2 Remaja Bunuh Bocah untuk Jual Organ, Psikolog: Kombinasi Pengamatan dan Desakan Hidup

AD (17) dan MF (14) ditetapkan sebagai tersangka atas kasus pembunuhan bocah berusia 11 tahun. Pembunuhan itu dilakukan demi mengambil organ tubuh korban untuk dijual.

oleh Diviya Agatha diperbarui 13 Jan 2023, 16:00 WIB
2 remaja makassar pembunuh bocah 11 tahun karena terobsesi situs jual beli organ tubuh manusia (Liputan6.com/Faiuzan)

Liputan6.com, Jakarta Pihak kepolisian menetapkan AD (17) dan MF (14) sebagai tersangka kasus pembunuhan bocah berusia 11 tahun berinisial MFS di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. AD dan MF membunuh korban karena hendak mengambil organ tubuhnya untuk dijual.

AD yang menjadi pelaku utama mengungkapkan bahwa dirinya terobsesi ingin mencari uang lewat menjual organ tubuh manusia. Uang itu rencananya hendak digunakan untuk membangun rumah AD.

"Saya men-searching Google bagaimana cara menjual organ tubuh manusia, karena ekonomi dan setiap hari dimarahi oleh orangtua jadi saya melakukan hal tersebut untuk pertama kalinya," kata AD kepada polisi di Polrestabes Makassar mengutip Regional Liputan6.com.

Usai membunuh MFS, pesan yang dikirimkan AD melalui email yang tersedia dalam situs jual organ tubuh manusia bernama Yandex ternyata tidak mendapatkan balasan. Akhirnya, jasad MFS dibuang ke sebuah waduk.

Mengetahui fakta-fakta terkait pembunuhan yang dilakukan oleh dua remaja ini mungkin akan membuat Anda terkejut dan bertanya-tanya. Pasalnya, tindakan yang dilakukan AD dan MF sangat di luar nalar. Lalu, apa yang bisa memicunya?

Psikolog anak, remaja, dan keluarga Universitas Kristen Maranatha Bandung, Efnie Indriani mengungkapkan bahwa ada dua kemungkinan penyebab dibaliknya yang memicu tindakan AD dan MF.

"Remaja bisa melakukan sesuatu yang sifatnya ekstrem biasanya merupakan hasil kombinasi antara hal-hal yang dia amati kemudian menjadi inspirasi, dan faktor situasi desakan hidup," ujar Efnie pada Health Liputan6.com, Kamis (13/1/2023).


Sumber Pengamatan di Era Digital

Ilustrasi Keamanan Siber, Kejahatan Siber, Malware. Kredit: Elchinator via Pixabay

Lebih lanjut Efnie mengungkapkan bahwa di era digital saat ini, sumber pengamatan bisa dilakukan dari mana saja dan diakses kapan saja. Cara tersebutlah yang bisa menjadi sumber inspirasi yang sangat kuat untuk pelaku.

"Sumber pengamatan bisa dari mana saja dan memang bisa diakses kapan saja. Hal ini tentunya menjadi sumber inspirasi yang sangat kuat," kata Efnie.

"Jika sudah menjadikan sesuatu sebagai inspirasi, maka remaja akan melakukan hal tersebut secara langsung tanpa disertai pertimbangan yang matang," tambahnya.

Efnie menambahkan, hal-hal yang sudah menjadi inspirasi bisa berkembang menjadi obsesi dalam pikiran. "Ditambah lagi ada desakan kebutuhan hidup, maka akan semakin memperkuat obsesi pikiran untuk diwujudkan dalam perilaku nyata," ujarnya.


Hukuman yang Cocok untuk Pelaku

Ilustrasi kejahatan. (dok. niu niu/Unsplash.com)

Dari sisi psikologis, Efnie mengungkapkan bahwa hukuman yang cocok tidak bisa hanya sebatas reward dan punishment. Hal tersebut lantaran pada kategori usia tersebut, anak remaja sebenarnya masih dalam proses pembentukan.

"Dalam proses pembentukan ini tidak bisa hanya sebatas pada reward dan punishment semata. Hukuman untuk efek jera merupakan salah satu bentuk punishment. Hal yang perlu disertakan selain hukuman adalah program-program yang berkaitan dengan character building atau terapi," kata Efnie.

Efnie menjelaskan, character building atau terapi menjadi hal yang sangat penting. Bila tidak dilakukan, dikhawatirkan agresi pelaku yang bersangkutan justru bisa meningkat usai menyelesaikan hukuman penjara.

"Dikhawatirkan apabila yang bersangkutan sudah menyelesaikan masa hukumannya maka bukan efek jera yang terjadi, namun agresinya menjadi semakin meningkat," ujar Efnie.


Bentuk Agresi Pelaku Bisa Meningkat

Ilustrasi tindak kejahatan. (dok. Maxim Hopman/Unsplash.com)

Menurut Efnie, agresi pada pelaku bisa mengalami peningkatan jika tidak benar-benar mengikuti terapi secara tuntas. Bahkan, pelaku bisa berpikir bahwa agresi yang dilakukan olehnya adalah bentuk balas dendam.

"Agresi tersebut bisa dilampiaskan seperti bentuk balas dendam atas hukuman yang telah ia dapatkan. Bisa dilampiaskan kepada pihak lain. Jadi hukuman yang dijalani bukan dijadikan pembelajaran namun sebagai alasan untuk balas dendam dan agresi," pungkasnya.    

Infografis Kejahatan Meningkat saat Pandemi Corona. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya