Liputan6.com, Jakarta - Myanmar mampu memproduksi berbagai macam senjata yang digunakan untuk melakukan kekejaman terhadap warganya yang menentang junta militer berkat pasokan dari perusahaan di setidaknya 13 negara. Demikian terungkap dalam laporan Dewan Penasihat Khusus untuk Myanmar.
Amerika Serikat, India, dan Jepang termasuk di antara negara-negara yang dimaksud, meskipun ada sanksi yang mereka terapkan untuk mengisolasi Myanmar. Demikian dikutip dari BBC, Senin (16/1/2023).
Advertisement
"Faktor yang sama pentingnya, bagaimanapun, adalah fakta bahwa angkatan bersenjata Myanmar dapat memproduksi senjata di dalam negeri, berbagai senjata yang digunakan untuk menargetkan warga sipil," sebut Laporan Dewan Penasihat Khusus Myanmar, yang salah satu penulisnya adalah Yanghee Lee, mantan Pelapor Khusus PBB untuk HAM.
Perusahaan-perusahaan di sejumlah negara itu disebut memasok militer Myanmar dengan bahan baku, pelatihan, dan mesin. Sementara itu, senjata yang dihasilkan tidak digunakan untuk mempertahankan perbatasannya, melainkan melawan rakyatnya sendiri.
"Myanmar tidak pernah diserang negara asing. Dan Myanmar tidak mengekspor senjata apapun. Sejak 1950, Myanmar telah memproduksi senjata sendiri untuk melawan rakyatnya," jelas Yanghee Lee.
Myanmar dilanda kekerasan sejak kudeta militer terhadap pemerintah sipil pimpinan Aung San Suu Kyi pada tahun 2021. Banyak dari mereka yang menentang kudeta dilaporkan telah bergabung dengan kelompok pemberontak etnis dalam menentang kekuasaan militer.
Lebih dari 2600 Orang Tewas
Secara resmi, lebih dari 2.600 orang dibunuh oleh militer Myanmar sejak kudeta terjadi. Namun, jumlah kematian sebenarnya diperkirakan 10 kali lebih tinggi.
Beratnya sanksi dan isolasi internasional yang diberlakukan setelah kudeta tidak menghentikan penguasa Myanmar untuk membuat serangkaian senjata, termasuk senapan sniper, senjata antipesawat, peluncur rudal, granat, bom, dan ranjau darat.
Bersama Yanghee Lee, laporan Dewan Penasihat Khusus untuk Myanmar ditulis pula oleh Chris Sidoti dan Marzuki Darusman. Sidoti dan Marzuki adalah tim Misi Pencari Fakta Internasional Independen PBB di Myanmar.
Laporan tersebut bersumber dari kebocoran dokumen militer, wawancara dengan mantan tentara, dan citra satelit. Bukti foto tidak kalah penting, misalnya seperti foto yang diambil pada tahun 2017 menunjukkan bahwa senjata-senjata produksi dalam negeri telah digunakan jauh sebelum kudeta.
Foto-foto itu menunjukkan militer Myanmar menenteng senapan buatan dalam negeri selama pembantaian Inn Din, peristiwa di mana pasukan Myanmar membunuh 10 pria etnis Rohingya yang tidak bersenjata.
Laporan Dewan Penasihat Khusus untuk Myanmar juga menyebutkan bahwa mesin presisi tinggi yang dibuat oleh pemasok Austria, GFM Steyr, digunakan di sejumlah lokasi untuk memproduksi laras.
Bila alat berat tersebut memerlukan perawatan maka akan dikirim ke Taiwan, tempat teknisi GFM Steyr memeriksanya. Laporan itu mengatakan, tidak jelas apakah teknisi perusahaan Austria itu sadar bahwa mereka sedang mengerjakan sesuatu yang digunakan di Myanmar.
Advertisement
China, Rusia, Hingga Singapura Diduga Terlibat
Para penulis laporan tersebut mengakui bahwa mereka hanya menemukan sebagian kecil dari jaringan produksi senjata, tetapi sejumlah negara diduga terlibat.
Bahan mentah seperti tembaga dan besi diyakini berasal China dan Singapura. Sekring dan detonator listrik dikabarkan dari India dan Rusia. Mesin-mesin senjata disebut dari Jerman, Jepang, Ukraina, dan Amerika Serikat. Sementara itu, Israel dan Prancis dilaporkan mengirimkan perangkat lunak untuk memprogram mesin-mesin tersebut.
Adapun Singapura disebut berfungsi sebagai pusat transit, di mana perusahaan-perusahaan dari negara itu berperan sebagai perantara bagi militer Myanmar dan pemasok eksternal.
Selama beberapa dekade, militer Myanmar telah dikenai berbagai sanksi internasional. Namun, itu tidak mampu menghentikan mereka untuk memproduksi senjata. Jumlah pabrik dilaporkan justru berlipat ganda, dari sekitar enam pada tahun 1988 menjadi sebanyak 25 pabrik saat ini.
"Belum ada sanksi yang dijatuhkan oleh Dewan Keamanan PBB, tetapi hanya oleh masing-masing negara atau kelompok negara. Jadi, relatif mudah bagi banyak perusahaan untuk menghindari sanksi, melalui perusahaan lain di negara yang tidak menjatuhkan sanksi, atau berurusan dengan perantara lokal Myanmar," ungkap Chris Sidoti.
Tidak Mengekspor Tapi Memamerkan
Sejauh ini, Myanmar dikabarkan tidak mengekspor senjata pabrikan dalam negerinya ke negara lain. Namun, mereka memamerkan berbagai senjata di pameran perdagangan senjata Thailand pada tahun 2019. Peluru, bom, dan peluncur granat semuanya berjejer rapi di rak pajangan.
"Hidup di Myanmar bagi orang biasa sangatlah sulit," kata Ronan Lee, dosen doktoral di Loughborough University London. "Myanmar tidak berfungsi sebagai negara yang layak dan saya pikir mereka mendekati keruntuhan internal."
"Sekarang adalah kesempatan bagi komunitas internasional, yang peduli dengan rakyat Myanmar... untuk mengatakan kepada militer bahwa mereka tidak dapat terus membuat senjata yang akan mereka gunakan untuk melawan warga sipil," imbuhnya.
Advertisement