Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui telah terjadi pelanggaran HAM berat di Indonesia. Jokowi pun mengaku menyesal, insiden pelanggaran HAM berat terjadi di Tanah Air.
Sebagai langkah konkrit dan tindaklanjut dari pengakuan dan penyesalannya, Jokowi meminta hak korban dan nama baik mereka bisa dipulihkan.
Advertisement
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD pun mengungkapkan, saat ini pemerintah sudah menyiapkan langkah konkrit bagi korban pelanggaran HAM dan keluarganya. Misalnya, peningkatan bantuan ekonomi, jaminan kesehatan, jaminan hari tua, pembangunan memorial, dan penerbitan dokumen kependudukan.
"Ini jadi masalah karena banyak orang dokumen kependudukannya tidak beres atau tidak dibereskan karena pelanggaran HAM berat, dia menjadi korban," kata Mahfud.
Kemudian, pemerintah juga akan menyediakan beasiswa pendidikan, rehabilitasi medis, perlindungan korban, pelatihan dan pembinaan wirusaha pertanian, perkoperasioan, peternakan, dan pelatihan lainnya. Lalu bantuan pertanian, ternak, renovasi rumah, perbaikan irigasi, pengadaan air bersih dan bantuan sosial tunai.
Serta akan memberikan hak pensiun bagi korban yang merupakan ASN atau TNI/Polri.
"ASN, Polri/TNI banyak yang jadi korban, tiba-tiba dipecat dan segala macam. Jangan dikira mereka tidak ada yang menjadi korban," ujarnya.
Mahfud memastikan bantuan tersebut berbeda dengan bantuan yang diberikan kepada masyarakat umum. Sebab para korban HAM tersebut akan mendapatkan perlakuan khusus dari pemerintah.
"Ini khusus nanti akan dilakukan by name, by address, kalau itukan (bantuan biasa) terbuka untuk umum. Yang ini khusus untuk korban, karena tercatat dan dapat perlakuan khusus karena itu betul-betul perhatian pemerintah kepada korban," ujar dia.
Untuk memastikan pemulihan para korban pelanggaran HAM berat di masa lalu berjalan efektif, kata Mahfud, Presiden Jokowi akan menggelar rapat khusus.
Dalam rapat itu, lanjut dia, Presiden akan membagikan tugas kepada sejumlah menteri dan lembaga serta memberikan target atau batas waktu bagi mereka untuk menyelesaikan masing-masing tugasnya.
"Nanti akan dibagi tugas oleh Presiden. Menteri A (misalnya) melakukan rekomendasi nomor sekian atau jenis pemulihan nomor sekian. Menteri B nomor sekian. Menteri C nomor sekian. LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) nomor sekian, dan seterusnya. Dibagi tugasnya dan diberi target waktu," ucap Mahfud.
Apabila tugas yang telah ditentukan tidak terlaksana pada waktu yang telah ditentukan, Mahfud menyampaikan bahwa pemerintah akan membentuk satuan tugas dalam mengawal efektivitas pemulihan para korban pelanggaran HAM berat.
Satgas itu akan melaporkan kepada Presiden setiap pelaksanaan pemulihan yang dilakukan, perkembangan, dan masalah yang mereka hadapi.
"Satgas itu nanti sementara ini disepakati juga berkantor di Kemenko Polhukam. Meskipun saya sendiri (menilai) seharusnya sih ini di Kantor Menkumham, tapi di sana banyak sekali pekerjaannya, tidak apa-apa. Kami bantu karena ini bentuknya koordinasi. Itu pun nanti kami usulkan alternatif-alternatif pembanding kepada Presiden, siapa orangnya dan tempatnya di mana untuk mengawal ini," jelas Mahfud.
Namun, Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) justru khawatir pernyataan Presiden Jokowi hanya pemanis untuk mendorong penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat pada mekanisme non-yudisial.
Sehingga KontraS khawatir praktik pengabaian terhadap pengadilan HAM yang buruk seperti terjadi selama ini menjadi diwajarkan.
"Ditambah pembiaran terhadap tidak dilakukannya reformasi kelembagaan yang selama ini menjadi aktor pelanggaran HAM berat. Dengan kata lain, pengakuan, penyesalan, serta pernyataan Presiden Joko Widodo lainnya atas rekomendasi hasil Tim PPHAM tidak lebih dari pembaruan terhadap janji lama," ujar Koordinator KontraS Fatia Maulidiyati.
Bukan hanya KontraS, Amnesty Internasional Indonesia pun mendorong agar proses hukum terhadap pelanggaran HAM masa lalu dilakukan.
"Langkah konkret yang harus dilakukan pemerintah adalah tentu menjamin proses hukum dari kasus pelanggaran HAM ini tuntas dengan seadil-adilnya," kata Media and Campaign Manager Amnesty International Indonesia Nurina Savitri kepada Liputan6.com.
Untuk itu, Amnesty Internasional meminta agar pemerintah menuntaskan dengan seadil-adilnya. Apalagi pemerintah punya peran penting untuk mendorong penegak hukum menghadirkan bukti baru atau membuka kembali penyelidikan.
Menurutnya, pemulihan hak korban memang hal yang penting, tapi penyelesaian secara yudisial harus dituntaskan sesuai mandat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Justru tanpa adanya pengadilan terhadap pelaku, hal ini justru tidak memulihkan hak-hak korban yang paling mendasar dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat," tandasnya.
Pemerintah Kewalahan karena Bukti Banyak yang Hilang
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD memastikan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu secara yudisial masih terus berjalan.
Mahfud menjelaskan, kasus pelanggaran HAM berat di atas tahun 2000 merupakan tugas dari Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dan akan diadili di pengadilan HAM biasa. Sementara menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengatur bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 diselesaikan lewat pengadilan HAM ad hoc atas persetujuan DPR.
Atas dasar itu, Mahfud mengatakan, pemerintah sudah membawa empat kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah tahun 2000 tetapi pelakunnya dibebaskan.
"Dibebaskan semua. Ada 35 orang dibebaskan karena tidak cukup bukti untuk dikatakan pelanggaran HAM berat. Bahwa itu kejahatan, iya, tapi bukan pelanggaran HAM berat karena itu berbeda," ujar dia.
Sementara sisanya akan kembali dibahas oleh DPR. Mahfud menceritakan, saat dirinya menjadi anggota DPR tahun 2004-2009, terjadi keributan pada tahun 2005 di mana Komnas HAM dan masyarakat sipil mendesak agar dibawa ke pengadilan, tetapi Kejaksaan Agung menyatakan tidak bisa memutus kemudian dibawa ke DPR.
"Tapi DPR juga tidak berani memutuskan karena buktinya tidak ada. Akhirnya terkatung-katung sampai sekarang. Nanti kembalikan lagi ke UU, kalau dipaksakan juga DPR bicara lagi gimana cara bawanya," ujar Mahfud.
Komnas HAM sendiri mengakui bahwa lebih dari 10 kasus pelanggaran HAM berat prosesnya mandek. Kejagung kerap mengembalikan berkas dari Komnas HAM dengan alasan belum lengkap. Untuk itu, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro meminta Menkopolhukam Mahfud Md memfasilitasi koordinasi antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung terkait tugas dan kewenangan dalam menjalankan penyelidikan dan penyidikan.
"Hal ini guna menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM yang berat melalui mekanisme yudisial," kata Atnike.
Beberapa kasus yang korbannya hingga kini belum mendapatkan haknya atas pemulihan, yaitu Peristiwa Tanjung Priok 1984, Peristiwa Timor-Timor 1999, Peristiwa Abepura 2000, dan Peristiwa Paniai 2014.
Untuk itu, pemerintah akan menyelesaikan kasus HAM berat secara non yudisial terlebih dahulu. Sembari melihat kembali fakta dan bukti yang ada.
"Ya itu kan (penyelesaian HAM lewat yudisial) tergantung data, bukti-bukti yang ada," jelas Menkumham Yasonna Laoly di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (12/1/2023).
Dia mengatakan ada hal-hal yang tidak bisa diselesaikan melalui pro justitia atau penegakan hukum. Kendati begitu, Yasonna menekankan pemerintah tetap berkomitmen menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat.
Sementara Kejaksaan Agung mengatakan mengusut kasus pelanggaran HAM berat tidaklah mudah. Sebab peritiwa tersebut terjadi sudah cukup lama dan alat bukti sudah banyak yang hilang. "Membangun konstruksi yuridis tidak gampang yang masyarakat pikirkan. Kendala di lapangan banyak," kata Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana kepada Liputan6.com.
"Sekarang pelakunya siapa? Orang pelaku nya saja kita belum tahu kalau sudah tau pelakunya pasti sudah terseret ke pengadilan. Sementara beberapa kasus yang kita bawa ke pengadilan bebas semua," lanjutnya.
Tak Ada Kemauan Pemerintah
Sementara dengan tak tuntasnya kasus ini hingga kini, Amnesty Internasional Indonesia justru menilai pemerintah tak memiliki kemauan untuk menyelesaikan kasus ini.
"Kendala utama dalam penyelesaian kasus-kasus ini adalah political will. Bagaimana pemerintah yang memiliki kekuasaan harus memiliki keseriusan dan kesungguhan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat," kata Media and Campaign Manager Amnesty International Indonesia Nurina Savitri.
Nurina pun mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat ini. Sebab menurutnya, dalam jajaran pemerintahan pun justru terdapat orang yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM.
"Bagaimana kita bisa melihat pemerintah serius menangani pelanggaran HAM berat jika di dalam jajarannya sendiri, menteri-menterinya atau pejabat-pejabatnya, ada terduga pelanggar HAM? Ini kan nanti jadi konflik kepentingan. Bagaimana pemerintah mau menyelesaikan pelanggaran kalau di dalamnya ada pelanggar?," tanta Nurina.
Untuk itu, jika Presiden Jokowi memiliki komitmen menuntaskan kasus ini, langkah konkritnya adalah dengan menurunkan pejabat-pejabat yang diduga terlibat.
"Pemerintah mengakui ada pelanggaran HAM berat, tapi sekaligus masih mengakomodasi terduga pelanggar HAM? Logikanya kemana?," ujarnya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Peneliti Senior Imparsial sekaligus Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf. Dia menilai kendala dalam menyelesaikan kasus ini secara yudisial adalah lemahnya kemauan pemerintah. Padahal, kata dia, selama ini Komnas HAM sudah melakukan investigasi dan mengumpulkan banyak bukti.
"Oleh karena itu pemerintah harusnya fokus untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM melalui jalur judicial terlebih dahulu setelah itu jalan non judicialnya bisa di lakukan. Atau paling tidak pemerintah bebarengan dalam menyelesaikan kasus ini," kata Al Araf.
Seharusnya Lebih dari 12 Kasus
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui, telah terjadi pelanggaran HAM berat di Indonesia, namun hanya 12 peristiwa yang telah diakui oleh pemerintah, yaitu:
- peristiwa 1965-1966
- peristiwa penembakan misterius 1982 1985,
- peristiwa Taman Sari Lampung 1989,
- peristiwa rumah gedong dan pos statis di Aceh 1989,
- peristiwa penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998
- peristiwa kerusuhan Mei 1998
- peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2, 1998 dan 1999
- peristiwa pembunuhan dukun santet 1998 1999,
- peristiwa Simpang KKA di Aceh tahun 1999,
- peristiwa wasior di Papua 2001-2002
- peristiwa Wamena Papua di 2003
- peristiwa jambu Kapuk di Aceh tahun 2023
Namun, Amnesty Internasional Indonesia mencatat sesungguhnya pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia ada lebih dari 12 peristiwa. Artinya telah terjadi pengabaian terhadap kengerian kejahatan yang sudah terkenal lainnya, seperti pelanggaran yang dilakukan selama pendudukan dan invasi Timor Timur, Tragedi Tanjung Priok 1984, peristiwa penyerangan 27 Juli 1996, atau kasus pembunuhan Munir.
“Jika Presiden serius bicara kasus yang terjadi setelah tahun 2000. Itu seharusnya juga disebutkan,” ujar Media and Campaign Manager Amnesty International Indonesia Nurina Savitri.
Amnesty Internasional Indonesia mencatat, pengabaian adalah tindak kelalaian dan menjadi penghinaan bagi banyak korban. Sebab, patut diduga proses penyelidikan dan penyidikan dilakukan setengah hati terhadap empat kasus yang tidak disebutkan tersebut.
“Jika Presiden benar-benar berkomitmen untuk mencegah terulangnya kembali pelanggaran HAM berat, pihak berwenang Indonesia harus segera, efektif, menyeluruh, dan tidak memihak menyelidiki semua orang yang diduga bertanggung jawab,” ujar Nurina.
Advertisement
Agar Pelanggaran HAM Tak Terulang Kembali
Presien Jokowi berharap, pelanggaran HAM berat tidak lagi terulang di masa depan. Ia pun meminta Menteri Koordinator politik hukum dan Keamanan Mahfud MD untuk mengawal upaya-upaya konkret pemerintah agar terlaksana dengan baik.
Menindaklanjuti arahan Jokowi tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan pemerintah akan memberikan pelatihan hak asasi manusia (HAM) kepada personel TNI dan Polri guna mencegah terjadinya pelanggaran HAM.
"Kemarin, ada rekomendasi dari Tim PPHAM (Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM) agar setiap anggota Polri diberi bekal atau pelatihan hak asasi manusia. Nanti, kita (pemerintah) akan buat ini, melibatkan dunia internasional juga akan menatar Polri dan TNI kita tentang HAM, terutama dalam hukum humaniter yang sekarang banyak berkembang di dunia internasional," ujar Mahfud.
Mahfud juga menyampaikan bahwa Presiden Jokowi yang menyetujui rekomendasi Tim PPHAM itu memerintahkan dia untuk mem-follow up atau menindaklanjuti hal tersebut.
Ia diminta pula untuk mengoordinasikan hal tersebut dengan Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono dan Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo mengenai kurikulum, bentuk pelatihan, bahkan jika diperlukan pelatihan itu menjadi syarat bagi setiap personel untuk menduduki jabatan atau tugas tertentu.
Meskipun begitu, Mahfud mengingatkan kepada seluruh masyarakat Indonesia bahwa pelanggaran HAM bukan hanya dilakukan oleh anggota TNI dan Polri.
"Pelanggaran HAM berat itu bukan hanya TNI-Polri. Kadang kala pejabat-pejabat sipil juga banyak loh. Di pemda (pemerintah daerah, di kementerian, dan macam-macam itu. Tetapi secara khusus kalau menyebut TNI-Polri, memang kemarin ada rekomendasi dari Tim PPHAM agar setiap anggota Polri diberi bekal atau pelatihan hak asasi manusia," jelas dia.
Di samping itu, pemerintah juga akan mencegah terjadinya pelanggaran HAM dengan membuat tata kelola pemerintahan yang baik.
Sementara Media and Campaign Manager Amnesty International Indonesia Nurina Savitri mengatakan, agar tak terulang lagi pelanggaran HAM maka penyelesaian kasus yang berjalan dengan adil.
"Dengan begitu, menunjukkan bahwa tidak ada satupun kejahatan di negara ini luput, bahwa hukum dapat ditegakkan dengan seadil-adilnya. Ada preseden baik yang bisa menjadi rujukan di masa mendatang dan secara otomatis akan mencegah keberulangan pelanggaran HAM berat di masa mendatang," tandas Nurina.