Suram Resesi Kian Dekat, Bank Dunia Pangkas Ramalan Ekonomi Global 2023 jadi 1,7 Persen

Bank Dunia memangkas perkiraan pertumbuhan PDB global menjadi 1,7 persen tahun ini.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 11 Jan 2023, 11:10 WIB
Deretan gedung bertingkat terlihat dari jendela gedung pencakar langit di kawasan Jakarta, Kamis (2/5/2019). Sebagian besar atau 42 persen dari gedung-gedung pencakar langit memiliki ketinggian di atas 150 meter umumnya digunakan untuk perkantoran. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Dunia memangkas ramalan pertumbuhan ekonomi global di 2023 menyusul dampak kenaikan suku bunga bank sentral besar, perang Rusia-Ukraina yang masih berlangsung serta lonjakan inflasi di berbagai negara.

Lembaga keuangan internasional itu juga memperingatkan bahwa resesi semakin dekat.

"Mengingat kondisi ekonomi yang rapuh, setiap perkembangan baru yang merugikan - seperti inflasi yang lebih tinggi dari perkiraan, kenaikan suku bunga yang tiba-tiba untuk menahannya, kebangkitan pandemi COVID-19 atau meningkatnya ketegangan geopolitik - dapat mendorong ekonomi global ke dalam resesi, " kata bank dalam pernyataan yang menyertai laporan tersebut, dikutip dari Channel News Asia, Rabu (11/1/2023).

Bank Dunia memangkas perkiraan pertumbuhan PDB global menjadi 1,7 persen tahun ini. Angka itu merupakan laju paling lambat di luar resesi pada tahun 2009 dan 2020 sejak 1993.

Dalam laporan Prospek Ekonomi Global Bank Dunia sebelumnya pada Juni 2022, ekonomi global 2023 diperkirakan akan tumbuh sebesar 3,0 persen. .

Selain itu, Bank Dunia juga memprediksi akan adanya elambatan besar di negara maju, termasuk pemangkasan tajam perkiraan ekonomi AS menjadi 0,5 persen dan zona euro, yang diramal bisa mengalami resesi kurang dari tiga tahun setelah yang terakhir.

"Kelemahan dalam pertumbuhan dan investasi bisnis akan memperparah pelemahan yang sudah memburuk di bidang pendidikan, kesehatan, kemiskinan dan infrastruktur serta tuntutan yang meningkat dari perubahan iklim," ujar Presiden Bank Dunia David Malpass.


Bank Dunia : Lonjakan Inflasi Mulai Mereda, Tapi Masih Ada Risiko Gangguan Pasokan

Suasana gedung pencakar langit di Jakarta, Selasa (15/11/2022). Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi salah satu yang terbaik di antara negara G20. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Bank Dunia juga mencatat bahwa beberapa tekanan inflasi mulai mereda menjelang akhir tahun 2022, dengan harga energi dan komoditas yang lebih rendah, tetapi memperingatkan risiko gangguan pasokan baru tinggi, dan inflasi inti yang meningkat dapat bertahan.

Masalah ini dapat menyebabkan bank sentral merespons dengan menaikkan suku bunga kebijakan lebih dari yang diperkirakan, memperburuk perlambatan global.

Dengan demikian, Bank Dunia dalam laporan terbarunya menyerukan adanya peningkatan dukungan dari komunitas internasional untuk membantu negara-negara berpenghasilan rendah menghadapi guncangan pangan dan energi, masyarakat yang terlantar akibat konflik, dan meningkatnya risiko krisis utang.

Dikatakan bahwa pembiayaan dan hibah konsesi baru diperlukan bersamaan dengan pemanfaatan modal swasta dan sumber daya domestik untuk membantu meningkatkan investasi dalam adaptasi iklim, modal sumber daya manusia dan kesehatan.

Laporan terbaru ini keluar saat dewan Bank Dunia diperkirakan akan mempertimbangkan "peta jalan evolusi" baru bagi lembaga tersebut untuk memperluas kapasitas pinjamannya dalam upaya mengatasi perubahan iklim dan krisis global lainnya.

Rencana tersebut akan memandu negosiasi dengan pemegang saham, yang dipimpin oleh Amerika Serikat, untuk perubahan tbesar dalam model bisnis bank tersebut sejak pembentukannya pada akhir Perang Dunia II.


Tenang, Indonesia Tak Akan Resesi di 2023

Pekerja kantoran melintas di pelican cross kawasan Jalan Thamrin, Jakarta, Kamis (5/1/2023). Pencabutan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dinilai untuk menggenjot ekonomi Indonesia 2023 yang diproyeksi suram akibat resesi global. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati optimis ekonomi Indonesia di 2023 tidak mengalami resesi. Menyusul, proyeksi terbaru Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) yang memprediksi sepertiga dunia akan mengalami resesi di tahun ini.

"IMF baru saja memprediksi sepertiga dari ekonomi dunia akan kemungkinan terkena resesi. Kita (Indonesia) tidak termasuk yang sepertiga, InsyaAllah," ujar Sri Mulyani dalam acara Apresiasi Media Nagara Dana Rakca di Jakarta, ditulis Sabtu (7/1/2022).

Sri Mulyani menerangkan, optimisme tersebut berkaca dari terjaganya laju pertumbuhan ekonomi nasional di zona positif. Per kuartal III-2022, ekonomi Indonesia mampu tumbuh sebesar 5,72 secara year on year (yoy).

"Kita selalu menyampaikan bahwa pemulihan ekonomi kita kuat sampai dengan kuartal III-2022," jelas Sri Mulyani.

Di kuartal IV-2022, Sri Mulyani optimis ekonomi Indonesia juga mampu tumbuh di kisaran 5 persen secara tahunan. Sehingga, untuk keseluruhan tahun 2022 ekonomi Indonesia bisa tumbuh di atas 5 persen.

"Total di 2022 kita bisa tumbuh di atas 5 persen," ucap Sri Mulyani.

Meski begitu, dirinya berjanji akan terus waspada menyikapi berbagai tantangan yang dihadapi ekonomi Indonesia di tahun 2023. Khususnya terkait tahun politik hingga ketidakpastian ekonomi global yang masih tinggi.

"Di 2023 tantangan harus kita jaga, tapi ada optimisme dan kewaspadaan," tegas Sri Mulyani.


Eks Bos The Fed: Resesi Lahir Hasil Suku Bunga Agresif Naik

Ilustrasi the Federal Reserve (Brandon Mowinkel/Unsplash)

Mantan Ketua Bank Sentral AS atau Federal Reserve (The Fed) Alan Greenspan mengungkapkan bahwa dirinya melihat resesi Amerika akan menjadi hasil yang paling memungkinkan dari kenaikan suku bunga agresif untuk mengekang inflasi.

Meski data inflasi AS dalam dua bulan terakhir sudah menunjukkan perlambatan, Greenspan menyebut, kabar baik itu belum cukup untuk meyakini resesi akan terhindari.

"Saya tidak berpikir itu akan menjamin pembalikan Fed yang cukup substansial untuk menghindari setidaknya resesi ringan," kata Greenspan, dikutip dari CNN Business, Kamis (5/1/2023).

Greenspan, yang sekarang menjadi penasihat ekonomi senior untuk Advisors Capital Management, meragukan The Fed akan segera melonggarkan suku bunga karena "inflasi bisa naik lagi dan kita akan kembali ke titik awal".

"Selain itu, ini berpotensi merusak kredibilitas Federal Reserve sebagai penyedia harga yang stabil, terutama jika tindakan tersebut terlihat hanya diambil untuk melindungi pasar saham daripada sebagai tanggapan terhadap kondisi keuangan yang benar-benar tidak stabil," ujarnya, dalam komentar yang dirilis di situs web perusahaan pada Selasa (3/1/2022).

Seperti diketahui, The Fed telah menaikkan suku bunga sebanyak tujuh kali pada 2022 lalu hingga di kisaran 4,25 persen -4,5 persen, tertinggi sejak 2007.

Proyeksi yang dirilis selama pertemuan kebijakan moneter pada Desember 2022 juga menunjukkan pejabat The Fed masih berharap untuk menaikkan suku bunga dengan poin persentase lainnya.

Tetapi Greenspan masih melihat beberapa kabar baik bagi investor. Dia memprediksi, pasar tidak akan serumit tahun lalu di 2023 ini.

"Saya percaya 2022 menjadi tahun yang sulit untuk mencapai puncak sehubungan dengan volatilitas pasar," katanya.

Sebagai informasi, Greenspan menjabat sebagai ketua Fed lima periode di bawah kepepimpinan empat presiden AS yang berbeda antara tahun 1987 dan 2006. 

Dalam 12 bulan setelah Februari 1994, The Fed berhasil mencapai soft landing ketika Greenspan menaikkan suku bunga hampir dua kali lipat menjadi 6 persen dan menjaga ekonomi AS terhindar dari resesi.

Infografis IMF Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Baik (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya