Liputan6.com, Jakarta - Zine al-Abidine Ben Ali, presiden Tunisia periode 1987-2011, mungkin tidak pernah menyangka bahwa akhir kekuasaannya berawal dari aksi protes seorang penjual buah dan sayur di Kota Sidi Bouzid. Pada 17 Desember 2010, Mohamed Bouazizi (26) membakar dirinya sendiri di depan kantor polisi sebagai wujud kemarahan setelah dagangannya disita dan ia dianiaya aparat.
Penderitaan Bouazizi dinilai melambangkan ketidakadilan dan kesulitan ekonomi yang menimpa banyak warga Tunisia di bawah rezim Ben Ali, mengilhami unjuk rasa antipemerintah di seluruh negeri untuk melawan tingginya pengangguran, kemiskinan, dan represi politik.
Advertisement
Pada 24 Desember 2010, seorang demonstran di Kota Menzel Bouziane tewas ditembak polisi. Alih-alih bernada damai, dalam penampilannya di televisi pada 28 Desember 2010, Ben Ali justru mengutuk demonstrasi dan menuduh aksi dipelopori sejumlah ekstremis.
Berupaya meredam protes dan merespons kritik internasional terkait penanganan kerusuhan di Tunisia, Ben Ali mencopot Menteri Dalam Negeri Rafik Belhaj Kacem. Di luar dugaannya, langkah itu gagal menghentikan aksi protes.
Belum menyerah, Ben Ali kembali muncul di televisi pada 13 Januari 2011. Kali ini, dia menawarkan konsesi, yang dua di antaranya adalah tidak akan mencalonkan diri kembali pada akhir masa jabatannya pada tahun 2014 dan melonggarkan pembatasan penggunaan internet.
Konsesi Ben Ali tidak memuaskan para pengunjuk rasa, yang terus bentrok dengan aparat keamanan. Pada 14 Januari 2011 keadaan darurat diumumkan dan media pemerintah Tunisia melaporkan bahwa pemerintah telah dibubarkan serta pemilihan legislatif akan diadakan dalam enam bulan ke depan.
Lagi, pernyataan publik itu juga gagal meredam kerusuhan. Masih pada 14 Januari 2011, tidak lama setelah keadaan darurat diumumkan, Ben Ali mengundurkan diri dan kabur bersama keluarganya ke Jeddah, Arab Saudi.
Serangkaian demonstrasi di Tunisia untuk memprotes korupsi, kemiskinan, dan represi politik serta memaksa Ben Ali mundur ini kemudian dikenal sebagai Revolusi Melati.
Persidangan In Absentia
Pasca kabur, Ben Ali diadili secara in absentia dan dijatuhi hukuman penjara hingga seumur hidup karena memerintahkan pembunuhan dan penyiksaan selama memerintah, serta tindakan keras terhadap demonstrasi.
Ia juga dinyatakan bersalah atas dakwan penggelapan, korupsi, dan serangkaian kejahatan lainnya.
Pada 19 September 2019, Ben Ali yang berusia 83 tahun meninggal dalam pelariannya di Jeddah. Pemakamannya turut dihadiri oleh istri keduanya Leila Trabelsi, salah satu tokoh dalam rezim Ben Ali yang paling dibenci.
Keluarga Leila disebut memanfaatkan posisinya sebagai istri penguasa untuk membangun kerajaan bisnis dan korup.
Advertisement
Menginspirasi Gerakan Protes Serupa
Kesuksesan dari serangkaian demonstrasi yang berhasil mendepak Ben Ali kemudian mengilhami gerakan serupa di sejumlah negara Afrika Utara dan Timur Tengah, mendestabilisasi beberapa rezim lama di kawasan itu.
Dalam minggu-minggu setelah pemberontakan di Tunisia, sejumlah negara termasuk Mesir, Yordania, Aljazair, Yaman, Iran, Bahrain, Suriah, dan Libya mengalami demonstrasi massa signifikan menuntut perubahan politik. Gelombang protes ini kemudian dijuluki "Arab Spring".
Sejumlah pemimpin yang lengser akibat "Arab Spring" antara lain Hosni Mubarak dari Mesir, Muammar Gaddafi dari Libya, dan Ali Abdullah Saleh dari Yaman.