Liputan6.com, Jakarta - Memastikan ginjal sehat bisa dilakukan dengan pemeriksaan urine dan kadar kreatinin dalam darah, seperti disampaikan Spesialis Penyakit Dalam Prof Dr dr Endang Susalit, Sp.PD, KGEH.
Tes urine dan darah tersebut guna melihat kemungkinan kebocoran protein pada ginjal.
Advertisement
"Ambil darah atau dengan pemeriksaan urine, ada protein yang bocor, diperiksa melalui mikroskop melihat zat-zat yang seharusnya tidak ada seperti sel darah merah," kata Endang di Jakarta, Kamis, dilansir Antara.
Dokter yang tergabung dalam Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia itu menuturkan, jika kadar kreatinin dalam darah normal lalu tidak ditemukan zat bukan seharusnya di urine, maka ginjal bisa dikatakan normal.
Sementara itu, pemeriksaan darah menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) dilakukan untuk memastikan fungsi ginjal berjalan baik. Tes darah kreatinin serum berfungsi mengukur jumlah kreatinin dalam darah. Apabila ginjal tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka kadar kreatinin serum naik.
Tingkat normal pada seseorang bergantung pada jenis kelamin, usia, dan jumlah massa otot yang dimiliki oleh tubuhnya.
Selain tes darah kreatinin, pemeriksaan filtrasi glomerulus (GFR) juga bisa dilakukan untuk melihat berapa baik ginjal membuang limbah, racun, dan cairan ekstra dari darah.
Di sisi lain, pemeriksaan urine juga dilakukan untuk mencari albumin atau protein yang diproduksi hati dalam urine. Salah satu tanda awal penyakit ginjal yakni ketika protein bocor ke dalam urine atau proteinuria.
Pasien Diabetes Berisiko Alami Ginjal Kronik
Orang-orang dengan diabetes, menurut CDC, termasuk berisiko lebih tinggi terkena penyakit ginjal kronik. Oleh karena itu umumnya dokter merekomendasikan mereka melakukan pemeriksaan fungsi ginjal.
Penyakit ginjal kronik merupakan suatu kondisi ginjal menjadi rusak dari waktu ke waktu dan tidak bisa menyaring darah sebagaimana mestinya.
Advertisement
Prevalensi Ginjal Kronik di Indonesia
Penyakit ginjal kronik, kata Endang, saat ini menjadi masalah kesehatan di Indonesia dengan prevalensi sekitar 10 persen pada orang dewasa.
Menurutnya, kondisi ini jika tidak bisa diatasi dengan pengobatan dan diet rendah protein akan berakhir dengan gagal ginjal yang menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien yang pada umumnya memerlukan pengobatan pengganti ginjal, yaitu dialisis atau transplantasi ginjal.
"Dapat dikatakan bahwa transplantasi ginjal merupakan terapi gagal ginjal paling ideal karena bisa mengatasi permasalahan akibat penurunan fungsi ginjal, tidak seperti dialisis yang hanya dapat mengatasi sebagian masalah saja," ujarnya.