Liputan6.com, Jakarta Berbicara soal alternatif rokok nampaknya tak pernah terlepas dari anggapan bahwa rokok elektrik punya kandungan yang lebih baik dari rokok konvensional. Efek samping kesehatannya kerap kali dibanding-bandingkan.
Banyak yang setuju terkait hal tersebut dan memilih beralih ke rokok elektrik untuk pilihan lebih sehat. Padahal faktanya, anggapan rokok elektrik lebih sehat daripada rokok konvensional sebenarnya keliru.
Advertisement
Pengurus Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia (PDPI), Dr dr Erlina Burhan, MSc, SpP(K) mengungkapkan bahwa faktanya menghirup rokok elektrik sebanyak 30 kali akan menghasilkan kadar nikotin yang sama seperti 1 rokok konvensional.
"Kandungan nikotin sekali hisap itu ada nol sampai 35 mikrogram nikotin. Namun, perlu diperhatikan, saat seseorang menghirup 30 kali hisapan itu bisa mencapai kadar nikotin 1 miligram," ujar Erlina dalam media briefing bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Sabtu (14/1/2023).
"Itu sama seperti yang dihantarkan dari satu rokok konvensional. Nah, kita tahu orang menghirup kan berkali-kali ya. Jadi kalau menghirup 30 kali itu sama dengan kadar nikotin yang dihantarkan satu rokok (konvensional)," tambahnya.
Sedangkan, kadar nikotin khususnya dalam cartridge atau cairan isi ulang pada rokok elektrik biasanya berbeda-beda. Kisarannya bervariasi dari 14,8 - 87,2 miligram per mililiter pada cairan.
Belum lagi dalam rokok elektrik selalu ada tambahan cairan perasa. Beberapa cairan perasa diketahui mengandung aldehid, yang mana merupakan zat kimia.
"Aldehid ini juga suatu zat yang tidak baik. Untuk perasa sebetulnya. Tapi kan ada zat kimianya," kata Erlina.
Rokok Elektrik Punya Kadar Toksisitas Tinggi
Menurut Erlina, toksisitas dari rokok elektrik adalah sesuatu yang nyata dan tidak bisa dibilang lebih aman dari rokok konvensional. Mengingat masih ada potensi toksisitasnya yang sama saja berbahayanya.
"Walaupun dianggap, 'Wah, rokok elektrik lebih aman'. Padahal sebetulnya tetap potensi toksisitasnya ada, karena itu tadi. Ada kandungan nikotin, glycol, aldehid, logam, dan particulate matter," ujar Erlina.
"Ujung-ujungnya akan menimbulkan inflamasi. Inflamasi itu artinya peradangan. Jadi ada peradangan di paru, saluran napas, kemudian memengaruhi kerja jantung, memengaruhi kerusakan sel, dan kemudian merupakan karsinogen," tambahnya.
Erlina menjelaskan, banyak orang terperangkap pada asumsi bahwa kadar toksisitas dalam rokok elektrik lebih rendah. Dari sanalah penggunaan rokok elektrik mengalami peningkatan.
"Padahal kalau sering dihisap, nanti kadarnya akan sama seperti satu batang rokok konvensional," kata Erlina.
Advertisement
Perokok di Indonesia Tempati Posisi ke 13 di Dunia
Dalam kesempatan yang sama, Erlina mengungkapkan bahwa sebenarnya jumlah perokok di Indonesia saat ini sudah cukup tinggi. Bahkan, Indonesia menempati posisi ke 13 dari seluruh dunia jika dilihat dari jumlah perokoknya.
"Dengan total 37,90 persen dari seluruh populasi. Itu kalau dihitung kira-kira 53,7 juta jiwa (jumlah perokoknya di Indonesia). Jadi lumayan banyak," kata Erlina.
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2021 di Indonesia, jumlah perokok paling tinggi ada pada usia 35-39 tahun yakni sebesar 35,55 persen. Selain itu, remaja mulai dari usia 15 tahun turut menyumbang persentase di dalamnya.
"Usia muda banyak yang merokok. Kita lihat kelompok usia 15-19 tahun, itu masih usia SMP. Kira-kira ada 9-10 persen. Kemudian usia di atasnya 20-24 tahun karena mungkin sudah punya duit, sudah bekerja, jadi ada 26,97 persen (yang merokok)," ujar Erlina.
Bahkan, lansia di atas 65 tahun juga masih menyumbang persentase yang cukup besar dalam hal merokok yakni sekitar 21,90 persen.
Kenapa Banyak Remaja yang Kini Merokok?
Erlina mengungkapkan bahwa yang kini menjadi perhatian khusus dalam persoalan rokok sebenarnya adalah remaja. Menurut Erlina, ada beberapa alasan kenapa banyak remaja yang kini merokok.
"Ada beberapa alasan, tapi ada lima yang banyak dikatakan. Pertama itu coba-coba, kedua karena dikatakan kalau merokok ini keren. Laki, macho," ujar Erlina.
"Kemudian (ketiga) di kelompok tertentu ini dianggap bisa gabung sama geng atau kelompok, atau begitulah di sekolah atau kampus. Terus yang (keempat), tidak sedikit karena teman atau orangtuanya juga merokok," tambahnya.
Erlina menjelaskan, alasan kelima yang menurutnya salah kaprah adalah anggapan bahwa rokok dapat membantu seseorang untuk menghilangkan stres.
Advertisement