China Tolak Masukkan Obat COVID-19 Pabrikan Pfizer dalam Daftar Reimbursement Nasional

Otoritas China mengatakan harga obat COVID-19 Paxlovid terlalu mahal.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 10 Jan 2023, 11:03 WIB
Penumpang mengantre untuk melewati bea cukai setelah tiba di Bandara Internasional Hangzhou Xiaoshan di provinsi Zhejiang timur China (8/1/2023). China mencabut persyaratan karantina untuk pelancong yang datang pada (8/1), mengakhiri isolasi yang diberlakukan sendiri selama hampir tiga tahun bahkan saat negara tersebut berjuang melawan wabah lonjakan kasus Covid. (AFP/STR)

Liputan6.com, Beijing - Otoritas kesehatan China menolak untuk memasukkan obat COVID-19 pabrikan Pfizer dalam daftar reimbursement untuk ditanggung skema asuransi nasional, yang memungkinkan pasien mendapatkannya dengan harga yang lebih murah. Mereka mengatakan harga obat itu terlalu mahal.

Paxlovid, obat oral yang dikembangkan oleh Pfizer, banyak dicari di China sejak negara itu mulai menghapus kebijakan nol-COVID dan gelombang infeksi mulai menyebar ke seluruh negeri. Meskipun seharusnya obat itu diresepkan oleh dokter, orang-orang tetap berusaha mendapatkannya sendiri dengan cara apapun, termasuk dengan membeli obat generiknya versi India melalui internet.

Sementara Paxlovid ditolak masuk daftar reimbursement nasional, Administrasi Keamanan Kesehatan Nasional memasukkan dua obat COVID-19 lainnya, yaitu Azvudine dan campuran herbal Qingfei Paidu Granules dalam daftar yang sama. Kedua obat tersebut pabrikan China. Demikian dikutip dari AP, Selasa (10/1/2023).

Meski demikian, Paxlovid akan tetap tersedia bagi pasien yang mampu membelinya. Paxlovid dan Azvudine adalah obat resep yang digunakan untuk mencegah kasus COVID-19 ringan menjadi lebih parah.

Sementara Beijing telah memblokir impor vaksin non-China, dengan mengandalkan vaksin buatan dalam negeri, pemerintah tetap menyetujui impor obat COVID-19.

China saat ini sedang bergulat dengan gelombang besar COVID-19, di mana kasus menyebar cepat di sejumlah kota-kota besar seperti Beijing dan Chengdu. Minggu (8/1) merupakan hari pertama dalam hampir tiga tahun terakhir, di mana pengunjung tidak perlu lagi dikarantina saat bepergian ke China.


Kerja Sama dengan Pfizer

Para pelancong yang mengenakan masker dengan barang bawaan mereka tiba di Stasiun Kereta Api Barat di Beijing, Jumat (6/1/2023). China berupaya meminimalkan kemungkinan wabah COVID-19 yang lebih besar selama kesibukan perjalanan Tahun Baru Imlek bulan ini menyusul berakhirnya sebagian besar langkah-langkah pencegahan pandemi. (AP Photo/Wayne Zhang)

Pfizer mengungkapkan, pihaknya terus bekerja sama dengan otoritas China untuk mengirimkan obat COVID-19 mereka. Hal tersebut disampaikan Chief Executive Officer Albert Bourla dalam wawancaranya dengan CNBC pada Senin.

Februari tahun lalu, China telah menyetujui penggunaan Paxlovid untuk merawat pasien berisiko tinggi di sejumlah provinsi. Sementara itu, Pfizer dilaporkan telah mencapai kesepakatan untuk mengekspor Paxlovid ke China melalui perusahaan lokal agar ketersediaan obat itu meluas.

"Kami mengirimkan Paxlovid sebanyak yang kami bisa," ungkap Bourla yang tidak menyebut jumlah obat yang dikirimkan ke China.

Sebuah laporan menyebutkan bahwa China telah melakukan pembicaraan dengan Pfizer untuk mendapatkan lisensi yang akan memungkinkan pabrikan dalam negeri memproduksi dan mendistribusikan Paxlovid versi generik.


Obat Baru VV116

Pasien Covid-19 di tempat tidur di Rumah Sakit Tianjin Nankai di Tianjin (28/12/2022). Kota-kota di seluruh China berjuang melawan lonjakan infeksi, mengakibatkan kekurangan obat-obatan dan bangsal rumah sakit serta krematorium yang meluap setelah Beijing tiba-tiba membongkar kuncian nol-Covid dan rezim pengujian. (AFP/Noel Celis)

Di lain sisi, Beijing menggembar-gemborkan obat baru menjanjikan, yakni VV116. Digambarkan sebagai "produk unggulan asal China", uji klinis komparatif fase 3 yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine menyimpulkan bahwa VV116 sama efektifnya dengan Paxlovid, bahkan dengan efek samping yang lebih rendah.

Studi terkait VV116 yang dirilis pada 28 Desember mengatakan bahwa obat China itu "non-inferior" dibandingkan nirmatrelvir-ritonavir atau Paxlovid, dengan masalah keamanan yang lebih sedikit.

"Obat (VV116) dapat mengganggu replikasi virus, mengurangi jumlah virus, dan dapat digunakan untuk mengobati penyakit," kata Shin-Ru Shih, direktur dan profesor terkemuka di Research Center for Emerging Viral Infections di Chang Gung Universitas di Taiwan.

Apa yang disampaikan Shin-Ru Shih itu selaras dengan prinsip Paxlovid, yang saat ini digunakan di banyak negara.

Surat kabar milik pemerintah China, People's Daily, pada 29 Desember 2022 melaporkan bahwa uji coba VV116 adalah studi pertama tentang obat COVID-19 yang dikembangkan China yang diterbitkan oleh New England Journal of Medicine.

"Kami berani membandingkan secara langsung kemanjuran obat yang dikembangkan di dalam negeri dengan Paxlovid, yang merupakan tantangan dan terobosan yang berani," kata Xu Huaqiang, seorang peneliti di Shanghai Institute of Materia Medica, Chinese Academy of Sciences kepada People's Daily.


Keprihatinan Atas COVID-19 China

Pasien menerima infus di bangsal darurat sebuah rumah sakit di Beijing, Kamis (5/1/2023). Pasien, kebanyakan dari mereka lansia, berbaring di tandu di lorong dan menerima oksigen sambil duduk di kursi roda saat kasus COVID-19 melonjak di ibu kota China, Beijing. (AP Photo/Andy Wong)

Sementara VV116 tengah menjalani uji coba yang memakan waktu lama, para epidemiolog meyakini bahwa China tetap harus menggunakan obat yang sudah ada sementara waktu mengingat lonjakan kasus yang terjadi.

Komisi Kesehatan Nasional China telah berhenti menerbitkan laporan harian tentang kematian akibat COVID-19 pada 25 Desember. Per 2 Januari, jumlah kematian resmi akibat COVID-19 di China adalah 5.253 sejak pandemi dimulai pada Januari 2020. Populasi China sendiri mencapai lebih dari 1,4 miliar orang pada tahun 2021.

Menurut perkiraan yang diterbitkan 28 Desember oleh Airfinity, sebuah firma riset di London yang berfokus pada analitik kesehatan prediktif, infeksi COVID-19 di China akan mencapai puncak pertama pada 13 Januari 2023, dengan 3,7 juta kasus per hari. Adapun kematian diperkirakan mencapai puncaknya 10 hari kemudian, yakni sekitar 25.000 per hari. Demikian seperti dilansir VOA.

Dokter penyakit menular Amerika Serikat yang juga cendekiawan senior di Johns Hopkins Center Amesh Adalja mengatakan, "Pemerintah China mampu dan harus meningkatkan akses ke Paxlovid bagi individu berisiko tinggi untuk mempertahankan kapasitas rumah sakit mereka dan meminimalkan kematian."

Infografis Pelancong China Wajib Tes Covid-19 (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya