ASEAN Gagap di Myanmar, Piagam ASEAN Harus Revisi?

Pakar hubungan internasional menilai pentingnya revisi di Piagam ASEAN agar bisa menuntaskan krisis internal.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 11 Jan 2023, 20:30 WIB
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dalam Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri 2023 (PPTM 2023). (Liputan6.com/R. Trimutia Hatta)

Liputan6.com, Jakarta - Masalah di Myanmar masih terus memberikan dampak pada Asia Tenggara di 2023. ASEAN yang sedang sibuk ingin diakui dunia sebagai kekuatan sentral di kawasan juga tak kunjung memberikan dampak positif.

Akibatnya, masalah terus menggunung. Dunia menyaksikan persekusi kepada etnis Rohingya, kemudian kudeta Aung San Suu Kyi, bangkitnya junta militer, dan kini etnis Rohingya berusaha pindah ke negara-negara lain, termasuk ratusan yang tiba di Indonesia pada 2022-2023.

Solusi dari ASEAN adalah Konsensus Lima Poin (Five-Point Consensus) yang akhirnya diakui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sebagai tidak efektif di Myanmar.

"Implementasi 5PC oleh junta militer Myanmar tidak mengalami kemajuan signifikan," ujar Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi pada Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri (PPTM) tahun 2023, Rabu (11/1/2023). 

Pakar hubungan luar negeri dari CSIS, Lina Alexandra, menyorot bahwa ASEAN memang gagap di masalah Myanmar. Ia pun menyorot potensi dari revisi Piagam ASEAN. 

"Untuk membuat ASEAN lebih relevan, lebih kredibel, dan sebagainya, terutama dalam menghadapi krisis-krisis internal dari ASEAN," ujar Lina Alexandra pada media briefing di markas CSIS, Jakarta.

Salah satu isi Piagam ASEAN adalah prinsip non-interference, sehingga ASEAN tak bisa ikut campur urusan internal suatu negara. Lina menyebut prinsip itu penting untuk hubungan luar negeri, namun perlu adanya mekanisme khusus untuk menangani krisis seperti di Myanmar. 

"Piagam ASEAN itu mencantumkan prinsip-prinsip ASEAN, democracy, rule of law, good governance, promotes and protection of human rights. Bagaimana kalau kemudian ada negara anggota yang secara jelas melakukan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ASEAN. Apa yang kemudian dapat dilakukan?" jelas Lina.

Akibatnya, ketika ada pengambilalihan kekuasaan secara inkonstitusional seperti di Myanmar, lantas  "ASEAN gagap" karena tidak memiliki klausul khusus di piagamnya untuk menuntaskan krisis regional tersebut. 


Masalah Kredibilitas

Ilustrasi (AFP)

Lebih lanjut, Lina menegaskan bahwa ASEAN perlu memiliki mekanisme untuk menuntaskan krisis internal pada anggotanya. Pasalnya, ini terkait dengan kredibilitasnya sebagai organisasi. 

Pada kasus Myanmar, Lina melihat bahwa ASEAN berusaha mengalihkan kasus ini kepada ASEAN Summit, tetapi itu tidak efektif. 

"Itu kan kita lihat menjadi sangat tidak efektif untuk menunjukkan relevansi ASEAN," ujar Lina.

Ia lantas menegaskan bahwa prinsip non-interference agar tetap menjadi suatu pegangan, namun perlu ada tools untuk menghadapi krisis di dalam negara anggota ASEAN.

"Prinsip non-interference sendiri tetap harus menjadi pegangan bersama. Tetapi ketika mengadapi suatu krisis regional yang sangat krusial yang mengancam kredibilitas, relevansi dari organisasi, nah ini bagaimana menghadapi hal-hal seperti itu? Bagaimana ASEAN bisa punya tools untuk itu? Dan itu tidak ada kita lihat," jelasnya.

Saat ini, ASEAN hanya memiliki mekanisme seperti settlement, namun Lina berkata itu hanya berlaku ketika ada masalah antar-negara, bukan krisis internal suatu negara. 

Pada 2023 ini, Indonesia memegang keketuaan ASEAN. Menlu Retno Marsudi dalam pidatonya berkata Indonesia memberikan rekomendasi penguatan Kapasitas dan Efektivitas Kelembagaan ASEAN, membuat Core Elements Visi ASEAN pasca-2025, serta peningkatan kemitraan ASEAN-Amerika Serikat.


Dewan Keamanan PBB Keluarkan Resolusi Desak Myanmar Bebaskan Aung San Suu Kyi

Para tahanan yang dibebaskan dari Penjara Insein melambaikan tangan kepada kolega dan anggota keluarga mereka dari bus di Yangon, Myanmar, Rabu (4/1/2023). Junta militer Myanmar mengumumkan pembebasan lebih dari 7.000 narapidana (napi) dalam rangka memperingati 75 tahun Hari Kemerdekaan dari Inggris. (AP Photo)

Sebelumnya dilaporkan, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) mengelurkan resolusi pertama mengenai situasi di Myanmar yang diadopsi sejak kudeta terjadi pada Februari 2021. Resolusi itu mendesak junta militer untuk membebaskan mantan pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi. 

Resolusi tersebut menyatakan, "keprihatinan yang mendalam atas keadaan darurat yang sedang berlangsung yang diberlakukan oleh kelompok militer di Myanmar."

Resolusi itu diadopsi dengan dukungan 12 dari 15 anggota Dewan Keamanan PBB, di mana Rusia, China dan India abstain dalam pemungutan suara. Resolusi itu juga menuntut "segera diakhiri segala bentuk kekerasan" di seluruh Myanmar. 

Dewan Keamanan PBB dalam resolusinya pun meminta junta "untuk segera membebaskan semua tahanan yang ditahan secara sewenang-wenang," termasuk Suu Kyi, yang sebelumnya menjabat sebagai penasihat negara dan menteri luar negeri Myanmar.

Peraih Nobel Perdamaian berusia 77 tahun itu telah dijatuhi hukuman penjara selama 26 tahun atas tuduhan korupsi dan tuduhan lainnya. Dia dipenjara di Naypyitaw.

Kyaw Moe Tun, yang ditunjuk sebagai Duta Besar Myanmar untuk PBB sebelum kudeta dan tetap menjadi wakil yang diakui meskipun junta berusaha memecatnya, menyambut baik adopsi resolusi Dewan Keamanan tersebut. Berbicara setelah pemungutan suara, dia juga meminta Dewan Keamanan untuk mengambil "tindakan yang lebih kuat untuk memastikan junta militer dan kejahatannya segera berakhir".

Inggris memimpin upaya penyusunan Resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai Myanmar itu. Duta Besar Inggris untuk PBB Barbara Woodward mengatakan dalam sebuah pernyataan, "Kami mendukung rakyat Myanmar. Sudah waktunya junta mengembalikan negara kepada rakyat."


Jokowi dan PM Anwar Ibrahim Desak Myanmar Terapkan 5 Poin Konsensus

Presiden Joko Widodo (kanan) bersama Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim melambaikan tangan di veranda Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (9/1/2023). Presiden Joko Widodo menerima kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim di Istana Bogor. (AP Photo/Achmad Ibrahim)

 Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan Perdana Menteri (PM) Anwar Ibrahim juga mendesak junta militer Myanmar mengimplementasikan 5 poin konsesus. Hal ini disampaikan Jokowi usai bertemu PM Anwar di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (9/1/2023).

"Mengenai Myanmar, Indonesia dan Malaysia memiliki pandangan yang sama tentang pentingnya pelaksanaan five point consensus. Kita sepakat mendesak junta militer Myanmar untuk mengimplementasikan five point concensus," kata Jokowi dalam konferensi pers di Istana Bogor, Senin.

Sementara itu, PM Anwar Ibrahim menyampaikan bahwa implementasi lima poin konsesus merupakan upaya terbaik menyelesaikan masalah krisis kemanusiaan di Myanmar. Hal ini, kata dia, demi kesejahteraan masyarakat di Myanmar.

"Usaha melaksanakan persetujuan ini perlu diteruskan selaras dengan keputusan para Pemimpin ASEAN di Sidang Kemuncak ASEAN pada November tahun lalu," katanya.

"Pihak berkuasa tentera Myanmar digesa memberikan komitmen sepenuhnya dalam melaksanakan Kemuafakatan Lima Perkara ini secara segera dan bermakna demi kesejahteraan rakyat Myanmar," sambung PM Anwar Ibrahim.

Sebagai informasi, PM Malaysia Anwar Ibrahim melakukan kunjungan resmi pertama keluar negeri selama dua hari ke Indonesia pada 8 hingga 9 Januari 2022 atas undangan Presiden RI Joko Widodo.

Ini merupakan kunjungan perdana Anwar Ibrahim usai dilantik menjadi PM Malaysia pada November 2022.

Infografis Penangkapan Aung San Suu Kyi dan Kudeta Militer Myanmar. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya