Liputan6.com, Jakarta - Sahang, demikian orang Bengkulu biasa menyebut lada menjadi komoditas primadona. Selama turun-temurun tanaman ini telah menghidupi sebagian masyarakat yang ada di Bumi Rafflesia.
Bahkan, sahang pernah menjadi alasan utama Inggris menancapkan kekuasaannya di wilayah tersebut. Pada tahun 1685, Inggris melalui kongsi dagangnya East India Company (EIC) mencari lada yang diperdagangkan di Banten ke pesisir barat Sumatra.
Advertisement
Dalam catatan William Marsden dalam bukunya, History of Sumatra (Sejarah Sumatra), sahang menjadi objek pencarian utama para penjelajah ketika itu. Para raja dan golongan kepala suku di Sumatera menawarkan EIC untuk membuka kantor dagang di wilayahnya.
Bengkulu ketika itu bernama Bencoolen, dan terkenal dalam kancah perdagangan rempah-rempah antar benua. Bahkan pada abad 16, Pelabuhan Selebar berkembang maju dan menjadi pusat perdagangan lada di Nusantara.
Kejayaan lada di Bengkulu ini masih bertahan hingga 1990-an, sebelum akhirnya hama penyakit menghancurkan tanaman tumpuan warga tersebut. Pemerintah tidak punya jalan keluar yang jelas atas persoalan ini.
Panen lsahang atau lada hitam telah memutar roda perekonomian desa. Penghasilan petani dari tanaman tersebut begitu memuaskan, sehingga para pemuda yang menganggur bisa bekerja dan pasar tradisional ramai.
Keberadaan sahang juga tercatat dalam sejarah. Pada zaman Sultan Abdurrahman Muazzam Syah pernah mengeluarkan kebijakan untuk meningkatkan taraf perekonomian masyarakat dengan menanam sejumlah tanaman, salah satunya sahang.
Kejayaan Indonesia yang dikenal sebagai gudangnya rempah-rempah banyak memasok ke berbagai negara di dunia. Karena ketenarannya itu, banyak yang menyebutkan sahang dengan sebutan king of spice.
Namun, cerita manis itu akhirnya terputus, masa keemasan lada Bengkulu berakhir. Karena kini masyarakat lebih memilih menanam sawit ketimbang lada.