Liputan6.com, Jakarta Usai dimintai keterangan, pembunuhan yang dilakukan dua remaja di Kota Makassar, Sulawesi Selatan ternyata berkedok masalah ekonomi. Pelaku AD (17) dan MF (14) mengaku tergiur menjual organ tubuh korbannya untuk mendapatkan uang.
Uang itu rencananya hendak digunakan untuk membantu ekonomi keluarga, lebih tepatnya untuk membangun rumah. Menurut penjelasan AD sebagai pelaku utama, orangtuanya memarahi AD setiap hari karena masalah ekonomi keluarga mereka.
Advertisement
Alhasil, muncul obsesi untuk mencari uang lewat menjual organ tubuh manusia.
Berkaitan dengan hal tersebut, psikolog anak, remaja, dan keluarga Universitas Kristen Maranatha Bandung, Efnie Indriani mengungkapkan bahwa cari nafkah sebenarnya memang bukan tanggung jawab utama anak di masa remaja.
"Masa anak-anak dan remaja merupakan masa untuk melakukan eksplorasi. Eksplorasi pada anak-anak akan terlihat dalam bentuk perilaku bermain. Eksplorasi pada remaja akan muncul dalam bentuk melakukan kegiatan dan hobi yang mereka senangi," ujar Efnie pada Health Liputan6.com, Kamis (13/1/2023).
"Jadi memang tanggung jawab utama di masa kanak-kanak dan remaja bukanlah mencari nafkah," sambungnya.
Namun, Efnie mengakui jikalau terkadang situasi yang terjadi dalam keluarga membuat anak dan remaja harus ikut mencari uang untuk memenuhi kebutuhan.
"Hal ini (mencari uang) masih bisa dilakukan. Tapi sebaiknya pekerjaan tersebut tidak dijadikan sebagai beban pada anak dan remaja. Mereka sebaiknya masih memiliki waktu untuk melakukan eksplorasi secara natural," kata Efnie.
Kemungkinan Penyebab Dibalik Keinginan Menjual Organ
Lebih lanjut Efnie mengungkapkan bahwa kemungkinan ada dua penyebab di balik tindakan AD dan MF untuk membunuh korbannya yang berusia 11 tahun. Dua hal itu adalah hasil pengamatan yang berubah jadi obsesi dan desakan hidup.
"Remaja bisa melakukan sesuatu yang sifatnya ekstrem biasanya merupakan hasil kombinasi antara hal-hal yang dia amati kemudian menjadi inspirasi, dan faktor situasi desakan hidup," ujar Efnie
Terlebih di era digital saat ini, sumber pengamatan bisa dilakukan dari mana saja dan diakses kapan saja. Cara tersebutlah yang bisa menjadi sumber inspirasi yang sangat kuat untuk pelaku.
"Sumber pengamatan bisa dari mana saja dan memang bisa diakses kapan saja. Hal ini tentunya menjadi sumber inspirasi yang sangat kuat," kata Efnie.
"Jika sudah menjadikan sesuatu sebagai inspirasi, maka remaja akan melakukan hal tersebut secara langsung tanpa disertai pertimbangan yang matang," tambahnya.
Advertisement
Berawal dari Inspirasi yang Beralih Menjadi Obsesi
Efnie mengungkapkan bahwa hal-hal yang sudah menjadi inspirasi tersebutlah yang kemudian bisa berkembang menjadi obsesi dalam pikiran.
"Ditambah lagi ada desakan kebutuhan hidup, maka akan semakin memperkuat obsesi pikiran untuk diwujudkan dalam perilaku nyata," ujar Efnie.
Sedangkan bila bicara soal hukuman menurut Efnie sendiri, tidak cocok bila hanya sebatas reward dan punishment. Hal tersebut lantaran pada kategori usia tersebut, anak remaja sebenarnya masih dalam proses pembentukan.
"Dalam proses pembentukan ini tidak bisa hanya sebatas pada reward dan punishment semata. Hukuman untuk efek jera merupakan salah satu bentuk punishment. Hal yang perlu disertakan selain hukuman adalah program-program yang berkaitan dengan character building atau terapi," kata Efnie.
Pelaku Harus Jalani Terapi Khusus
Efnie menjelaskan, character building atau terapi menjadi hal yang sangat penting. Bila tidak dilakukan, dikhawatirkan agresi pelaku yang bersangkutan justru bisa meningkat usai menyelesaikan hukuman penjara.
"Dikhawatirkan apabila yang bersangkutan sudah menyelesaikan masa hukumannya maka bukan efek jera yang terjadi, namun agresinya menjadi semakin meningkat," ujar Efnie.
"Agresi tersebut bisa dilampiaskan seperti bentuk balas dendam atas hukuman yang telah ia dapatkan. Bisa dilampiaskan kepada pihak lain. Jadi hukuman yang dijalani bukan dijadikan pembelajaran namun sebagai alasan untuk balas dendam dan agresi," pungkasnya.
Advertisement