Liputan6.com, Purbalingga - Presiden keempat, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dikenal dengan kampanyenya soal toleransi dan keberagaman. Gus Dur adalah sosok yang mengejawantahkan toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan bukan hanya simbol belaka.
Demikian salah satu pesan yang disampaikan oleh budayawan Banyumas, Ahmad Tohari, yang mengisi tausiyah pada acara Tasyakuran Memperingati Hari Amal Bhakti (HAB) ke-77 Kemenag Purbalingga Tahun 2023, Selasa (10/1/2023).
Baca Juga
Advertisement
"Keberagaman yang menjadi harta berharga bangsa Indonesia harus dijaga dan jangan hanya menjadi simbolik," kata Ahmad Tohari, di Pendapa Dipokusumo Purbalingga.
Dia mengatakan, keberagaman jangan sampai hanya menjadi jargon. Lebih dari itu, toleransi harus diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari.
Menurutnya, toleransi antar-umat beragama yang didengungkan harus diterapkan di tengah bangsa sehingga kehidupan bernegara menjadi tidak tegang dan bisa menjadi modal membangun bangsa dan negara lebih maju.
“Kalau seperti yang dikatakan Gusdur, jangan tegang bernegaranya dan harus menjunjung tinggi toleransi antar-umat beragama,” dia menjelaskan.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Moderasi Agama
Senada, Asisten Pemerintahan dan Kesra Sekda Purbalingga, R. Imam Wahyudi menyebutkan sinergitas antara Kantor Kemenag Purbalingga dan Pemkab Purbalingga bisa menciptakan toleransi beragama di wilayah Kabupaten Purbalingga.
Moderasi beragama yang dijalankan dan digerakkan oleh Kankemenag, FKUB serta pihak lain mampu menjadikan Purbalingga tetap saling menghargai dalam sisi keberagaman agama.
“Moderasi yang kemudian menjaga keberagaman adalah ruh Pancasila dan UUD 1945 sehingga kami mendukung apa yang dilakukan Kankemenag Purbalingga,” ujarnya.
Mewakili Kepala Kankemenag Purbalingga, Kasubag TU Sarif Hidayat dalam laporannya pada acara yang dihadiri Forkopimda menuturkan bahwa peran Kemenag khususnya di Kabupaten Purbalingga sudah terasa bahkan sejak zaman revolusi kemerdekaan RI.
Dia mencontohkan dulu saat masa friksi kemerdekaan banyak pergolakan yang menyebabkan warga harus mengungsi ke tempat yang lebih aman. Namun, para penghulu tetap melaksanakan tugasnya dengan baik dan ikut melakukan pergerakan ke daerah pengungsian.
“Kenapa jumlah KUA di Purbalingga 20 padahal Kecamatannya hanya 18.? Itu konon, khususnya di daerah Mrebet penghulunya ikut ngungsi saat masa kemerdekaan untuk menikahkan warga sehingga dibangun KUA sekalian disitu,” kata Sarif.
Tim Rembulan
Advertisement