Liputan6.com, Denpasar - Selain dikenal karena keindahan alamnya, Bali juga populer dengan keseniannya. Salah satu kesenian yang sangat melekat dengan Pulau Dewata adalah kesenian tarinya.
Tarian Bali memiliki keunikan karena tidak selalu bergantung pada alur cerita. Kecantikan tari Bali tampak pada gerakan-gerakan yang abstrak dan indah.
Sebagian besar tarian ini bermakna religius. Sejak 1950-an, perkembangan pariwisata yang pesat membuat beberapa tarian telah ditampilkan pada kegiatan-kegiatan di luar acara keagamaan dengan penambahan beberapa modifikasi.
Perkembangan Tari Bali ternyata tidak hanya diakui oleh masyarakat lokal, tetapi juga masyarakat internasional. Dalam konvensi Komite Antarpemerintah untuk Perlindungan Warisan Budaya Takbenda pada 2015 di Windhoek, Namibia, UNESCO mengakui tiga genre tarian tradisional di Bali.
Baca Juga
Advertisement
Tarian ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB) setelah diusulkan sejak 2011. Mengutip dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, terdapat tiga genre tari Bali, di antaranya:
1. Wali
Wali atau tari sakral muncul sekitar 8-14 Masehi. Tarian ini ditampilkan di halaman dalam pura (mandala utama).
Tarian genre ini berfungsi sebagai bagian dari upacara keagamaan ataupun upacara adat. Beberapa tarian Bali yang masuk ke dalam jenis tari ini, antara lain rejang, sanghyang dedari, baris upacara, dan lainnya.
2. Bebali
Bebali atau semi sakral muncul pada 14-19 Masehi. Tarian genre ini ditampilkan di halaman tengah (madya mandala) di berbagai pura di Bali sebagai bagian dari upacara.
Tari bebali biasanya memiliki skenario. Adapun tarian Bali yang masuk dalam genre ini, antara lain topeng sidhakarya, dramatari gambuh, dramatari wayang wong.
3. Balih-balihan
Balih-balihan atau tari pertunjukkan merupakan tipe tarian yang muncul pada abad ke-19. Tarian ini berfungsi sebagai tari pergaulan atau sarana hiburan.
Tarian ini ditampilkan di luar halaman pura atau di tempat-tempat pertunjukan lainnya. Tarian Bali yang termasuk genre tari ini adalah legong kraton, joget bumbung, barong, dan lainnya.
Penulis: Resla Aknaita Chak