Liputan6.com, Jakarta Tahun 2022 yang baru saja lewat menyisakan sejumlah catatan menarik bagi Joko Anwar. Menengok tangga box office lokal, dari 15 film Indonesia terlaris, 10 di antaranya bergenre horor.
Film KKN di Desa Penari bertengger di posisi puncak dengan 10 juta penonton lebih. Pengabdi Setan 2: Communion membayangi di peringkat runner-up bersama lebih dari 6,39 juta penonton.
Bahkan dari peringkat ke-9 hingga 15, diisi film horor lokal lainnya seperti The Doll 3, Qodrat, Jailangkung: Sandekala, Qorin, Kuntilanak 3, Keramat 2: Caruban Larang, serta Pamali.
Baca Juga
Advertisement
Dalam Bincang Liputan6, Joko Anwar menganggap sah-sah saja jika masyarakat Indonesia sepanjang 2022 menggandrungi film horor. Mengingat, horor bukan lagi genre kelas B. Simak petikan wawancaranya berikut ini.
First Class
Liputan6: Katanya selama horor masih disukai, berarti selera film masyarakat Indonesia perlu di-upgrade. Setuju, enggak?
Joko: Enggak. Film horor tuh sekarang sudah first class. Ketika The Exorcist jadi (nomine) Film Terbaik Oscar (tahun 1974) gitu kan sudah, membuktikan bahwa sebenarnya film ya film saja. Regardless the genre.
Liputan6: Dengan kata lain, selera publik soal genre film tak perlu dikotak-kotakkan, ya?
Joko: Enggak. Tapi seperti yang aku bilang, banyak orang mengira bikin film horor tuh gampang, sehingga banyak orang asal bikin film horor asal. Dari situ dapat reputasi bahwa film horor itu adalah film second class.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Horor Banyak Yang Bermutu
Liputan6: Banyak juga film horor berkualitas dan diganjar penghargaan, kan?
Joko: Actually, filmnya membutuhkan craftsmanship tinggi. Perempuan Tanah Jahanam juga jadi Film Terbaik FFI. Jadi sebenarnya enggak ada hubungannya (antara horor dengan selera penonton perlu di-upgrade). Film drama juga banyak yang enggak oke. Film komedi juga banyak yang iyuh... Sama saja, sih.
Liputan6: Ada enggak sineas luar negeri yang menginspirasi Anda dalam melahirkan karya baru termasuk horor?
Joko: Oh, banyak. Terutama film horor yang aku bikin biasanya selalu penghormatan terhadap sineas-sineas yang sangat bermakna karyanya buat aku. Kayak di Pengabdi Setan 2 itu ada beberapa influences. Beberapa di antaranya ada film Don't Look Now, itu filmnya Nicholas Roeg tahun 1970-an, 1974. Kemudian ada sineas yang bahkan sound-nya juga aku minta izin untuk aku cantumkan di film Pengabdi Setan 2. Namanya Ruggero Deodato, film Raiders of Atlantis atau Atlantis Inferno.
Horor Indonesia Klasik
Liputan6: Konon ada beberapa film horor Indonesia klasik yang Anda sukai, apa saja tuh?
Joko: (Aku) suka beberapa film horor Indonesia klasik. Ya, ada Bayi Ajaib. Ada Dikejar Dosa tahun 1974. Dikejar Dosa tuh salah satu film horor yang powerful banget, walaupun enggak ada supernatural horror. Basicly it’s psychological. Jadi tahun 1970-an itu sebenarnya banyak film horor Indonesia psychological, bukan supernatural kayak seperti aku bilang: Dikejar Dosa, Nafsu Gila. They all psychological, dan sampai sekarang aku masih nonton.
Liputan6: Beberapa sineas di Indonesia menyebut bahwa problem paling mendasar dari industri kita itu adalah skenario. Menurut Anda?
Joko: Ya, itu betul.
Advertisement
Inkubasi Penulis Skenario
Liputan6: Apakah inkubasi (penulis skenario) ini satu solusi yang ditawarkan Bang Joko untuk yuk, regenerasi dimulai terus yuk.
Joko: Ya, itu salah satu yang paling bisa aku lakukan. Kalau menulis, kan inkubasinya itu tidak membutuhkan tools, ya. Kita bikin secara gratis, tetapi kita juga tidak mengeluarkan banyak biaya. Hanya waktu dan effort, gitu. Dan dalam waktu dekat kita akan bekerja sama dengan beberapa platform yang ternyata mereka sangat tertarik untuk men-support kegiatan kita. Jadi, in the future enggak akan merupakan hanya inkubasi penulisan skenario, tapi juga inkubasi directing dan beberapa profesi lain di perfilman Indonesia gitu.
Liputan6: Proyek berikutnya, apa Bang?
Joko: Next genre yang belum pernah bikin, Sci-Fi. Jadi satu project di LA. Film LA Project pertama aku dengan Village Roadshow, perusahaan yang memproduksi film-film kayak The Matrix, gitu akan kerja bareng aku untuk science fiction, film science fiction.
Film Hollywood Karya Anak Bangsa
Liputan6: Nanti di poster bakal dipasang tulisan “Film Hollywood karya anak bangsa,” dong?
Joko: Enggak! Malas banget. Mau bikin film di Hollywood, Cipete-wood itu sebenarnya sama saja.
Liputan6: Biar kayak orang-orang, Bang…
Joko: Ha ha ha! Aku sekarang di Cipete, kan. Bikin film di Cipete. Maksudnya bikin film di Cipete kita punya creative freedom bisa mengekspresikan apa yang kita ekspresikan, punya keleluasaan untuk membuat film seperti yang kita mau. Itu luar biasa. Itu privilese yang sangat luar biasa. Kalau syuting di Hollywood misalnya, itu kan akan harus mengikuti sistem mereka. Jadi dari tahun 2012 dapat tawaran banyak sekali dan akhirnya... Beberapa dari film-film tersebut sudah jadi film akhirnya. Dan ketika nonton: Tuh, kan benar kan aku nolak ha ha ha karena kurang oke.
Advertisement