Liputan6.com, Aceh - Aceh kembali kedatangan pengungsi dari Rohingya yang menggunakan kapal. Kedatangan ini menambah jumlah pengungsi yang tiba di Aceh sejak 2022.
Pada Desember 2022, ratusan pengungsi juga tiba di Aceh.
Baca Juga
Advertisement
Menurut laporan badan pengungsi PBB (UNHCR), para pengungsi Rohingya itu berasal dari penampungan pengungsi di Cox's Bazar, Bangladesh.
Berdasarkan informasi situs UN Refugees, Senin (9/1/2022), lokasi tempat tinggal di Cox's Bazar memang kurang memadai. Tempat tinggal dibuat dari bambu, serta area tempat tinggalnya rentan tanah longsor.
Ada pula risiko banjir di musim hujan. Para pengungsi pun rentan terkena penyakit seperti hepatitis, malaria, demam, dan chikungunya. Perkemahan itu juga tak memiliki fasilitas-fasilitas yang memadai, termasuk sanitasi.
Pada 2022, semakin banyak pengungsi Rohingya yang lantas memilih pergi via jalur laut ke negara-negara lain. Tetapi pengungsi Rohingya makin kesulitan mencari tempat bernaung.
Isu penolakan lantas muncul dari Malaysia, bahkan Indonesia. Berdasarkan laporan Al Jazeera pada 2020, Malaysia menolak pengungsi Rohingya. Pemerintah Malaysia menyebut negaranya tak bisa lagi menampung pengungsi.
Sementara pada 2021 hal serupa dilakukan Indonesia. Waktu itu, pemerintah Indonesia menyebut sedang ada pandemi COVID-19.
Pertolongan kapal Rohingya pada Desember 2022 juga terjadi usai adanya permintaan berkali-kali dari badan pengungsi PBB, namun pihak PBB merasa diabaikan pemerintah. Para pengungsi lantas ditolong oleh nelayan Aceh. Salah satu pengungsi mengaku sebenarnya ingin ke Malaysia.
Pihak PBB dan Amnesty lantas mengingatkan berbagai negara bahwa ada kewajiban internasional untuk menolong para pengungsi Rohingya yang berada di laut, serta tidak ditunda karena berbahaya.
Mengapa para pengungsi Rohingya kerap berdatangan dan terdampar di Aceh?
Sempat ditolak oleh Malaysia dan pemerintah Indonesia, pengungsi Rohingya yang terdampar dan diselamatkan nelayan Aceh kini menjalani kehidupan baru di wilayah itu.
Sementara itu, sejumlah sumber menyebut, berkaca dari kasus sebelumnya, ada dugaan faktor di balik kedatangan mereka terlibat agen-agen yang membawa etnis Rohingya masuk ke Indonesia melalui Aceh sebagai daerah transit.
Tanggung Jawab Siapa?
Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) meminta pemerintah pusat untuk merespons cepat kedatangan para pengungsi Rohingya yang terus bertambah ke tanah rencong.
"Jakarta (pemerintah pusat) sendiri harus merespon terkait adanya pergerakan kedatangan para imigran Rohingnya ke Aceh," kata Ketua Komisi I DPRA Iskandar Usman Al Farlaky, di Banda Aceh, Selasa, dikutip Antara.
Dalam dua hari ini Aceh kedatangan para pengungsi dari negara Myanmar suku Rohingya, pertama pada Minggu (25/12) sebanyak 57 orang di pantai Aceh Besar.
Kemudian, Senin (26/12), Aceh kembali didatangi imigran Rohingya sebanyak 185 orang di kawasan perairan Laweung, Kabupaten Pidie.
Iskandar menyampaikan, secara kemanusiaan terkait kedatangan pengungsi Muslim Rohingya yang sudah bertubi-tubi ke Aceh baik di Lhokseumawe, Aceh Besar dan Pidie, pemerintah daerah diharapkan bisa memberikan perlindungan.
"Penyediaan obat-obatan, makanan, dan pakaian, karena secara kemanusiaan siapa pun wajib untuk memberi rasa kemanusiaan dan keadilan bagi mereka," ujarnya.
Namun, kata Iskandar, para pihak terkait dalam persoalan penanganan pengungsi internasional, dan pemerintah provinsi Aceh harus secepat mungkin melakukan koordinasi ke pemerintah pusat. Apalagi ada isu mereka adalah pencari suaka.
Artinya pemerintah melalui departemen luar negeri dan penegak hukum lainnya harus merespons cepat, atau melakukan investigasi dan penyelidikan apa yang melatarbelakangi para imigran Rohingnya itu ke Aceh.
"Apakah murni mereka ini sebagai pencari suaka politik atau hanya mereka menjadikan Aceh sebagai daerah transit saja yang kemudian akan masuk ke Malaysia," katanya.
Iskandar menuturkan, berdasarkan catatan serta amatan dirinya melalui media massa, terdapat sejumlah kasus terdamparnya etnis Rohingnya, dan banyak dari mereka yang melarikan diri dari tempat penampungan.
Misalnya, lanjut Iskandar, baru-baru ini di Lhokseumawe di antara mereka banyak yang melarikan diri. Maka ia juga mempertanyakan siapa yang memfasilitasi pelarian mereka, penampung serta kemana tujuan pelariannya, karena itu perlu diusut secara tuntas.
"Apakah benar indikasi misalnya terlibat para sindikat human trafficking, mereka punya agen di Aceh atau di Indonesia, kemudian akan dibawa melalui Sumut dan masuk kembali ke Malaysia mencari kerja. Ini juga harus dilakukan proses penyelidikan lebih lanjut," ujar Iskandar.
Advertisement
Pengungsi Rohingya Sudah 5 Kali Masuk ke Aceh, Komnas HAM Beri Perhatian
Sebelumnya dilaporkan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Aceh memberikan atensi khusus terhadap para pengungsi Rohingya yang sudah berulang kali terdampar ke tanah rencong dalam kurun waktu 2022.
"Komnas HAM juga memberikan atensi khusus terhadap berulang kalinya pengungsi Rohingya memasuki Aceh melalui wilayah perairan," kata Kepala Komnas HAM Perwakilan Aceh Sepriady Utama, di Banda Aceh, Minggu (1/1/2023) dilansir Antara.
Sepriady mengatakan, sepanjang 2022 pengungsi Rohingya telah lima kali memasuki wilayah Aceh. Di antaranya satu kali di Kabupaten Bireuen pada Maret sebanyak 114 orang.
Kemudian, dua kali di Kabupaten Aceh Utara November sebanyak 229 orang, dan masing-masing satu kali di Kabupaten Aceh Besar 57 orang dan Pidie 185 jiwa pada akhir Desember kemarin.
"Sebelumnya pada akhir 2021 warga Rohingya juga terdampar di perairan Kabupaten Aceh Utara. Maka dari itu permasalahan ini juga menjadi atensi kami," ujarnya.
Supriady menyampaikan, Komnas HAM Aceh telah melaksanakan pemantauan lapangan terhadap penanganan pengungsi Rohingya tersebut.
Satgas
Berdasarkan temuan di lapangan dan analisis mendalam sesuai instrumen hukum dan HAM, dalam hal penanganan pengungsi Rohingya, Pemerintah Aceh diminta untuk menerima dan memfasilitasi terkait penanganan sementara pengungsi luar negeri sesuai Perpres Nomor 125 Tahun 2016 tentang penanganan pengungsi dari luar negeri.
Proses penerimaan dan fasilitasi oleh Pemerintah Aceh dibutuhkan dalam rangka menghindari terjadinya tindakan yang bersifat resistensi atas kedatangan dan keberadaan para pengungsi.
"Kami juga merekomendasikan pembentukan satuan tugas (Satgas) penanganan pengungsi luar negeri sebagaimana diamanatkan dalam Surat Edaran Kemendagri Nomor 300/2307/SJ tentang Pembentukan Satgas Penanganan Pengungsi Luar Negeri di provinsi," kata Sepriady.
Dalam kesempatan ini, Sepriady juga menjelaskan bahwa selama 2022 Komnas HAM Aceh telah menangani sebanyak 44 berkas pengaduan masyarakat.
44 kasus tersebut telah ditindak lanjuti sesuai dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Di antaranya melalui mekanisme pemantauan dan penyelidikan serta mekanisme pra mediasi.
Adapun 44 kasus tersebut antara lain terkait hak hidup satu, hak memperoleh keadilan empat, hak atas rasa aman enam kasus (termasuk soal pengungsi Rohingya).
"Kemudian, hak atas kesejahteraan 16 kasus, hak anak 12 kasus, dan bukan kompetensi lima kasus," ujarnya.
Advertisement