuan ini menunjukkan bahwa anak muda yang terpapar media sosial pada usia dini cenderung memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap pendapat teman sebayanya.

 


Masalah Facebook

Ilustrasi Facebook (Foto: New Mobility)

Penelitian di atas tampaknya berkaitan dengan kesaksian mantan karyawan sekaligus whistleblower Facebook, Frances Haugen, yang bikin heboh di tahun 2021.

Setelah kesaksian Haugen, senator-senator AS menuding CEO Facebook Mark Zuckerberg memprioritaskan keuntungan di atas kesehatan mental anak-anak.

Facebook kerap membantah klaim Haugen yang menyebutkan, perusahaan gagal menerapkan perlindungan pada remaja putri di Instagram.

Zuckerberg pun merespon melalui Facebook. Ia berkata, klaim bahwa Facebook mempromosikan barang-barang yang membuat orang marah sangatlah konyol.

"Kami mendapatkan pendapatan berkat iklan dan pengiklan secara konsisten bilang kepada kami, mereka tidak ingin iklan-iklan mereka membahayakan atau konten penuh kemarahan. Saya tidak tahu apa ada perusahaan teknologi lain yang mengembangkan produk untuk membuat orang marah atau depresi," tutur Zuckerberg, membela diri.

(Tin/Isk)

Facebook sarang hoaks covid-19 infografis

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya