Digital Native, Gen Z Wajib Sadar Pentingnya Melindungi Data Pribadi

Pemerintah dan industri perlu turut meningkatkan kesadaran perlindungan data pribadi dan kepercayaan digital di kalangan publik, termasuk mereka yang berada dalam Gen Z

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 13 Jan 2023, 13:00 WIB
Pakar siber ungkap tips mencegah dan mengatasi kebocoran data pribadi. (unsplash/nelsonah hegu).

Liputan6.com, Jakarta Generasi Z atau Gen Z, banyak dinilai sebagai generasi digital native yang lebih melek akan teknologi.

Namun, survei yang dilakukan Komnas HAM pada 2020 menyebutkan, Gen-Z usia 17-25 tahun memiliki kekhawatiran terhadap keamanan data pribadi mereka. 78,4 persen responden menganggap data pribadinya tak aman di internet.

Survei lainnya dari Indikator Politik Indonesia pada Oktober 2022 juga menemukan, lebih dari 30 persen kalangan Gen-Z menyatakan ragu-ragu bahwa data pribadi yang didaftarkan dalam aplikasi akan terjamin kerahasiaannya.

Maka dari itu, pemerintah dan industri perlu turut meningkatkan kesadaran perlindungan data pribadi dan kepercayaan digital (digital trust) di kalangan publik.

Ini sejalan dengan pengesahan aturan Pelindungan Data Pribadi (PDP), serta bisa menjadi respon langsung dari ancaman siber yang saat ini kian marak di Indonesia, salah satunya soal pencurian dan penyalahgunaan identitas.

Chief Revenue Officer VIDA, Adrian Anwar, melalui siaran pers mengatakan, pola kebiasaan Gen-Z dalam beraktivitas di dunia maya, lebih mudah dibentuk jika dibandingkan dengan generasi-generasi lainnya.

"Aktivitas ini tentu membawa banyak manfaat, tetapi juga ada ancaman tersendiri untuk keamanan data pribadi," kata Adrian, dikutip Jumat (13/1/2023). Menurutnya, ini bisa terjadi mengingat generasi tersebutlah yang pertama mengadopsi fitur-fitur terbaru.

"Tentunya hal ini perlu menjadi perhatian agar generasi-generasi muda tersebut dapat lebih mengenali potensi ancaman siber sehingga dapat memegang tanggung jawab yang lebih besar di masa yang akan datang."

Besarnya risiko terhadap perlindungan data pribadi terhadap Gen Z juga tercatat dalam sebuah studi yang dilakukan di Amerika Serikat dan Inggris, oleh National CyberSecurity Alliance (NCSA).


Upaya Mitigasi Kejahatan Siber

Ilustrasi data pribadi, perlindungan data pribadi. Kredit: Gerd Altmann via Pixabay

Dalam studinya, NCSA menemukan, di dua negara itu, Gen-Z (51 persen), lebih cenderung mengatakan bahwa mereka pernah menjadi korban dari serangan siber, dibandingkan baby boomers (21 persen).

Pengguna layanan digital pun punya peran sebagai garda terdepan untuk melindungi data pribadinya sendiri.

Di sisi lain, usaha mitigasi kejahatan siber terkait data pribadi, juga harus didukung tersedianya inovasi teknologi yang sesuai dengan tren terkini, oleh para pelaku bisnis digital.

Pemenuhan akan tuntutan keamanan siber juga perlu diperhatikan untuk mencegah potensi munculnya keraguan terhadap layanan digital yang berujung pada keengganan dalam melakukan transaksi digital.

Potensi tren tersebut menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan oleh pelaku bisnis di tengah terjadinya transformasi digital, mengingat dapat mempengaruhi ekspansi atau peningkatan skala bisnis.


Ketelitian Masyarakat

Ilustrasi data pribadi, perlindungan data pribadi, privasi pengguna. Kredit: Tayeb MEZAHDIA via Pixabay

Gajendran Kandasamy, Co-Founder & Chief Operating Officer VIDA mengatakan, kesadaran tentang pentingnya data pribadi bisa dimulai dari membaca syarat dan ketentuan, sebelum memberikan konsen penggunaan data mereka.

"Kesadaran akan pentingnya data pribadi dapat dimulai dari ketelitian masyarakat," kata Gajendran.

"Khususnya generasi milenial dan Gen-Z sebelum menggunakan aplikasi dan layanan digital dengan membaca syarat dan ketentuan sebelum memberikan konsen penggunaan data pribadi mereka," dia menambahkan.

Selain itu menurutnya, masyarakat juga perlu memperhatikan ke mana mereka memberikan data pribadinya dan apakah pihak tersebut telah tersertifikasi dalam mengelola data pribadi penggunanya.


Data Pribadi Bisa Jadi Akses Pelecehan Seksual di Ruang Digital

Indonesia lampu kuning kasus kekerasan anak karena tingginya data pengaduan ke KPAI. (pexels.com/Pixabay)

Kasus pelecehan seksual berbasis gender di Indonesia meningkat, termasuk yang terjadi di ruang digital.

Berdasar catatan tahunan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pada 2021, kekerasan berbasis gender meningkat 50 persen dibanding tahun sebelumnya pada 2020 yang sebanyak 338.496 kasus.

Dalam webinar bertema 'Stop di Kamu! Lawan Pelecehan Seksual di Media Digital' di Pontianak, belum lama ini, Jawara Internet Sehat Provinsi Gorontalo, Julianur Rajak Husain, memaparkan sejumlah jenis pelecehan seksual yang kerap terjadi di ruang digital.

"Beberapa jenis kekerasan seksual tersebut adalah revenge porn (motif balas dendam dengan menyebarkan foto pornografi korban); morphing (mengubah suatu gambar atau video dengan tujuan mempermalukan korban); dan sexting (pengiriman gambar atau video porno kepada korban)," Julianur menjelaskan.

"Ada juga impersonation (mengambil identitas orang lain dengan tujuan mengakses informasi pribadi, mempermalukan, menghina korban, dan membuat identitas palsu)," sambungnya.

Ia mengimbau, agar aman dari ancaman kekerasan berbasis gender di ruang digital, jaga data pribadi dengan tidak menyebarkan ke orang lain atau ke media sosial.

"Selalu waspada apabila mendapat tautan tak dikenal dari orang yang tak dikenal pula,” ucap Juliarnur menambahkan dalam webinar yang digelar Kominfo bersama GNLD Siberkreasi ini, dikutip Sabtu (19/11/2022). 

(Dio/Isk)

Infografis Jurus Pemerintah Atasi Serangan Siber dan Poin Penting RUU PDP. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya