Liputan6.com, Jakarta Secara global saat ini krisis mengancam bumi dan manusia yang dijabarkan dalam "Triple Planetary Crises". Perubahan iklim yang berdampak hingga 75 persen populasi global, polusi dan hilangnya keanekaragaman hayati di tengah wabah COVID-19 serta ketidak seimbangan politik tersebut mengancam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.
"Identifikasi dampak hilangnya keanekaragaman hayati menunjukkan penurunan luas tutupan hutan dan menyusutnya luas habitat spesies kunci di Indonesia," ungkap Erik Armundito, Koordinator Keanekaragaman Hayati Bappenas saat diskusi bertajuk "Mengukur Keanekaragaman Hayati untuk Transfer Fiskal Berbasis Teknologi", di Gedung Perpustakaan Nasional, Selasa, 10 Januari 2023.
Baca Juga
Advertisement
Satwa khas Indonesia seperti Gajah Sumatera bahkan berkurang hingga 59 persen, Orangutan Borneo dengan tiga subspesies berkurang 21 persen, begitu juga Anoa hingga 24 persen dan hewan lainnya seperti Badak Jawa dan Harimau Sumatera. Untuk itu menurut Eric, diperlukan komitmen Indonesia dalam pengelolaan keanekaragaman hayati pasca 2020.
Lebih lanjut ia mengatakan, pemerintah melalui Bappenas pun memasukan keanekaragaman hayati (kehati) dalam perumusan rencana jangka panjang sehingga ada payung hukum dan perencanaan untuk menjadikannya prioritas. Saat ini Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang tengah dirumuskan mencakup 2026--2045 yaitu untuk 20 tahun ke depan.
"Pada 2021, alokasi APBN untuk Kehati hanya 0,81 persen dari total belanja. Pendanaan untuk Kehati secara global 100 juta dolar AS per tahun, sementara kebutuhan pendanaan untuk Kehati pasca 2020 adalah 800 juta dolar AS per tahun. Sementara kebutuhan pendanaan kehati dihitung pada 8 target nasional setidaknya membutuhkan Rp167 trilyun," jelas Erik.
Pemerintah melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pun merancang komersialisasi Kehati melalui bioprospeksi. Kepala ORKM, BRIN, Prof. Ocky Karna Rajasa mengungkapkan pemerintah bisa melihat prospek nilai ekonomi keanekaragaman hayati sebagai satu solusi untuk pendanaan.
Seperti proyek jamur morel yang mengandung senyawa anti tumor, anti oksidan dan anti radang yang memiliki harga tinggi di pasar internasional, harganya mencapai Rp6 juta per kilogram. Begitu juga dengan paclitaxel untuk pengobatan kanker payudara dan kanker serviks yang memberikan penghasilan hingga 1,5 miliar dolar AS per tahun bagi produsen obat Bristol-Myers Squibb.
Ecological Fiscal Transfer
Dalam Living Planet Report 2022 yang didapat dari data 1970 hingga 2018 diketahui, perubahan rata-rata dalam kehati dari 31.821 populasi, mewakili 5.230 spesies yang dipantau di seluruh dunia mengalami penurunan sebesar 69 persen. Secara geografis, Asia Tenggara, khususnya Indonesia, merupakan kawasan dengan tingkat spesies yang terancam tinggi (nilai kepentingan relatif tinggi) oleh pertanian, perburuan dan perangkap, penebangan, polusi, spesies invasif dan perubahan iklim pada tingkat yang signifikan.
Lebih jauh melalui Bappenas, Erik mengatakan strategi finansial yang berkelanjutan dan inovatif bisa mendukung pengelolaan lingkungan hidup untuk mengatasi krisis kehati. Salah satu yang diinisiasi adalah Ecological Fiscal Transfer (EFT). Provinsi Jawa Tengah pun akan dijadikan sebagai Pilot Ecological Fiscal Transfer dengan muatan keanekaragaman hayati Provinsi Jawa Tengah berpotensi dalam implementasi EFT.
Alsannya karena Provinsi Jawa Tengah merupakan 25,04 persen dari luas Pulau Jawa. Jawa tengah memiliki keanekaragaman mulai dari pesisir, pegunungan dan memiliki ancaman bencana banjir rob, bahkan gunung berapi. Dengan penduduk 36,7 juta jiwa di tahun 2021 dan 29 kabupaten, Rawa Pening merupakan salah satu dari 15 Danau Prioritas Nasional. Provinsi Jawa Tengah memiliki tutupan hutan lindung seluas 168 ribu ha di tahun 2021.
Advertisement
Kolaborasi Periset
Sementara itu, mengutip dari kanal Bisnis Liputan6.com, 19 Oktober 2022, pemerintah Indonesia melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyadari salah satu krisis dan tantangan yang dihadapi di tingkat global saat ini adalah hilangnya keanekaragaman hayati atau biodiversity lost. Untuk mengatasi tantangan tersebut, kolaborasi antara periset di tingkat global sangat diperlukan.
Oleh karena itu, BRIN memanfaatkan momentum Presidensi G20 Indonesia untuk meningkatkan kolaborasi riset dan inovasi antar negara-negara G20. Rancangan kolaborasi ini disusun oleh BRIN bersama negara anggota G20, melalui pelaksanaan Research and Innovation Initiative Gathering (RIIG) yang dilakukan tiga kali. Hingga kini sudah dilaksanakan RIIG dua kali, dan RIIG ketiga akan digelar pada 27 Oktober 2022.
Plt. Deputi Fasilitasi Riset dan Inovasi BRIN, Agus Haryono, selaku Chair G20 RIIG, menyampaikan bahwa pada RIIG pertama BRIN membahas tentang topik-topik yang disepakati di negara-negara G20 yaitu memanfaatkan biodiversitas di dunia.
"Tidak hanya di Indonesia tapi juga di dunia secara berkelanjutan. Waktu itu kita membahas pemanfaatannya untuk kesehatan, energi, pangan dan climate change," sebut Agus dalam konferensi pers ‘Digital, Blue and Green Economy’ secara hybrid, Rabu (19/10/2022).
Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati
Adapun di pertemuan kedua, BRIN membahas bagaimana mekanisme kerja sama pemanfaatan Keanekaragaman hayati di dunia terkait dengan pendanaannya, skema penggunaan fasilitas bersama, dan kolaborasi antar negara-negara G20.
"Setelah kita melakukan pertemuan intersesi, kita telah melakukan 3 interseksi. Intersesi ketiga nanti dilakukan tanggal 27 Oktober untuk membahas ministerial declaration, sehingga nanti ada deklarasi tingkat menteri, dan untuk Indonesia diwakili Kepala BRIN untuk mendeklarasikan kolaborasi riset serta inovasi khususnya dalam pemanfaatan biodiversitas dunia,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengungkapkan, dilakukan pertemuan RIIG sebagai upaya BRIN untuk menjadikan Indonesia sebagai representasi riset dan inovasi. BRIN ingin menjadikan Indonesia hub kolaborasi riset dan inovasi.
"Kita ingin menjadikan Indonesia hub kolaborasi, tertentu tidak bisa semua bidang, oleh karena itu kita ingin memanfaatkan potensi lokal kita sebagai pusat biodiversitas,” ujarnya.
Kepala BRIN mengungkap, masa depan riset dan masa depan teknologi bukan lagi mengacu pada elektronik, dan TIK. Karena itu sudah menjadi pengaturan standar, sebab semua orang yakin masa depan riset dan teknologi terletak di Bioteknologi.
Advertisement