Liputan6.com, Jakarta Lahan perkebunan kelapa sawit yang sudah memiliki Hak Guna Usaha (HGU) dinilai tidak bisa lagi dimasukkan ke dalam kawasan hutan.
Pengamat Kehutanan Sudarsono Soedomo mengatakan HGU adalah hak konstitusional bagi warga negara untuk memanfaatkan lahan. Dan diperoleh melalui proses perizinan yang panjang.
Advertisement
"HGU merupakan hak konstitusi yang dilindungi Undang-Undang. Proses perizinan yang panjang melalui berbagai instansi, sehingga tidak bisa lagi dimasukkan kawasan hutan," kata Sudarsono melalui keterangan tertulis, Kamis (12/1/2023).
Menurut Sudarsono, harus dibedakan dengan jelas, di dalam kawasan hutan legalitas pemanfaatan tanah ada melalui izin dari KLHK sementara untuk yang di luar kawasan hutan atau yang disebut dengan Area Peruntukan Lain (APL) administrasi dan penguasaan tanah merupakan kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
"Tidak boleh karena hutan produksi itu adalah kawasan budidaya dan hutan lindung itu kawasan lindung dalam bahasa tata ruang. Nah, perubahan hutan produksi menjadi hutan lindung berarti mengubah tata ruang (pola ruang). Mengubah tata ruang itu bukan kewenangan menteri kehutanan," kata Sudarsono.
Jadi, lanjut Sudarsono, mengubah penggunaan kawasan hutan pun tidak seluruhnya menjadi kewenangan menteri kehutanan.
"Harus diperhatikan juga apakah perubahan tersebut mengubah tata ruang? Jika iya, maka itu bukan kewenangan menteri kehutanan. Jika tidak, maka itu kewenangan menteri kehutanan," tegasnya.
Lebih lanjut dijelaskannya, untuk penetapan suatu daerah menjadi kawasan hutan setidaknya terdapat empat proses yang harus dilalui yakni penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan.
Namun sejauh ini, dikatakannya tidak satupun daerah yang proses penetapan kawasan hutannya di Provinsi Riau dinyatakan telah selesai.
"Berdasarkan undang-undang nomor 41 tentang pengukuhan kawasan hutan, ada empat proses yang harus dilalui untuk penetapan suatu daerah kawasan hutan. Secara keseluruhan di Provinsi itu (Riau) memang belum, belum selesai penetapan kawasan hutannya karena masih berproses," tegasnya.
Perjuangkan Kelapa Sawit, CPOPC Perlu Kumpulkan Lebih Banyak Negara Produsen
Guna memperkuat perannya dalam memperjuangkan sektor kelapa sawit, Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) merasa perlu untuk mengumpulkan lebih banyak negara penghasil minyak sawit sebagai anggota penuh.
Optimalisasi peran CPOPC sebagai pusat kampanye global dan adanya kerja sama yang kuat di antara negara-negara penghasil minyak sawit tersebut, diharapkan dapat membuat industri kelapa sawit berada di posisi yang lebih kuat di masa mendatang.
Dalam Senior Officials Meeting (SOM) CPOPC ke-24 yang dilaksanakan secara hybrid di Yogyakarta, Kamis (15/12), Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud menegaskan kembali pentingnya kelapa sawit bagi sosial, ekonomi, dan lingkungan, serta peran CPOPC untuk menjawab tantangan yang bergulir di industri ini dan memberikan kontribusi yang lebih signifikan dari sektor kelapa sawit untuk pemulihan global yang kuat, inklusif, dan berkelanjutan.
Pertemuan tersebut menyoroti kegiatan-kegiatan utama sejak SOM terakhir, serta agar para pemimpin SOM meninjau hasil dan menyusun strategi pencapaian ke depan terutama terkait dengan rencana kerja dan anggaran tahun mendatang.
Wakil Sekretaris Jenderal (Perkebunan & Komoditi) Kementerian Perkebunan dan Komoditi Malaysia Dato’ Mad Zaidi Mohd Karli juga menyoroti pentingnya CPOPC melakukan aksi yang out of the box dengan keterlibatan LSM dan social influencers besar untuk kampanye positif dan efek menarik yang lebih besar.
Krisis minyak nabati baru-baru ini mengungkapkan volatilitas pasar dalam hal penawaran dan permintaan. Hal ini membuat para pedagang komoditas kembali fokus ke minyak sawit, minyak nabati yang paling terjangkau dan paling melimpah.
Advertisement
Kampanye
Untuk itu, CPOPC harus mampu memanfaatkan momentum tersebut guna menyoroti bahwa kampanye dan kritik keberlanjutan terhadap minyak sawit tidak akurat dan tidak berdasar.
Pembahasan dalam SOM juga mencatat perkembangan terkini terkait legislasi di Uni Eropa yang berimplikasi negatif terhadap industri kelapa sawit termasuk dampaknya terhadap petani kecil serta rencana aksi dalam menangani isu-isu yang menjadi kepentingan bersama. Salah satu rencana aksi utama yakni keterlibatan dengan pemangku kepentingan terkait di Uni Eropa termasuk pembuat kebijakan, organisasi non-pemerintah (LSM), perusahaan, dan konsumen.
Selain itu, CPOPC juga bermaksud melibatkan masing-masing Negara Anggota Uni Eropa untuk mendapatkan pengakuan skema sertifikasi wajib nasional termasuk Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO).