Cerita Akhir Pekan: Masih Banyak PR Membumikan Bisnis Upcycle Fesyen di Indonesia

Upcycle menjadi salah satu cara untuk menekan produksi limbah fesyen yang menempati peringat kedua jenis sampah terbanyak di dunia.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 14 Jan 2023, 15:03 WIB
Salah satu busana karya Sejauh Mata Memandang yang menggunakan konsep upcycling. (dok. Instagram @sejauh_mata_memandang/https://www.instagram.com/p/CYqz4iqPCzx/?igshid=ZDFmNTE4Nzc%3D/Dinny Mutiah)

Liputan6.com, Jakarta - Limbah fesyen tidak bisa diabaikan. Kontribusinya signifikan yang menurut data dari Asosiasi Daur Ulang Tekstil Inggris, industri fesyen menyumbang polusi terbesar kedua di dunia. Sebanyak 1,2 miliar ton emisi gas rumah kaca dihasilkan oleh industri tekstil di dunia.

Sementara, data Komisi Eropa pada 2017 menyatakan industri tekstil di Uni Eropa saja menghasilkan sekitar 16 juta ton limbah tekstil per tahun. Mayoritas sampah itu berakhir di TPA atau diinsinerasi alias dibakar. Itu jelas kerugian karena produksinya menghabiskan jutaan ton air dan berkilowatt energi, serta berjam-jam tenaga manusia.

Situasi tak berbeda juga terjadi di Indonesia. Dikutip dari laman its.ac.id, co-founder Our Reworked World Annika Rachmat menyebut 1 juta ton dari 33 juta ton tekstil yang diproduksi di Indonesia berakhir jadi limbah. Maka, perlu strategi untuk menekan produksinya, seperti dengan pendekatan upcycle dan recycle produk fesyen.

Pakar trend fesyen Dina Midiani membedakan upcycle dan recycle lewat tujuan dari proses produksi item fesyen. "Sebenarnya mirip-mirip. Kalau recycling mengolah kembali yang juga memperpanjang usia barang, tapi di upcycling, upaya penambahan nilainya lebih diutamakan. Bisa saja dari sesuatu yang sebelumnya produk biasa saja, tapi naik nilainya karena olah barunya itu," ujarnya kepada Liputan6.com lewat aplikasi perpesanan, Jumat, 13 Januari 2023.

Menurut Dina, kesadaran baik produsen maupun konsumen untuk menekan jumlah sampah pakaian sudah mulai meluas, seiring dengan kesadaran perlunya menjaga lingkungan hidup. Karena itu, pelaku sustainable fashion di Indonesia juga mulai bermunculan, meski ia menyebut jumlahnya belum terlalu banyak.

"Yang mencoba-coba juga mulai, tapi pemahamannya masih campur aduk. Karena itu, kami (IFC) dengan BI sebenarnya sedang membuat buku dan video sustainable fashion untuk muslim fashion, yang di dalamya ada tentang upcycling, untuk pemahaman awal," Dina menjelaskan.

 

 


Bukan Semata Bisnis

Beragam produk upcycle fesyen dari Sejauh Mata Memandang untuk menghiasi rumah. (dok. Instagram @sejauh_mata_memandang/https://www.instagram.com/p/CnUHYrfvajc/Dinny Mutiah)

Dina mengakui bahwa bisnis upcycling merupakan peluang baru yang dapat dikembangkan. Tapi, ia mengingatkan bahwa itu bukan semata-mata bisnis menjanjikan, melainkan bisnis yang memiliki value. "Menjadi bagian dari menjaga lingkungan yang mutlak harus disadari dan dilakukan," ucapnya.

Mereka yang tertarik terjun ke bisnis tersebut, sambung Dina, harus memahami dulu konsep upcycling disambung dengan keterampilan olah produk sesuai dengan target pasar dan value yang ditawarkan. Keterampilan teknis untuk olah produk sebenarnya beragam, misalnya produk lama dikembangkan dengan teknik patchwork atau tie dye (tenun ikat).

"Batik, bordir, teknik cut and sew, dan sebagainya, dapat disesuaikan dengan keterampilan yang sudah dikuasai atau partner kerja. Yang penting juga adalah keterampilan menghasilkan produk berdaya pakai dan daya jual yang baik," ia menambahkan.

Daya tahan produk jelas harus diperhatikan dan itu tergantung dari bahan, bentuk, teknik yang digunakan, bentuk busana, serta desain yang dipilih. "Jika bahan menjadi karya olah bahan baru tapi desain yang dipilih yang mengarah ke basic atau new basic, daya tahan pakai ditinjauu dari sisi trend akan lebih panjang, dstnya," lanjut Dina.

Pemilik bisnis juga harus mampu memetakan target pasar yang disasar dengan tepat serta membuat strategi pemasarannya. Jika tidak, bisnis akan mandeg dan tidak berkelanjutan, akhirnya layu sebelum berkembang. "Konsistensi dan kesinambungan produk perlu dijaga walau jumlah mungkin lebih terbatas, namun tetap konsisten muncul produk/desain baru," ujar Dina.

 

 


Keterbatasan Konsumen

Salah satu produk Threadpeutic yang memanfaatkan material kain sisa. (dok. threadapeutic.com)

Meski pelaku usaha upcycle mulai meluas dan produknya semakin diminati, Dina menyebut konsumen lokal cenderung masih terbatas. Mereka didominasi kelompok urban, anak muda, dan kelompok terdidik yang sadar akan isu lingkungan.

"Atau, tertarik karena faktor artistik, karena upaya menambah nilai, biasanya karya-karya tersebut lebih memperhatikan nilai estetika daripada sekadar fungsi," ucapnya.

Itu pula yang diungkapkan Chitra Subiyakto, pendiri label Sejauh Mata Memandang. Peluangnya sudah ada, tetapi semua pihak, baik produsen maupun konsumen perlu sama-sama belajar lagi dan saling mengedukasi tentang pentingnya upcycle dan bagaimana meng-upcycle.

"Tantangannya berbeda-beda, namun mungkin masalah umum seperti informasi sumber daya, metode yang paling efisien, dan lain-lain dan tentunya membutuhkan usaha daya kreativitas agar hasilnya menarik dan tidak ada rasa 'barang bekas'," ucapnya.

Faktor 'menghargai barang bekas' juga menjadi titik kritis kelangsungan bisnis upcycle di Indonesia. Dina menyebut walau menggunakan bahan bekas atau sisa, harganya rata-rata tidak murah karena ada proses kreatif dan proses kerja untuk memberi nilai tambah. 

"Pada saat mendesain, memikirkan hasil akhirnya setelah tidak mau dipakai lagi oleh pembeli, apakah masih bisa melanjutkan proses sirkular, didaur ulang lagi, ataukah akan menjadi sampai abadi," urai Chitra tentang sekelumit kerja kreatif para pelaku bisnis upcycle.

 

 


Apakah Bisa untuk Produk Massal?

Desainer Didiet Maulana menerangkan baju upcycle yang dikenakan Andien Aisyah dalam jumpa pers #Hunts2Love Re-love. (Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Keterbatasan konsumen itu, kata Chitra, salah satunya karena faktor harga. Dibandingkan dengan fast fashion, harga produk upcycle fesyen cenderung lebih tinggi. Hal ini menjadi pekerjaan rumah untuk membumikan konsep upcycle, terutama di bisnis yang produksinya massal.

"Bisa (untuk produk massal). Semua dimulai saat mendesain sebuah produk. Selain pikirkan proses desain dan produksi, juga memikirkan hasil akhirnya setelah tidak mau dipakai lagi oleh pembeli... Contoh, bahan dengan serat alami masih bisa terus di upcyclenamun bahan mengandung polyester tidak bisa dan akan menjadi sampah abadi," tutur Chitra.

Selain itu, Dina menambahkan ada keterbatasan bahan baku sehingga jumlahnya lebih terbatas. Kalau pun bisa ditingkatkan kapasitasnya, keseragamannya akan berbeda dari produk massal umumnya. "Namun, kekurangan ini dapat menjadi kekuatan dengan branding yang tepat, misalnya “similar but not the same”," dia menyarankan.

Salah satu pelaku dalam negeri yang sudah memulai adalah Eiger. Brand lokal yang berbasis di Bandung itu baru saja memperkenalkan Eiger Green Project melalui rangkaian produk Upcycling Collection vol.1. Produk upcycling Eiger ini diciptakan dari pemanfaatan produk yang tidak memenuhi standar kualitas atau tidak layak jual dengan tujuan mengurangi limbah mode.

"Melalui proses upcycling, kami memberikan kesempatan kedua kepada produk-produk yang awalnya tidak layak jual, lalu kami desain dan olah kembali menjadi produk baru dengan memberikan nilai tambah kepada produk tersebut, sehingga dapat diterima konsumen," tutur GM Product & Sustainability Project Leader Eiger Harimula Muharam.

Setidaknya 35 produk yang dihasilkan dari ratusan produk tidak layak jual di koleksi pertama ini. Rangkaian produk upcycling ke depannya akan dijual secara terbatas mengikuti ketersediaan bahan baku dan eksklusif hanya di Eiger Adventure Official Store di platform Lazada.

Macam-macam material fesyen berkelanjutan. (dok. Liputan6.com/Trie Yasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya