Dejavu, Sri Mulyani Merasa Krisis Global saat Ini Mirip saat Perang Dingin

Sri Mulyani menjelaskan, kondisi ekonomi global yang sedang terjadi saat ini pernah terjadi di masa lalu yaitu saat perang dingin.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Jan 2023, 15:50 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani menghadiri Rapat Paripurna DPR RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2022-2023 di kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (29/9/2022). Agenda rapat paripurna kali ini adalah pembicaraan tingkat II/pengambilan keputusan atas RUU tentang APBN tahun anggaran 2023. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, merasa dejavu. Kondisi konflik ekonomi dan politik dunia yang terjadi saat ini juga pernah terjadi di masa lalu. Tepatnya saat ada perang dingin antara Blok Barat dengan  Blok Timur.  

Sri Mulyani menjelaskan, kondisi ekonomi global yang sedang terjadi saat ini pernah terjadi di masa lalu. Tepatnya di era 1970-an kala terjadi perang dingin antara blok barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS) melawan Uni Soviet dan China.

Sedangkan saat ini Blok barat yakni Eropa dan AS tengah berselisih dengan Rusia yang merupakan negara pecahan dari Uni Soviet yang terbesar.

"Saya sekarang suka baca buku geopolitik, world does mean ini seperti perang dingin AS dengan Uni Soviet. Sekarang blok barat versus Soviet dan RRT ini sama dengan era 1970-an," kata Sri Mulyani saat memberikan sambutan di acara CEO Banking Forum di Jakarta, Senin (9/1).

Sebagaimana diketahui, pada tahun 2022, Rusia secara tiba-tiba melakukan invasi kepada Ukraina. Atas invasi tersebut, Rusia mendapatkan sanksi dari Eropa dan Amerika Serikat seperti pemutusan hubungan perdagangan.

Di sisi lain, ketegangan perang dingin juga terjadi antara Amerika Serikat dengan China. Perang dagang ini kembali memanas sejak tahun 2019.

Tak hanya ketegangan politik saja, dalam hal tingkat inflasi juga memiliki kesamaan. Tingkat inflasi Amerika Serikat di tahun 2022 lalu sempat di atas 9 persen dan menjadi yang tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Artinya, kondisi tersebut terjadi ketika terjadi perang dingin di masa lalu.

"Fenomena tahun lalu, inflasi di AS pernah naik di atas 9 persen," kata dia.

Pada akhirnya Sri Mulyani berkesimpulan, masalah yang terjadi di dunia intinya memiliki pola yang sama. Perbedaaanya hanya pada faktor pemicu, makanya penting bagi para bankir milenial untuk kembali membuka buku-buku sejarah dan mempelajarinya. Agar bisa mengambil keputusan bijak saat menghadapi situasi yang sama.

"Jadi memang perlu mempelajari sejarah agar tidak kaget, baik dari sisi ekonomi dan geopolitik yang akan memengaruhi dunia," kata dia.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com


Ekonom Ini Ramal Ekonomi Global Bakal Tak Baik-baik Saja Hingga 10 Tahun ke Depan

Suasana gedung-gedung bertingkat yang diselimuti asap polusi di Jakarta, Selasa (30/7/2019). Badan Anggaran (Banggar) DPR bersama dengan pemerintah menyetujui target pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran angka 5,2% pada 2019 atau melesat dari target awal 5,3%. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Penulis dan kepala ekonom di Tressis Gestion, Daniel Lacalle memprediksi perekonomian global akan menghadapi perlambatan hingga satu dekade ke depan.

"Saya pikir kita mungkin akan memasuki satu dekade pertumbuhan yang sangat, sangat buruk di mana negara ekonomi maju akan menemukan diri mereka beruntung dengan pertumbuhan 1 persen per tahun, jika mereka mampu mencapainya, dan apa yang lebih disayangkan daripada yang lainnya adalah dengan tingkat inflasi yang tinggi," kata Lacalle, mengutip CNBC International, Rabu (4/1/2023).

"Saya pikir kita sedang menjalani reaksi dari paket stimulus besar-besaran yang diterapkan pada tahun 2020 dan 2021. Hal itu tidak menghasilkan potensi pertumbuhan yang diharapkan banyak ekonom," sambungnya, kepada Squawk Box Europe CNBC.

Selain itu, dibukanya kembali aktivitas ekonomi China secara penuh akan menjadi langkah positif terbesar yang diharapkan pasar untuk tahun 2023 ini.

"Kami telah melihat gambaran yang sangat suram untuk ekonomi China, tidak hanya untuk pertumbuhan seluruh dunia tetapi khususnya untuk Amerika Latin dan juga untuk Afrika," sebut Lacalle.

Dia mengakui, dibukanya kembali aktivitas ekonomi China memang akan memberikan dorongan yang signifikan untuk pertumbuhan ekonomi dunia, tetapi eksportir dari negara Eropa salah satunya Jerman dan Prancis masih merasakan tekanan dari lockdown dan pelemahan bisnis di negara itu.

Menurutnya, dorongan tersebut belum cukup untuk mendekati tingkat pertumbuhan ekonomi sebelum pandemi.

 


Upaya Cegah Krisis

Suasana gedung perkantoran di Jakarta, Sabtu (17/10/2020). International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 menjadi minus 1,5 persen pada Oktober, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya pada Juni sebesar minus 0,3 persen. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Namun terlepas dari prospek yang suram, Lacalle masih optimis upaya mencegah krisis ekonomi masih bisa dilakukan.

“Saya pikir pasar mulai menghargai lingkungan di mana situasi global bukan lagi berfokus pada tingkat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang tinggi, tetapi situasi yang menghindari krisis keuangan, dan jika itu terjadi, itu pasti positif," pungkasnya.

Seperti diketahui, perekonomian dunia telah bergulat dengan banyak guncangan mulai dari perang di Ukraina hingga kebijakan nol-Covid-19 di China dan lonjakan inflasi.

Dana Moneter Internasional (IMF) kini memproyeksikan bahwa pertumbuhan PDB global akan melambat dari 6 persen pada tahun 2021 menjadi 3,2 persen pada tahun 2022 dan 2,7 persen pada tahun 2023.

IMF menyebut hal itu sebagai pertumbuhan terlemah sejak tahun 2001 kecuali untuk krisis keuangan global dan fase akut dari pandemi Covid-19.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya