Liputan6.com, Jakarta - Jumlah Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang sudah terintegrasi dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) di Kartu Tanda Penduduk (KTP) telah mencapai 53 juta nomor. Masih ada sekitar 16 juta wajib pajak (WP) yang belum mengintegrasrikan NPWP dengan NIK.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Suryo Utomo menjelaskan, proses integrasi NIK dengan NPWP ini dilakukan secara bertahap. Oleh karena itu DJP tidak akan menghapus NPWP atau dalam artian masih bisa digunakan sebagai nomor identitas wajib pajak.
Advertisement
"NPWP masih bisa dipakai, masih kita coba pelihara terus," kata Suryo di kantor Ditjen Pajak, Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (10/1/2023).
Suryo menjelaskan penggunaan NIK sebagai pengganti NPWP sebenarnya untuk memudahkan proses administrasi. Sehingga dalam pengelolaan sistem administrasi lebih teratur dan tidak menghilangkan hak dan kewajiban.
"Jadi NIK bukan membuat sesuatu bertambah atau berkurang dan kewajiban dalam hal perpajakan," kata dia.
Dia mengatakan penggunaan NIK dipakai sebagai common identifier dalam sistem administrasi. Mengingat penggunaan NIK hampir digunakan untuk berbagai keperluan seperti membuka rekening di bank, mengurus perizinan, mendaftar sekolah dan sebagainya.
"Kami menyadari dalam setiap sisi kehidupan, kita sebagai masyarakat WNI pada saat kita urus apapun juga yang digunkan adalah NIK," kata dia.
Selain itu, penggunaan NIK sebagai NPWP juga akan memudahkan masyarakat. Mereka tidak perlu membawa banyak kartu atau menghapal banyak nomor identitas.
"Supaya di dompet kita yang disimpan satu saja nomornya yaitu NIK dan tidak perlu hapal banyak nomor," kata dia.
Indonesia Ketinggalan Integrasikan NPWP dan NIK Dibanding Negara Lain
Sebelumnya, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, mengatakan Indonesia cukup ketinggalan dalam penerapan nomor induk Kependudukan (NIK) menjadi nomor pokok wajib pajak (NPWP). Sebab, di negara lain sudah lebih dulu mengintegrasikan kedua hal tersebut.
"Kalau kita cermati dari awal, berarti kan Indonesia ini sudah cukup agak ketinggalan dalam menerapkan integrasi NIK dan NPWP di negara lain sudah jauh lama Social Security number (SSN) dilakukan di berbagai negara yang lain," kata Yon Arsal dalam Podcast Cermati DJP "Kilas Balik 2022", Kamis (29/12/2022).
Dia menjelaskan, dalam teori kepatuhan dibagi menjadi dua, yakni kepatuhan sukarela wajib pajak (voluntary compliance) dan kepatuhan yang dipaksa (enforced compliance). Kedua hal ini memberikan peran yang seimbang dalam perpajakan.
"Dua-duanya akan memberikan peran yang seimbang. Kan tidak bisa semuanya diperiksa juga, karena kan memang wajib pajak dididik untuk lebih voluntery dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Nah salah satu faktor yang menyebabkan wajib pajak voluntary atau tidak itu ya secara teori salah satunya adalah seberapa besar administration cost yang harus ditanggung," ujarnya.
Menurutnya, dengan mengintegrasikan NIK jadi NPWP memberikan manfaat bagi wajib pajak maupun bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selaku administrator.
Salah satu manfaatnya, wajib pajak tidak perlu membawa banyak kartu dalam dompetnya, sementara bagi DJP bisa memberikan pelayanan yang optimal kepada wajib pajak.
"Nah, ini cara kita sebenarnya untuk kita memudahkan wajib pajak memberikan fasilitas kemudahan. Kan orang harus punya NIK dan NPWP banyak kartu di kantongnya dia. Kalau dengan ini kan cukup dengan NIK sudah bisa menjawab kebutuhan perpajakan. Sehingga ini menjadi salah satu kunci," ujarnya.
Advertisement
Intergrasi
Selain itu, dari sisi Direktorat Jenderal Pajak selaku administrator tentu menjadi bagian yang krusial, karena semua data menjadi lebih rapih dan terintegrasi, sehingga dalam proses memadankan data, pengawasan dan pemberian pelayanan kepada wajib pajak menjadi lebih mudah dilakukan.
"Jadi, saya pikir baik dari sisi wajib pajak maupun dari sisi DJP salah satu administrator pajak ini menjadi sesuatu yang signifikan, sangat pentinglah perubahan ini sesuatu yang sebenarnya kita dan benda bahkan dan kita cita-citakan sejak dulu," ujarnya.
Lebih lanjut, Yon Arsal menegaskan, dengan diintegrasikannya NIK menjadi NPWP, bukan berarti semua masyarakat yang memiliki NIK harus membayar pajak. Artinya, masih banyak masyarakat yang belum paham mengenai hal ini. Namun, Kementerian Keuangan melalui DJP terus gencar melakukan sosialisasi.
"Waktu itu kita sadari memang perlu waktu untuk mensosialisasikan, dan pada akhirnya bisa dipahami oleh masyarakat bahwa mempunyai NIK tidak serta merta harus bayar pajak. Karena kan tentu ada kewajiban subjektif dan kewajiban objektif. Kalau tidak punya objeknya kan tidak perlu bayar pajak juga," pungkasnya.