Liputan6.com, Jakarta - Pemanfaatan gas bumi dinilai berpotensi untuk menciptakan nilai tambah ekonomi yang signifikan, lantaran jadi salah satu jembatan transisi energi untuk mendorong pengembangan industri petrokimia.
Data menunjukkan, kontribusi industri petrokimia terhadap penerimaan pajak, serapan tenaga kerja, dan realisasi investasi tercatat sebagai salah satu yang terbaik.
Advertisement
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, pemanfaatan gas bumi untuk transisi energi secara relatif berpotensi dapat mengurangi biaya transisi energi yang masih cukup mahal.
Pasalnya, kegiatan usaha hulu gas bumi yang sudah relatif lebih mapan, menyebabkan kebutuhan investasi serta harga jual dari gas yang akan diproduksikan lebih mudah untuk diprediksikan.
"Gas bumi merupakan sumber energi yang dapat menjadi pilihan utama dalam pelaksanaan transisi energi. Dari sisi jumlah, ketersediaan gas bumi cukup memadai. Selain itu, dari perspektif lingkungan, gas bumi juga relatif lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan minyak bumi dan batubara," ujar Komaidi dalam keterangan tertulis, Senin (17/1/2023).
Mengutip publikasi dari Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di 2017, menginformasikan emisi pembakaran gas bumi relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan minyak bumi dan batubara.
Jika dibandingkan dengan minyak bumi, emisi pembakaran gas bumi lebih rendah sekitar 20 g CO2e per MJ. Sementara jika dibandingkan dengan batubara, emisi pembakaran gas bumi lebih rendah sekitar 43 g CO2e per MJ.
Perbedaan Emisi
Komaidi menyampaikan, simulasi Reforminer menemukan, jika mengacu pada catatan poin 2 dan terkait volume konsumsi minyak bumi Indonesia telah mencapai kisaran 1,6 juta barel per hari, perbedaan emisi pembakaran antara minyak bumi dan gas bumi selama satu tahun dapat mencapai kisaran 72,33 juta tonCO2e.
"Artinya jika Indonesia mengkonversi sekitar 50 persen konsumsi minyaknya dengan menggunakan gas bumi, hal tersebut sudah akan menurunkan emisi sekitar36,16 juta ton CO2e," imbuhnya.
Terkait volume konsumsi batubara Indonesia di 2023 yang diproyeksikan mencapai kisaran 195,9 juta ton, ia melanjutkan, perbedaan emisi pembakaran antara batubara dan gas bumi selama satu tahun dapat mencapai kisaran 246,71 juta ton CO2e.
"Artinya, jika Indonesia mengkonversi sekitar 50 persenkonsumsi batubaranya dengan menggunakan gas bumi, hal tersebut sudah akan menurunkan emisi sekitar 123,35 juta ton CO2e," terang Komaidi.
Advertisement
Target Lebih Cepat Dicapai
"Peningkatan pemanfaatan gas bumi dapat membantu merealisasikan komitmen Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen, atau setara dengan 834 juta ton CO2e pada tahun 2030 dari kondisi Business as Usual (BaU). Dari target tersebut, sektor energi mendapatkan porsi penurunan emisi sebesar 314 juta ton CO2e," tuturnya.
Menurut Komaidi, target penurunan emisi untuk sektor energi tersebut sudah akan dapat dicapai jika Indonesia dapat mengkonversi seluruh konsumsi minyak bumi dan batu bara dengan menggunakan gas bumi.
"Penurunan emisi yang dihasilkan dari konversi konsumsi seluruh minyak bumi dan batu bara Indonesia dengan gas bumi dapat mencapai kisaran 319 juta ton CO2e, lebih besar dari target penurunan emisi pada sektor energi," pungkasnya.