Liputan6.com, Jakarta - Twitter dilaporkan tengah mengalami anomali pada fitur pencariannya. Informasi ini diketahui dari sejumlah laporan warganet yang menyebut tidak bisa melakukan pencarian dengan keyword Mega di platform tersebut.
Usai ramai laporan tersebut, Tekno Liputan6.com pun sempat mencoba melakukan langkah serupa pada Jumat (13/1/2023). Hasilnya, saat berita ini ditayangkan, pencarian dengan keyword Mega memang tidak menampilkan apa-apa.
Advertisement
Saat muncul, hasil pencarian malah menampilkan pesan seperti ketika Twitter mengalami masalah. "Oops, something went wrong. But don't worry-it's not your fault," tulis keterangan yang muncul ketika melakukan pencarian dengan keyword tersebut.
Selain itu, ada pula notifikasi yang berbunyi, "Cannot retrieve Tweets at this time. Please try again later". Lalu di bagian bawah, ada tombol Retry yang menandakan pengguna perlu mengulangi pencarian tersebut.
Namun, berdasarkan uji coba lain yang dilakukan, pencarian yang menggunakan keyword Mega disertai kata-kata lain masih bisa muncul. Sebagai contoh, kami mencoba berbagai kombinasi, seperti Mega Wati, Mega PDIP, Mega Bazaar, Mega Watt, hingga Mega Byte.
Kami juga sempat melakukan pencarian memakai kata-kata yang berhubungan dengan Mega dalam Bahasa Inggris, seperti giant atau huge. Dan, pencarian tersebut masih membuahkan hasil.
Oleh sebab itu, belum diketahui penyebab anomali pencarian keyword Mega yang terjadi di aplikasi Twitter. Terlebih saat ini, platform microblogging tersebut tidak lagi memiliki tim komunikasi, sehingga belum ada penjelasan mengenai hal ini.
Hanya ada beberapa warganet yang juga mengaitkan hilangnya keyword ini dengan pidato Megawati saat HUT PDIP yang ke-50 pada Selasa 10 Januari 2022.
Kendati demikian, dalam laman bantuannya, Twitter memang memiliki kebijakan dan aturan mengenai hasil pencarian. Dalam salah satu bagian, platform ini memang memiliki alasan tidak semua konten muncul di Twitter search.
"Materi yang membahayakan kualitas pencarian atau menimbulkan pengalaman pencarian yang buruk bagi orang lain dapat dihapus secara otomatis dari pencarian Twitter," tulis platform tersebut.
Twitter Digugat Gara-Gara Pecat Pegawai Tak Sesuai Aturan
Di sisi lain, laporan terbaru menyebut Twitter digugat karena memecat pegawai yang ada di Inggris secara sembarangan dan ilegal. Menurut The Financial Times, para karyawan Inggris yang dipecat oleh Twitter setelah perusahaan itu diambi alih Elon Musk menyebut, pemecatannya tidak sesuai dengan hukum.
Mereka pun tidak menerima ketentuan pesangon yang ditawarkan Elon Musk karena menyebut pemecatannya ilegal. Ini merupakan tantangan masalah ketenagakerjaan yang harus dihadapi oleh Elon Musk dan Twitter.
Sebelumnya, sebagaimana dikutip Gizchina, Jumat (13/1/2023), firma hukum Winckwort Sherwood yang berbasis di London, menulis ke Twitter, 10 Januari lalu.
Firma tersebut menuding Twitter menerapkan praktik ilegal, tidak adil, dan sama sekali tidak bisa diterima oleh mantan karyawan Twitter di Inggris melalui proses pemecatan ilegal itu.
Firma hukum ini juga mengklaim, mereka yang dipecat Twitter diperlakukan dengan buruk. Akibatnya, firma hukum Winckworth mengajukan tuntutan terhadap Twitter atas nama 43 karyawan yang di-PHK.
Sekadar informasi, pada awal November 2022, Elon Musk memberhentikan ribuan karyawan Twitter di seluruh dunia. Dari ribuan staf Twitter yang di-PHK, ada sekitar 180 staf di Inggris yang terdampak.
Advertisement
PHK Twitter Langgar Hukum?
PHK Karyawan Twitter besar-besaran ini terjadi hanya beberapa hari setelah Elon Musk mengambil alih Twitter senilai USD 44 miliar.
Firma hukum tersebut telah memperingatkan bahwa sudah rencana untuk membawa perusahaan media sosial tersebut ke pengadilan ketenagakerjaan jika keluhan mereka tidak diselesaikan.
Kini, Twitter pun memiliki daftar panjang kasus hukum yang harus ditangani. Selain itu dalam beberapa bulan mendatang, perusahaan mungkin harus berurusan dengan lebih banyak kasus hukum lainnya.
Pengacara hak tenaga kerja, Shannon Liss-Riordan, mengatakan Twitter menghadapi setidaknya 200 pengaduan hukum di Amerika Serikat.
Sebagian di antaranya adalah tuntutan arbitrase. Selain itu, perusahaan juga akan menghadapi empat gugatan class action dari mereka yang terdampak PHK.
Keluhan bukum ini datang saat Elon Musk meningkatkan upaya pemangkasan biaya di Twitter. Elon Musk berpandangan, perusahaan bisa rugi USD 3 miliar atau bahkan kebangkrutan jika dirinya gagal membuat keuangan Twitter sehat lagi.
Bagaimana pun, langkah pengetatan telah menimbulkan kekhawatiran mengenai kepatuhan Twitter terhadap undang-undang setempat di seluruh dunia.
Hal inilah yang mendorong tindakan hukum oleh beberapa mantan staf yang dinilai bisa merugikan perusahaan lebih besar, jika mereka berhasil dengan tuntutannya.
Pemangkasan Karyawan Twitter Berlanjut
Sebelumnya, Twitter dikabarkan memangkas karyawannya pada pekan lalu. Laporan menyebut, "setidaknya selusin" pekerja di kantor Dublin dan Singapura terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dilaporkan Bloomberg, seperti dikutip dari Engadget (9/1/2023), salah satu yang terkena PHK adalah Analuisa Dominguez, mantan Senior Director of Revenue Policy.
Mengutip Mint, Bloomberg juga melaporkan Head of Site Integrity untuk wilayah Asia Pasifik, Nur Azhar Bin Ayob, ikut terkena dampak PHK karyawan Twitter tersebut.
Selain itu dikabarkan Twitter memangkas karyawan yang bertanggung jawab menangani kebijakan misinformasi, di samping mereka yang terlibat dalam proses banding global platform dan program media pemerintah.
Ella Irwin, Head of Trust and Safety Twitter, mengonfirmasi Twitter telah melakukan pemangkasan jumlah karyawan baru-baru ini. Namun dia membantah mengenai tim yang terkena dampak PHK tersebut.
"Lebih masuk akal untuk mengonsolidasikan tim di bawah satu pemimpin (bukan dua) sebagai contohnya," katanya kepada Bloomberg.
Irwin menambahkan, Twitter menghilangkan peran di area di mana perusahaan tidak melihat "volume" yang cukup untuk membenarkan pengeluaran talenta.
Selain itu, ia menyebut, Twitter menambah staf di departemen banding dan akan terus memiliki kepala kebijakan pendapatan (Revenue Policy), serta kepala untuk Trust and Safety di Asia Pasifik.
(Dam/Tin)
Advertisement