Liputan6.com, Pokhara - Tragedi kecelakaan pesawat Yeti Airlines di Nepal masih menjadi sorotan dunia. Penyebab jatuhnya pesawat Yeti Airlines pun masih diteliti sebab cuaca sedang cerah ketika kecelakaan terjadi.
Ada yang berpendapat kecelakaan terjadi karena faktor pilot error, namun ada juga yang mengkritik cara kerja pesawat jenis ATR yang jatuh tersebut.
Advertisement
Berdasarkan laporan Time, Selasa (17/1/2023), pakar aviasi Profesor Ron Bartsch menyorot dugaan adanya stall pada pesawat dan pilot error.
Stall adalah kondisi ketika pesawat kehilangan daya angkat di udara.
Profesor Bartsch berkata pesawat modern tidak akan begitu saja jatuh dari langit. Ia pun berkata faktor manusia akan diperiksa oleh investigator untuk melihat apakah sudah ada pelatihan yang layak.
"Saya menduga pesawatnya masuk ke aerodynamic stall," ujarnya dalam wawancara dengan Channel 9 di Sydney. "Kemungkinan pilot error."
Pandangan stall juga diberikan oleh pilot dan pendiri Safety Matters Foundation di India, Amit Singh. Ia menganalisis bahwa pesawat mengalami stall karena melihat hidung pesawat yang terangkat, kemudian mendadak saya kiri turun sebelum pesawat jatuh (nosedive).
Singh menjelaskan sayap pesawat berfungsi memberikan daya angkat, tetapi saat stall, biasanya satu sayap menurun.
"Jadi saat aliran udara berkurang, daya angkat yang diberikan tidak cukup untuk menjaga pesawat dalam penerbangan, dan sayapnya turun, dan pesawatnya menukik jatuh," jelasnya kepada Associated Press.
Namun, Singh menyorot bahwa pilot seharusnya bisa menangani kesalahan teknis di pesawat.
"Pilot seharusnya dilatih untuk menangani kesalahan-kesalahan teknis," ujar Singh.
Rekam Jejak Aviasi di Nepal
Amit Singh turut menyorot rekam jejak penerbangan di Nepal. Rekam jejaknya ternyata tidak baik.
Singh berkata industri penerbangan di Nepal punya rekam jejak buruk meski kondisi daerah yang menantang. Sebagai catatan, daerah Nepal memang banyak pegunungan. Safety Matters Foundation mencatat ada 42 kecelakaan fatal pesawat di Nepal sejak 1946.
Otoritas Penerbangan Sipil di Nepal juga mengakui bahwa "topografi berbahaya" dan "pola cuaca yang beragam" di Nepal merupakan tantangan besar.
Meski industri aviasi di Nepal mulai membaik, Uni Eropa masih melarang pesawat-pesawat Uni Eropa untuk terbang di wilayah mereka.
Hal lain yang menjadi sorotan adalah pesawat ATR-72 yang digunakan pada kecelakaan pesawat tersebut. Profesor Bartsch berkata secara umum pesawat itu punya rekam jejak yang baik, namun seorang pilot India mengakui bahwa pesawat itu sulit digunakan jika pilot tidak berpengalaman terhadap daerah yang mereka lewati dan kecepatan angin.
ATR merupakan perusahaan pesawat yang bermarkas di Prancis. Pihak perusahaan berkata berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait terkait kecelakaan ini.
Blackbox pesawat yang jatuh pada akhir pekan lalu ini sudah ditemukan dan masih diinvestigasi untuk mengetahui penyebab jatuhnya pesawat.
Advertisement
Mengapa Terbang di Nepal Berisiko Tinggi?
Sebelumnya dilaporkan, pesawat Yeti Airlines yang mengangkut 72 orang jatuh di Sungai Seti, Nepal, pada Minggu, 15 Januari 2023. Maskapai domestik di Nepal itu sebelumnya terbang dari ibu kota Nepal, Kathmandu, menuju bandara baru di Pokhara yang baru saja dibuka.
Di antara penumpang pesawat ATR-72 bermesin ganda itu, 15 di antaranya adalah turis asing. Mereka terdiri dari empat warga Rusia, korban warga negara asing lainnya adalah lima warga India, dua warga Korea Selatan, satu dari Argentina, satu dari Prancis, seorang warga Australia, dan seorang berkebangsaan Irlandia.
Nepal memiliki sejarah kecelakaan penerbangan yang fatal, seringkali disebabkan landasan pacu yang jauh dan perubahan cuaca yang tiba-tiba yang memicu kondisi bahaya. Kurangnya investasi untuk pesawat baru dan regulasi yang buruk disebut juga menjadi penyebab kecelakaan di masa lalu.
Selain itu, Nepal yang merupakan rumah bagi sejumlah gunung paling menakjubkan di dunia adalah medan yang paling sulit untuk dinavigasi. Mengutip dari laman resmi Aviation Nepal, Senin (16/1), terdapat larangan untuk maskapai komersial menghindari jalur udara yang terbang langsung di atas Gunung Everest atau Himalaya secara keseluruhan.
Himalaya adalah rangkaian pegunungan yang merupakan puncak tertinggi di dunia, termasuk Gunung Everest. Pegunungan Himalaya memiliki ketinggian lebih dari 20.000 kaki, dengan Gunung Everest sebagai gunung tertinggi di seluruh dunia, berdiri setinggi 29.037 kaki di atas permukaan laut.
Turbulensi
Sebagian besar maskapai penerbangan terjadwal menghindar mengambil rute terbang di atas Gunung Everest. Pasalnya, pesawat jet terbang optimal di ketinggian 35.000 hingga 40.000 kaki, sedangkan ketinggian Gunung Everest berada di dalam ketinggian jelajah pesawat jet.
Untuk memastikan jarak aman di atas Pegunungan Himalaya, pilot diharuskan terbang ke bagian bawah stratosfer. Berdasarkan suhu, stratosfer terletak di atas cuaca bumi yang tingkat udaranyanya sangat rendah. Kadar oksigennya juga tipis.
Penjelasan lain mengapa terbang di kawasan ini begitu berisiko adalah karena saat udara kurang padat pada ketinggian tertentu. Akan tiba saatnya udara yang cukup tidak dapat melewati mesin dan tidak ada cukup tenaga yang dihasilkan untuk menaiki pesawat tidak ada dorongan yang cukup.
Terbang di Everest berarti tingkat oksigennya berkurang. Kondisi itu dapat menyebabkan hipoksia, karenanya kesadaran situasional yang tidak memadai dari penumpang dan anggota awak.
Kadar oksigen rendah dapat memicu turbulensi udara. Turbulensi menjadi sumber utama kecemasan dan ketidaknyamanan bagi penumpang udara.
Advertisement